Selain RA. Kartini, Kenali 5 Pahlawan Perempuan yang Berjuang untuk Indonesia

22 April 2022 21:24 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi R.A. Kartini. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi R.A. Kartini. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Raden Ajeng Kartini menjadi sosok pahlawan perempuan nasional yang tentunya diketahui masyarakat Indonesia. Berkat segala jasanya yang telah memperjuangkan pendidikan dan emansipasi bagi perempuan pribumi, hari kelahirannya setiap tahun yang jatuh pada 21 April senantiasa dirayakan oleh masyarakat Indonesia, terutama oleh perempuan.
ADVERTISEMENT
Ladies, tahukah kamu? Selain R.A Kartini, ternyata masih banyak pahlawan perempuan tangguh yang rela berjuang demi Indonesia dengan cara mereka masing-masing. Siapa saja mereka? Berikut 5 sosok pahlawan perempuan Indonesia.

1.Cut Nyak Dien

Cut Nyak Dien merupakan salah satu pahlawan perempuan nasional asal Aceh yang berjuang dan mempertaruhkan hidupnya dalam melawan penjajah Belanda.
Ia lahir di Lampadang, Kerajaan Aceh pada 1848 dari keluarga bangsawan yang taat beragama di Aceh Besar. Cut Nyak Dien mulai ikut mengangkat senjata dan berperang melawan Belanda pada 1880.
Akibat perang, suami pertamanya, Teuku Cek Ibrahim Lamnga tewas saat bertempur pada 29 Juni 1878. Bahkan, suami keduanya, Teuku Umar juga tewas tertembak pada 11 Februari 1899.
ADVERTISEMENT
Namun dia terus berjuang melawan kekuasaan Belanda, sampai akhirnya diasingkan di Sumedang, Jawa Barat bersama tahanan politik Aceh lainnya.
Pada 6 November 1908, Cut Nyak Dien meninggal di pengasingan dan makamnya baru ditemukan pada 1959.

2. Rohana Kudus

Rohana Kudus atau Roehanna Koeddoes lahir di Koto Gadang, Sumatera Barat, pada 20 Desember 1884.
Rohana berjuang melalui tulisan-tulisannya yang terbit di koran perempuan Poetri Hindia. Sampai akhirnya, pada 1912, ia mendirikan surat kabar perempuan Soenting Melajoe pada 1912.
Tulisannya kerap mengkritik budaya patriarki yang saat itu begitu kental di Sumatera Barat, seperti nikah paksa di bawah umur, poligami, dan pengekangan perempuan terhadap akses-akses ekonomi.
Selepas meninggalkan Soenting Melajoe, pengaruh Rohana masih begitu kuat di dunia pers. Ketika pindah ke Medan pada 1920, Rohana mengelola surat kabar Perempoean Bergerak bersama jurnalis tersohor setempat, Pardede Harahap.
ADVERTISEMENT
Kemudian, Rohana memutuskan untuk pindah kembali ke tanah kelahirannya Sumatera Barat dan mengajar di sekolah Vereeniging Studiefonds Minangkabau (VSM) Fort de Kock (Bukittinggi) sambil terus menulis.

3. Raden Dewi Sartika

Sama halnya dengan RA Kartini, Raden Dewi Sartika juga memperjuangkan masyarakat pribumi khususnya perempuan untuk mengenyam pendidikan. Ia lahir di Bandung pada 4 Desember 1884.
Sejak kecil Dewi Sartika memiliki bakat sebagai pengajar. Ia selalu memanfaatkan papan bilik, kandang kereta, dan pecahan genteng untuk mengajarkan pengetahuan kepada sesama. Dia juga mengajarkan saudara perempuannya keterampilan, seperti merenda, memasak, menjahit, membaca, dan menulis.
Akhirnya pada tahun 1904, Dewi Sartika berhasil membuka sekolah khusus perempuan dengan nama Sakola Istri. Sekolah itu didirikan di ruang pendopo Kabupaten Bandung dan dibantu oleh dua orang saudaranya.
ADVERTISEMENT
Sekolahnya berkembang pesat, sehingga menjadi nama Sakola Kautamaan Istri dan membuat organisasi Kautamaan Istri di Tasikmalaya. Kemudian, pada 1929 berganti lagi menjadi nama Sekolah Raden Dewi.

4. Raden Ajeng Kustiyah

Ia bernama asli Raden Ajeng Kustiyah Wulaningsih Retno Edi. Biasa dipanggil Kustiyah. Lahir di Serang pada 1752.
Saat Panembahan Serang menolak Perjanjian Giyanti yang dianggap merugikan rakyat, Belanda geram dan melakukan perang besar. Kustiyah pun membantu ayahnya untuk menahan serangan Belanda. Sayangnya, Kustiyah kemudian ditangkap dan dibawa ke Yogyakarta.
Tak selang lama, ia berhasil melarikan diri. Kustiyah pun bergabung dalam Perang Diponegoro. Kustiyah terus berjuang meski dalam kondisi dipikul dengan tandu. Oleh karena semangat dan kegigihannya, Kustiyah dikenal dengan nama Nyi Ageng Serang.
ADVERTISEMENT
Ia menguasai taktik strategi perang yang hebat. Bahkan Pangeran Diponegoro memilihnya sebagai penasihat dalam siasat perang. Pada 1828, Nyi Ageng Serang meninggal dunia pada usia 76 tahun, saat perang masih berlangsung.

5. Rasuna Said

Rasuna Said lahir pada 14 September 1910 di Desa Panyinggahan, Maninjau, Agam, Sumatera Barat.
Ayah Rasuna, Muhammad Said, adalah seorang aktivis pergerakan dan cukup terpandang di kalangan masyarakat Minang yang begitu mementingkan pendidikan.
Berbeda dengan saudara-saudaranya, Rasuna memilih sekolah agama Islam. Selepas sekolah dasar, dia belajar di pesantren Ar-Rasyidiyah dan menjadi satu-satunya santri perempuan.
Pada 1926, di usia 16 tahun, Rasuna Said memutuskan berkecimpung di ranah politik dengan menjadi sekretaris organisasi Sarekat Rakyat (SR) cabang Sumatera Barat, organisasi dengan tokoh sentral Tan Malaka.
ADVERTISEMENT
Dalam aktivitasnya sebagai propagandis, Rasuna kerap berorasi di hadapan publik yang mengkritik pemerintah kolonial Belanda.
Pada 1932, ketika Rapat Umum PERMI di Payakumbuh, Rasuna ditangkap saat melakukan pidato.
Ia diajukan ke pengadilan kolonial, kemudian dipenjara selama 14 bulan dengan dakwaan ujaran kebencian.
Meski kekuasaan beralih di tangan Jepang, ia tetap gigih memperjuangkan kemerdekaan. Sampai Indonesia merdeka, Rusuna Said terus berkecimpung di dunia politik.
Ladies, itulah beberapa pahlawan perempuan selain R.A Kartini, yang mengorbankan dirinya demi kepentingan Indonesia. Semoga mereka semua dapat menginspirasi kita untuk menjadi perempuan yang hebat dan tangguh.
Penulis: Nadya Zahira