Sejarah Turban Perempuan Afrika, Sebagai Simbol Status Sosial hingga Perbudakan

21 Maret 2021 14:26 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Perempuan Afrika mengenakan turban. Foto: Getty Images
zoom-in-whitePerbesar
Perempuan Afrika mengenakan turban. Foto: Getty Images
ADVERTISEMENT
Bagi perempuan Muslim, turban merupakan salah satu model penutup kepala untuk menutup aurat dan menunjukkan komitmen mereka terhadap agama Islam.
ADVERTISEMENT
Namun bagi perempuan Afrika turban memiliki makna yang berbeda-beda sesuai budaya. Bahkan di berbagai daerah Afrika, nama penutup kepala ini juga tak sama. Di Zulu, Afrika Selatan, turban disebut dengan iduku dan di Yoruba, Afrika Barat, disebut dengan gele.
Sejak lama, turban sudah menjadi aksesori yang tak lepas dari perempuan Afrika. Selain untuk menutup dan melindungi rambut, ternyata turban juga menjadi simbol status pernikahan atau status sosial. Menurut laporan Star Insider, sesuai tradisi di Zulu dan Xhosa, Afrika Selatan, perempuan diwajibkan memakai turban saat sedang ada keluarga dari suaminya. Hal ini dilakukan untuk menghormati keluarga suaminya.
Perempuan Zulu, di Afrika Selatan, mengenakan penutup kepala atau turban merah tradisional. Foto: Getty Images
Sebaliknya, dalam tradisi pernikahan di Sotho, Afrika Selatan, keluarga mertua akan memberikan penutup kepala atau turban yang disebut makoti ituku pada mempelai perempuan sebagai tanda bahwa ia sudah diterima di keluarga mereka.
ADVERTISEMENT
Beda daerah, beda budaya juga. Di Yoruba, Afrika Barat, turban menjadi simbol status pernikahan. Kalau ada perempuan memakai turban dan bagian belakangnya diarahkan ke kiri, artinya perempuan tersebut masih lajang. Tapi kalau bagian akhir turbannya diarahkan ke kanan, tandanya mereka sudah menikah.
Lebih dari itu, turban juga bisa menandai momen penting dalam kehidupan seorang perempuan. Penutup kepala ini bisa jadi indikasi bahwa mereka baru saja dilamar atau sedang berduka. Tradisi ini hampir sama seperti budaya Barat yang mengenakan busana serba hitam saat sedang berduka.

Jadi simbol perbudakan hingga aksesori fashion

Pada abad ke-16 sampai 19, saat terjadinya Translantic Slave Trade atau proses pengangkutan budak dari Afrika ke Amerika, perempuan Afrika tak bisa membawa banyak barang, apalagi busana. Oleh karena itu, mereka membawa turban karena penutup kepala ini mudah dibawa kemana saja dan sejak saat itu turban menjadi salah satu warisan sejarah Afrika yang masuk ke Amerika.
ADVERTISEMENT
Sojourner Truth, pejuang berbudakan mengenakan turban. Foto: Source: www.womenshistory.org
Sayangnya, penggunaan turban memiliki makna yang jauh berbeda di negeri Paman Sam. Turban menjadi simbol perbudakan karena perempuan kulit hitam diwajibkan untuk menutup rambut asli mereka dengan kain. Biasanya, mereka diharuskan menutup kepala dengan kain putih polos untuk menunjukkan status sosial mereka. Sebagian tuan rumah yang memiliki budak bahkan memasukkan turban sebagai atribut seragam sehingga mereka tidak bingung antara budak dan majikan.
Tak hanya itu, turban juga dikenakan supaya perempuan kulit hitam tidak tampil menarik di hadapan pria kulit putih. Hal ini membuat turban yang tadinya adalah simbol budaya nan indah kemudian berubah menjadi sesuatu yang memalukan dan bentuk inferioritas.
Cuplikan film 12 Years a Sleve yang menampilkan perempuan Afrika memakai turban. Foto: dok. Instagram
Namun seiring berjalannya waktu, makna turban kembali berubah menjadi hal yang positif. Terutama setelah terjadinya natural hair movement pada 1960-an di Amerika Serikat. Gerakan ini mendorong perempuan dan laki-laki Afrika untuk berani tampil dengan rambut natural mereka apa adanya.
ADVERTISEMENT
Sebab ada masa di mana perempuan Afrika dipaksa untuk memakai rambut palsu dan menyembunyikan identitas mereka sebagai perempuan kulit hitam saat sedang berada di kawasan orang kulit putih. Hal ini membuat Nina Simone, penyanyi asal Amerika sering mengenakan turban saat ia tampil.
Lupita Nyong'o mengenakan gele atau turban khas Afrika Barat. Foto: dok. Instagram
Tetapi di era modern, turban justru menjadi lambang dari pemberontakan perempuan kulit hitam. Melalui natural hair movement, perempuan kulit hitam dimana pun mulai merasa bangga mengenakan turban atau tampil dengan rambut asli untuk menunjukkan identitas mereka sebagai perempuan Afrika.
Hingga akhirnya pada tahun 2000-an, turban mulai masuk ke industri fashion. Meski sempat mengalami polemik karena dianggap tidak peka dengan kondisi perempuan Afrika di beberapa negara yang masih dipandang sebelah mata saat memakai turban, namun perlahan-lahan nilai turban kembali meningkat.
Sejarah Turban Perempuan Afrika. Foto: dok. Instagram
Turban menjadi aksesori fashion yang dipakai di runway hingga karpet merah. Selebriti asal Kenya, Lupita Nyong'o hingga penyanyi Alicia Keys bahkan dengan percaya diri mengenakan turban dalam berbagai acara.
ADVERTISEMENT