Sejarah Kebaya, Busana yang Identik dengan Perayaan Hari Kartini

21 April 2022 20:58 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Kebaya Ncim Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Kebaya Ncim Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Setiap tanggal 21 April, Indonesia merayakan Hari Kartini. Di momen ini, masyarakat juga memperingati emansipasi perempuan yang diperjuangkan oleh Raden Ajeng Kartini atau RA Kartini.
ADVERTISEMENT
Seperti diketahui, Kartini merupakan sosok yang menginspirasi perempuan Indonesia untuk berani memperjuangkan kesetaraan, termasuk dalam hal pendidikan. Kini, perjuangannya memberi pengaruh yang besar. Bahkan sekarang, perempuan tidak perlu merasa takut untuk mencapai kesetaraan pendidikan dan pekerjaan.
Karena itu, Hari Kartini juga memberikan kesan tersendiri bagi masyarakat, khususnya perempuan Indonesia. Bicara lebih jauh soal Hari Kartini, peringatannya juga identik dengan salah satu busana tradisional khas Indonesia, yaitu kebaya. Hal ini mengingat Kartini kerap ditampilkan dalam balutan busana kebaya tradisional.
Bahkan, model kebaya yang dikenakan oleh Kartini dikenal dengan nama “Kebaya Kartini”, menurut buku Ethnic Dress in the United States oleh Annette Lynch dan Mitchell D. Strauss.
Ilustrasi R.A. Kartini. Foto: Shutter Stock
Dengan melegendanya busana tradisional ini, Ladies mungkin penasaran dengan sejarah kebaya di Indonesia. Untuk itu, kumparanWOMAN telah merangkum sejarah singkatnya dari berbagai sumber. Simak selengkapnya di bawah ini, ya.
ADVERTISEMENT

Kebaya adalah busana untuk perempuan kelas sosial tinggi

Kebaya, sebagaimana dikutip dari artikel dalam jurnal Brikolase, adalah busana tradisional perempuan Indonesia yang dikenakan dengan sarung, kain batik, atau kain tradisional lainnya, seperti songket dengan motif warna-warni.
Banyak sumber yang menjelaskan perkiraan asal-usul busana ini. Ada yang menyebut bahwa kebaya berasal dari China, lalu menyebar ke berbagai wilayah Nusantara, seperti Sumatra, Jawa, Bali, dan Sulawesi; ada juga yang menyebut kebaya berasal dari masa Kerajaan Majapahit.
Dikutip dari buku Ethnic Dress in the United States, nama busana tradisional “kebaya” berasal dari kata dalam bahasa Arab “kaba” yang berarti pakaian. Dalam buku ini, disebutkan bahwa busana kebaya mulai menjamur pada abad ke-15 dan 16, bersamaan dengan pertumbuhan pengaruh Islam di beberapa wilayah Indonesia, termasuk Jawa.
Yuni Shara saat menggunakan kebaya kartini. Foto: Instagram/@yunishara36
Sejak lama, wilayah kepulauan Nusantara telah menjalani hubungan perdagangan dengan China, India, dan Timur Tengah. Dengan banyaknya budaya-budaya luar yang berinteraksi dengan cikal bakal Indonesia, gaya kebaya pun ikut terintegrasi.
ADVERTISEMENT
Menurut Ethnic Dress in the United States, gaya kebaya Indonesia berasal dari akulturasi gaya dari dinasti Ming dari China, Muslim Arab, dan kebudayaan Portugis. Itulah mengapa, jenis dan gaya kebaya pun beragam, tergantung dari penggunanya, lokasi, atau modifikasi.
Sejumlah sumber menyebutkan, kebaya muncul dari era Kerajaan Majapahit (1293–1527), sebagai busana yang dikenakan untuk menutupi kemben, pakaian yang berupa kain diikat di bagian torso perempuan. Penggunaan kebaya untuk melengkapi kemben ini disebut seiring dengan pertumbuhan pengaruh Islam di Jawa.
Pada masa ini, kebaya merupakan busana yang khusus dikenakan oleh perempuan dengan kelas sosial tinggi, seperti aristokrat dan keluarga kerajaan. Namun, menurut buku Culture and Customs of Indonesia yang dipublikasikan tahun 2006, penggunaan kebaya oleh perempuan pribumi Indonesia dengan kelas sosial rendah semakin meluas mulai abad ke-18 akhir, bersamaan dengan aturan oleh kolonial Belanda saat itu.
BE3 mengenakan kebaya kutubaru. Foto: Alexander Vito Edward Kukuh/kumparan
Dikutip dari artikel ilmiah dalam jurnal International Institute for Science, Technology, and Education CORE UK, pemerintahan kolonial Belanda pada tahun 1872 mengatur seluruh penduduk harus mengenakan pakaian etnis mereka di ruang publik.
ADVERTISEMENT
Ini disebabkan, pakaian merupakan penanda kelas sosial masyarakat yang paling kentara. Busana juga menjadi alat untuk menunjukkan hegemoni Belanda di masyarakat kolonial saat itu. Tujuan utama pemerintah kolonial adalah mencegah warga asli Indonesia (pribumi) untuk mengenakan busana bergaya Barat.
Sejak 1872 hingga 1920, perempuan Belanda yang tinggal di Hindia Belanda juga mengenakan kebaya dan kain batik di rumah-rumah mereka, karena bahannya yang cocok dikenakan di wilayah tropis. Namun, sebagai pembeda dengan pribumi kelas bawah, perempuan belanda mengenakan bahan kain mewah dan kain batik dengan desain ala Eropa.
Di awal abad ke-20, para warga peranakan (keturunan) China juga memperoleh hak yang setara dengan masyarakat Belanda untuk mengenakan busana kebaya berbahan mewah. Inilah yang menjadi awal mula dari kebaya jenis encim.
Gaya Prilly Latuconsina saat pakai Kebaya modern di Momen Wisuda Foto: Instagram @prillylatuconsina96

Kebaya akhirnya dinyatakan sebagai busana nasional

Kemudian, dikutip dari situs Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), kebaya pun dinyatakan sebagai busana nasional pada masa pemerintahan Presiden Sukarno (1945–1965). Busana ini pun menjadi identik dengan situasi formal, seperti dikenakan oleh Ibu Negara, berurusan dengan politik, dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Kini, dengan berakhirnya masa kolonial Belanda, penggunaan dan model kebaya pun menjadi kian beragam. Berbagai jenis kebaya pun bermunculan. Ada kebaya encim, kebaya Betawi yang identik dengan sulaman.
Terdapat pula kebaya Kartini, yaitu kebaya yang garis kerahnya dilipat dan berbentuk lurus vertikal, terinspirasi dari kebaya yang digunakan dalam foto R.A. Kartini. Kemudian kebaya kutubaru, kebaya yang menggunakan kain penutup dada, hingga kebaya modern dengan desain-desain berani dan ciamik.