Sederet Tantangan yang Dihadapi Perempuan Perajin Tenun Batak dalam Berkarya

21 Juli 2022 15:56 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Perempuan perajin tenun yang merupakan mitra Tobatenun, menenun di rumah komunitas Jabu Bonang dan Jabu Borna di Pematangsiantar, Sumatera Utara, pada Kamis (14/07/2022). Foto: Judith Aura/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Perempuan perajin tenun yang merupakan mitra Tobatenun, menenun di rumah komunitas Jabu Bonang dan Jabu Borna di Pematangsiantar, Sumatera Utara, pada Kamis (14/07/2022). Foto: Judith Aura/kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam menjalani kehidupan, perempuan banyak menghadapi berbagai tantangan. Seperti rintangan yang datang dari diri sendiri, juga tantangan yang datang dari lingkungan sekitar atau eksternal. Tantangan ini pun juga dialami oleh Tobatenun dan para perempuan perajin tenun Batak yang menjadi mitra mereka.
ADVERTISEMENT
Tobatenun merupakan social enterprise yang berfokus dalam pelestarian tenun Batak, sembari menggalakkan pemberdayaan perempuan pedesaan di Sumatera Utara. Dalam operasionalnya, perusahaan yang didirikan oleh Kerri Na Basaria Pandjaitan ini merekrut ratusan perempuan perajin tenun yang tersebar di dua kota dan lima kabupaten Sumut.
Di Tobatenun dan juga dalam komunitas tenun Batak, peran perempuan memang sangat penting. Partisipasi perempuan dalam seni wastra Sumut ini sungguh besar, tetapi sayangnya, banyak faktor yang membuat mereka justru mengalami kesulitan, alih-alih mampu berkarya dengan bebas.
Akibat dari tantangan yang dihadapi para perempuan perajin tenun—bisa disebut partonun—ini, Tobatenun sebagai perusahaan tekstil turut merasakan dampaknya.
Media Trip Tobatenun ke rumah komunitas Jabu Bonang dan Jabu Borna di Pematangsiantar, Sumatera Utara, 13-15 Juli 2022. Foto: Judith Aura/kumparan
Memang, apa saja deretan tantangan yang dihadapi oleh Tobatenun serta para perempuan perajin tenun di Sumatera Utara? kumparanWOMAN berkesempatan untuk berbincang-bincang dengan COO Tobatenun, Melvi Tampubolon, mengenai tantangan yang kerap kali dihadapi oleh para perempuan perajin tenun yang menjadi mitra mereka. Mulai dari pengalaman kemampuan para mitra dieksploitasi oleh pihak ketiga, hingga tantangan dari segi kebudayaan yang kental di Sumatera Utara.
ADVERTISEMENT

1. Partonun menjadi korban hit and run serta eksploitasi

Menurut Melvi, tak sedikit para partonun atau perajin tenun yang menjadi korban hit and run dan one-time project dari banyak pihak. Jadi, mereka menerima pesanan, tetapi ternyata proyeknya tidak dilanjut atau hanya dilakukan satu kali saja. Ini membuat para perajin tenun kehilangan kepercayaan terhadap pihak-pihak ketiga.
“Mereka [para mitra Tobatenun] sudah banyak mendapat program dari mana-mana yang hit and run, one time project. Jadi kita harus bangun kepercayaan, mengetuk pintu, terus kita dampingi hasil mereka. [Jika] hasil tenunannya tidak langsung bagus, kita tetap beli [kain mereka]. Biar mereka terus berkreasi,” ungkap Melvi saat ditemui di rumah komunitas tenun Jabu Bonang di perbatasan Pematangsiantar dan Simalungun, Sumatera Utara, Kamis (14/7).
Perempuan perajin tenun yang merupakan mitra Tobatenun, menenun di rumah komunitas Jabu Bonang dan Jabu Borna di Pematangsiantar, Sumatera Utara, pada Kamis (14/07/2022). Foto: Judith Aura/kumparan
Menurut Melvi, saking sulitnya untuk bisa memperoleh kepercayaan dari para perempuan perajin tenun, Tobatenun membutuhkan waktu di atas enam bulan hingga satu tahun untuk bisa mengajak mereka bermitra.
ADVERTISEMENT
“Mereka intinya sulit untuk percaya. Jadi kita bikin workshop, lalu kita sediakan material benang berkualitas, mereka bikin produk produknya dan kemudian kita serap, mereka bikin lagi, kita absorb lagi; jadi terus menerus. Lalu kami transparan juga. Aktualisasi mereka itu kita angkat, barulah di situ mereka percaya,” ucap Melvi.
Ini senada dengan fakta yang dibeberkan oleh CEO Tobatenun, Kerri Na Basaria Pandjaitan. Dalam paparannya di sesi panel diskusi W20 Summit di Parapat, Selasa (19/7), Kerri mengungkapkan bahwa para partonun hampir tidak memiliki kebebasan dalam seni mereka. Padahal, industri tekstil tenun Batak ini sebagian besar diisi oleh perempuan.
“Di Toba, pihak ketiga—yang di sini disebut tokek—sering kali mengeksploitasi mereka demi memperoleh uang dengan cara yang paling efisien. Para perempuan tidak memiliki akses ke bahan-bahan mentah [untuk menenun], dan inovasi mereka menjadi stagnan karena karya mereka sebagian besar hanya difokuskan untuk memenuhi pesanan,” kata Kerri.
ADVERTISEMENT

2. Masalah kesehatan perempuan

Perempuan perajin tenun yang merupakan mitra Tobatenun, menenun di rumah komunitas Jabu Bonang dan Jabu Borna di Pematangsiantar, Sumatera Utara, pada Kamis (14/07/2022). Foto: Judith Aura/kumparan
Kesehatan juga menjadi salah satu tantangan yang dihadapi para perempuan perajin tenun Batak, termasuk para mitra di Tobatenun. Menurut Melvi, ini disebabkan oleh kurangnya informasi mengenai kesehatan, terutama kesehatan reproduksi; posisi duduk yang lama ketika menenun; serta tidak adanya akses ke BPJS Kesehatan.
“Mereka juga bertenun. Selama bertenun, duduk dan berselonjor. Akibatnya, punggung sakit. Mata juga sakit. Karena, terus-terusan 8 jam begitu terus, kan,” ungkap Melvi.
Inilah mengapa, Tobatenun akhirnya memutuskan untuk memfasilitasi pemeriksaan kesehatan bagi para mitranya. Hingga saat ini, sudah ada sekitar 103 mitra Tobatenun yang memeriksakan kondisi kesehatan mereka lewat bantuan dari Tobatenun.

3. Terhalang budaya

Perempuan perajin tenun yang merupakan mitra Tobatenun, menenun di rumah komunitas Jabu Bonang dan Jabu Borna di Pematangsiantar, Sumatera Utara, pada Kamis (14/07/2022). Foto: Judith Aura/kumparan
Budaya patriarki yang melekat erat dengan kehidupan perempuan di Sumatera Utara menjadi tantangan tersendiri bagi para perajin tenun. Menurut Melvi, ini tergambar dari banyaknya tanggung jawab yang dibebankan kepada para perempuan, sehingga mereka tidak memiliki waktu untuk bisa berkarya lewat tenun Batak.
ADVERTISEMENT
“Di satu sisi juga, tantangannya para mitra kita adalah perempuan di desa, kan, [hidup dalam] budaya patriarki. Para mitra kita di desa ini bisa bertanggung jawab atas lima sampai tujuh anggota keluarga. Bertanggung jawab dalam artian tidak hanya menghidupi, tetapi juga acara adat, untuk bangun rumah, dan lainnya. Jadi mereka tidak hanya bertenun, mereka harus juga berladang, punya usaha, dan sebagainya,” kata Melvi.
“Pada saat kita ada pesanan atau misalnya ada kebutuhan untuk pameran, itu menjadi kesusahan produksi sendiri. Kesusahan di mitra: Mereka ada jadwal bertani, jadwal pasar, ada acara-acara sosial,” imbuhnya.
Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan Kerri dalam panel diskusi W20 Summit, Ladies. “Mereka [perempuan perajin tenun] berperan sebagai pihak penyedia keuangan terbesar di keluarganya, tetapi mereka tidak memiliki suara dalam pengambilan keputusan akibat sistem patriarki kaku yang masih ada di sini,” jelas Kerri.
ADVERTISEMENT
Nah, meskipun belum ada yang bisa dilakukan oleh Tobatenun dalam menangani tantangan perempuan ini, setidaknya Tobatenun tengah mencoba untuk mengatasi masalah di level produksi mereka.
“Ini kita sedang pemetaan mereka, bulan apa mereka paling banyak ada acara adat, bulan mana hari pasar paling banyak... supaya kita bisa menjaga waktu [produksi] ini, begitu,” kata Melvi dalam wawancara dengan kumparanWOMAN.

4. Tantangan produksi yang dialami Tobatenun

Perempuan perajin tenun yang merupakan mitra Tobatenun, menenun di rumah komunitas Jabu Bonang dan Jabu Borna di Pematangsiantar, Sumatera Utara, pada Kamis (14/07/2022). Foto: Judith Aura/kumparan
Budaya patriarki tersebut tidak hanya membatasi karya perempuan perajin tenun Batak di Tobatenun, tetapi juga berpengaruh pada produksi mereka. Misalnya saja, dalam suatu acara, jumlah kain tenun yang dibutuhkan tidak mencapai target karena para mitra memiliki agenda sosial lain yang tidak bisa ditinggalkan.
Selain itu, ada juga tantangan teknis yang dihadapi Tobatenun. Mulai dari kerusakan alat tenun, suplai material langka, hingga timeline produksi yang kurang terjaga.
ADVERTISEMENT