Sejarah Hari Kartini yang Diperingati Setiap Tanggal 21 April

20 April 2021 19:47 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
RA. Kartini. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
RA. Kartini. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Setiap tahunnya, kita merayakan Hari Kartini pada tanggal 21 April. Di balik perayaan Hari Kartini yang dirayakan setiap tanggal 21 April, tentu ada sejarah di baliknya.
ADVERTISEMENT
Hari Kartini yang diadakan setiap tanggal 21 April diawali dengan kisah perjuangan tokoh perempuan bernama Raden Ajeng Kartini atau RA Kartini. Ia menjadi sosok perempuan yang menyumbang jasa besar bagi Tanah Air dan dikenal sebagai Pahlawan Nasional yang memperjuangkan kesetaraan gender di Indonesia.
Berkat sumbangan pemikiran yang telah diberikan Kartini kepada Indonesia, Presiden Soekarno pun mengeluarkan Keputusan Presiden RI No. 108 Tahun 1964, pada 2 Mei 1964. Dalam keputusan tersebut, Kartini ditetapkan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional.
Selain itu, Soekarno juga menetapkan tanggal 21 April sebagai Hari Kartini. Hari tersebut ditetapkan sesuai dengan tanggal lahir Kartini yang jatuh pada tanggal 21 April 1879. Selain itu, peringatan tersebut dibuat untuk mengenang jasa-jasa Kartini dalam memperjuangkan emansipasi perempuan di Indonesia. Sejak saat itulah, peringatan Hari Kartini pun terus dilakukan hingga sekarang.
ADVERTISEMENT

Kisah perjalanan hidup Kartini

Mengutip situs Kemdikbud, RA Kartini sendiri lahir di Jepara, Jawa Tengah. Ia berasal dari keluarga bangsawan dan putri dari bupati Jepara bernama Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat dengan M.A. Ngasirah.
Kartini bersekolah di Europese Lagere School atau ELS. Setelah lulus dari sekolah itu, ia tidak diizinkan untuk melanjutkan studi sebab saat itu perempuan hanya boleh bersekolah hingga usia 12 tahun. Setelah mencapai usia tersebut, perempuan harus dipingit dan menunggu waktu untuk dinikahkan.
Selama menetap di rumah, Kartini tidak tinggal diam. Ia belajar sendiri dan menulis surat kepada teman-teman korespondensi dari Belanda menggunakan kemampuan berbahasa Belanda yang ia miliki. Salah satu temannya adalah Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya.
Keluarga R.A Kartini. Foto: Wikimedia Commons
Mengutip Intersections, surat-surat yang dikirimkan itu menguraikan pemikiran Kartini terkait berbagai masalah termasuk tradisi feudal yang menindas, pernikahan paksa dan poligami bagi perempuan Jawa kelas atas, dan pentingnya pendidikan bagi anak perempuan. Di sisi-sisi lain, surat-surat tersebut juga mencerminkan pengalaman hidup Kartini sebagai putri seorang bupati Jawa.
ADVERTISEMENT
Dari buku-buku, koran, dan majalah Eropa yang dibacanya, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir para perempuan Eropa. Beliau ingin perempuan di Indonesia memiliki ilmu pengetahuan luas dan pikiran maju layaknya perempuan Eropa. Oleh sebab itulah, timbul keinginan untuk memajukan perempuan pribumi karena ia melihat bahwa perempuan pribumi berada pada status sosial yang rendah.

Catatan pemikiran Kartini

Kartini meninggal pada 17 September 1904. Beliau mengembuskan napas terakhirnya di usia 25 tahun. Namun, wafatnya Kartini ini tidak serta-merta mengakhiri perjuangannya semasa hidup.
Salah satu temannya di Belanda, Mr. J.H. Abendanon yang saat itu menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda, mengumpulkan surat-surat yang dulu pernah dikirimkan Kartini kepada teman-temannya di Eropa.
ADVERTISEMENT
Abendon kemudian membukukan seluruh surat itu dan diberi nama Door Duisternis tot Licht yang jika diartikan secara harfiah berarti ‘Dari Kegelapan Menuju Cahaya’. Buku kumpulan surat Kartini ini diterbitkan pada 1911.
Surat Kartini. Foto: Wikimedia Commons
Namun, pemikiran-pemikiran Kartini dalam surat-suratnya tidak pernah bisa dibaca oleh beberapa orang pribumi, karena mereka tidak mahir berbahasa Belanda. Karena itulah pada 1922, Balai Pustaka menerbitkan versi translasi buku dari Abendanon dengan bahasa Melayu yang diberi judul ‘Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran’.
Kemudian pada 1938, salah satu sastrawan bernama Armijn Pane yang masuk dalam golongan Pujangga Baru, menerbitkan versi translasinya sendiri dengan judul ‘Habis Gelap Terbitlah Terang’.