Role Model: Ratih Kumala Bicara soal Gadis Kretek dan Karier sebagai Penulis

2 Januari 2024 10:33 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ratih Kumala. Foto: kumparan/Dicky
zoom-in-whitePerbesar
Ratih Kumala. Foto: kumparan/Dicky
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Gadis Kretek, serial Netflix yang dirilis bulan lalu, mendapat sambutan yang sangat positif. Dalam sepekan sejak pertama kali ditayangkan, hasil alih wahana dari novel berjudul sama ini telah ditonton 1,6 juta kali. Dibintangi para aktris dan aktor kondang termasuk Dian Sastrowardoyo, Gadis Kretek menyita perhatian lewat kisah terkait bisnis kretek di Jawa, dengan bumbu drama yang tak picisan.
ADVERTISEMENT
Ya, sosok di balik cerita hidup Dasiyah alias Jeng Yah tersebut tak lain adalah Ratih Kumala. Selain menulis novel Gadis Kretek, perempuan berusia 43 tahun ini juga banyak terlibat dalam penggarapan serialnya.
Baru-baru ini, Ratih Kumala berbincang dengan kumparanWOMAN. Ia mengungkap kisah di balik lahirnya Gadis Kretek, baik novel maupun serial. Ia juga berbagi cerita terkait perjalanan karier sebagai penulis, termasuk tantangan yang dihadapi. Simak selengkapnya berikut ini, Ladies.
Serial Gadis Kretek. Foto: Netflix

Bagaimana novel Gadis Kretek bisa diadaptasi menjadi serial, seperti apa kisah awalnya?

Gadis Kretek itu terbit tahun 2012. Di tahun pertama novel ini terbit, saya dan Mas Ifa Isfansyah, sutradara, sudah berusaha untuk mengembangkan ini menjadi skenario. Waktu itu skenario film. Tapi, kemudian kami sadar bahwa universe-nya Gadis Kretek ini lumayan besar. Akhirnya proyek ini ter-pending lama sekali dan kami berpikir mungkin memang belum berjodoh untuk bikin.
ADVERTISEMENT
Bertahun-tahun kemudian, 2018 kalau tidak salah, Mas Ifa Isfansyah memperkenalkan saya ke produser, Shanty Harmayn. Dari situ terbukalah jalan bagi kami untuk mengalihwahanakan novel ini, tapi bukan sebagai film, melainkan serial. Memang sebetulnya lebih masuk akal. Bahkan setelah dikembangkan menjadi serial pun sebetulnya belum semuanya masuk.
Saya memiliki PR yang lumayan banyak sebetulnya agar membuat cerita Gadis Kretek, yang sebenarnya itu sangat lokal, menjadi gampang diterima oleh audiens. Satu, audiens yang belum membaca novelnya. Dua, audiens dari internasional.
Mas Ifa itu memang orang pertama, sutradara pertama, yang jatuh cinta dengan cerita Gadis Kretek ini. Kemudian Mas Ifa juga mengajak serta partnernya, yaitu sutradara Kamila Andini, untuk terlibat di Gadis Kretek, yang sebetulnya memang itu keputusan yang sangat bagus karena Gadis Kretek membutuhkan sentuhan perempuan.
Para pemain Serial Gadis Kretek. Foto: Netflix

Sejauh mana Anda terlibat dalam proses alih wahana Gadis Kretek menjadi serial?

Saya terlibat hampir di semua sisi produksi. Untuk penulisan, sebetulnya skenario ditulis oleh empat orang, tidak cuma saya. Jadi selain saya ada Tanya Yuson, Ambaridzki Ramadhantyo, dan Kanya Kamili Priyanti. Kami berempat mengutak-atik Gadis Kretek, bikin beberapa versi. Waktu itu, versi yang benar-benar dari tahun 40 kami kembangkan juga. Kemudian, pada akhirnya kami sepakat, memang harus lebih fokus di era 60-an dan 2000-an saja.
ADVERTISEMENT
Kalau untuk produksi, tentu saja yang menjadi jenderal lapangan adalah dua orang sutradara, yaitu Kamila Andini dan Ifa Isfansyah. Tapi, saya juga berkesempatan untuk mengunjungi lokasi syuting, terutama untuk adegan-adegan yang dinilai sulit. Sebelum itu juga ada semacam kayak pemilihan pemain, casting segala macam. Produser dengan baik hati mereka selalu menunjukkan kepada saya hasil casting seperti apa dan siapa saja calon-calon pemain yang mungkin berpotensi untuk memerankan peran-peran tertentu.
Setelah selesai produksi, sebetulnya saya juga dilibatkan untuk editing. Jadi, bisa dibilang sebetulnya saya terlibat hampir di semua sisi itu.

Sedikit mengilas balik, bagaimana proses penulisan novel Gadis Kretek?

Novel Gadis Kretek itu proses penulisannya hampir 4 tahun. Waktu mulai, saya masih kerja di satu perusahaan televisi nasional. Jadi, saya colong waktu untuk menyelesaikan riset karena Gadis Kretek ini tidak akan bisa jalan kalau tidak pakai riset. Biasanya pas weekend, saya ambil waktu cuti satu hari, jadi 3 hari bisa dapat untuk pergi ke luar kota. Ada beberapa kota di Jawa Tengah yang saya kunjungi: Kudus, Magelang, Semarang. Kota-kota yang memang mereka memproduksi kretek-kretek lokal.
ADVERTISEMENT

Dari mana inspirasi untuk melahirkan cerita Gadis Kretek?

Background kretek sendiri itu terinspirasi dari keluarga besar mama saya. Almarhum kakek, yang sebetulnya saya juga tidak pernah ketemu sama beliau, adalah seorang pengusaha kretek di kota kecil di Jawa Tengah. Ketika saya kecil, saat Lebaran kami pulang ke rumah nenek kakek, yang tersisa itu sebenarnya cerita-cerita dari mereka. Pakdhe, budhe, om, tanteku biasanya cerita bahwa, “Di rumah ini dulu itu banyak pelinting. Di rumah ini kami dulu menyimpan tembakau kering, dan aromanya seperti apa.”
Begitu saya sudah besar dan mau jadi penulis, sempat berusaha menuliskan cerita tentang itu, tapi tidak sukses karena saya tidak punya pengetahuan yang cukup tentang itu. Gadis Kretek kemudian jadi buku kelima saya. Ternyata memang harus melewati beberapa buku dulu agar saya punya pengetahuan yang cukup untuk mengembangkan ini menjadi satu cerita yang utuh.
Serial Gadis Kretek. Foto: Netflix

Dari mana inspirasi untuk menciptakan karakter Dasiyah, perempuan yang punya ketekunan dan keteguhan hati dalam mengejar cita-cita meski itu berarti harus mendobrak tradisi?

Karakter Dasiyah itu gabungan dari beberapa perempuan yang saya tahu. Tapi, saya tidak pernah membayangkan bahwa Dasiyah ini penampilannya akan sesuai dengan artis siapa. Saya tidak pernah memikirkan itu.
ADVERTISEMENT
Setiap saya membuat karakter itu terinspirasi dari orang-orang sekitar, sampai kemudian saya bisa menciptakan satu karakter sendiri. Tapi, nama Yah, Jeng Yah, Dasiyah, Rukayah, itu terinspirasi dari nama keluarga besar mama saya, yang semua anak perempuannya belakangnya pakai Yah. Tidak ada yang namanya Dasiyah dan Rukayah, cuma saya mengadaptasi itu untuk menghormati mereka.
Dasiyah di serial Gadis Kretek. Foto: Netflix

Sebagai penulis, apakah Anda pernah mengalami momen berat atau titik terendah? Apa yang membuat Anda bangkit?

Ada masanya ketika saya lagi rajin-rajinnya nulis cerpen. Itu di awal-awal karier. Ketika itu kan belum ada yang namanya platform online. Semuanya media cetak. Dulu saya rajin nulis cerpen dan selalu mengirimkan cerpen ke koran. Ada masanya saya selalu ditolak sama koran.
ADVERTISEMENT
Waktu itu, saya ingat, mereka menolaknya dengan mengirimkan surat. Kemudian surat-surat itu saya kumpulkan, menunjukkan sudah berapa kali saya ditolak. Pada akhirnya saya belajar, ya, sudahlah. Memang karier penulis itu belum semua orang bisa menerimanya ketika itu. Orang tua saya pun dulu tidak bisa langsung menerima. Kayak, “Aneh banget kamu jadi penulis, terus mau ngapain?” Biasanya yang ditanya adalah, “Jurnalis kali? Mau jadi wartawan kali?”
Waktu tahun 2003, saya menang sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta. Salah satu jurinya Pak Sapardi Djoko Damono. Ketika itu beliau pidato ketika pengumuman pemenang, karena pemenangnya waktu itu mayoritas perempuan, beliau bilang bahwa masa depan sastra Indonesia itu berada di tangan perempuan. Entah itu benar atau tidak seperti yang kita lihat sekarang, karena sepertinya banyak laki-laki juga yang menjadi sastrawan yang keren-keren di zaman sekarang. Buat saya itu penyemangat. Buat saya kayak, “Oh, berarti ada ruang buat saya untuk berkembang di dunia sastra, di dunia kepenulisan Indonesia.”
Ratih Kumala. Foto: kumparan/Dicky

⁠Sebagai perempuan karier, istri, dan ibu, bagaimana Anda menyeimbangkan segalanya?

ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Memang tidak gampang jadi perempuan yang bekerja, di bidang apa pun. Aku rasa tidak cuma penulis. Istilahnya, harus juggling. Antara saya menjadi ibu di rumah, kemudian ketika mungkin saya jadi ibu yang aktif di sekolah. Kadang-kadang ibu-ibu itu dipanggil ke sekolah untuk urus acara tumpenganlah atau lomba antar kelas. Itu, kan, perannya sudah berbeda lagi. Lalu, saya yang di kantor, saya yang bekerja, saya yang berkarya sendiri. Itu tentu saja tidak gampang.

Apa pesan Anda untuk para perempuan di Indonesia?

Menjadi perempuan di Indonesia berarti harus menjadi individu yang kuat. Sebab, meskipun peran utama kebanyakan perempuan di Indonesia adalah menjadi seorang ibu, pada kenyataannya banyak peran lain yang juga diambil alih, seperti menjadi tulang punggung keluarga, menjadi penjaga keluarga, ada juga yang menjadi kepala keluarga.
ADVERTISEMENT
Yang penting adalah kita harus selalu mengusahakan bertemu dengan orang-orang yang tepat dan berada di lingkungan yang tepat, yang selalu mendukung kita dan memberi kekuatan kepada kita. Yang paling penting, jangan lupa untuk mencintai diri sendiri dulu sebelum kita kemudian mencintai orang lain.