Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Sering Dianggap Sepele, Self-Diagnosis Gangguan Mental Ternyata Bisa Berbahaya
10 Oktober 2024 20:43 WIB
·
waktu baca 3 menitADVERTISEMENT
Ladies, di era digital ini, informasi soal kesehatan mental menjadi tak terbatas. Kemudahan akses informasi tentu baik untuk meningkatkan kesadaran soal pentingnya kesehatan mental. Ini juga menyebabkan banyak orang melakukan self-diagnosis atau mendiagnosis kondisi mental secara mandiri.
ADVERTISEMENT
Dilansir Johns Hopkins Medicine, ahli profesional menyadari bahwa semakin banyak anak muda yang melakukan self-diagnosis akibat terpengaruh oleh konten media sosial yang diunggah para influencer.
Co-Director di Center for Behavioral Health di Johns Hopkins All Children’s Hospital St. Petersburg, Jennifer Katzenstein, mengatakan bahwa konten-konten soal kesehatan mental di media sosial memberikan ruang untuk orang-orang mendiskusikan soal kondisi yang mereka rasakan.
“Pengalaman para influencer itu mungkin beresonansi dengan yang dialami para anak muda, dan mereka mungkin mulai mengidentifikasi kondisi mereka dengan beragam gangguan (mental) seperti kecemasan, depresi, hingga kondisi seperti autisme,” papar Jennifer.
Dikutip dari University of Colorado Denver, self-diagnosis adalah ketika seseorang menyatakan bahwa dia mengalami kondisi mental tertentu tanpa konfirmasi atau diagnosis dari psikiater.
ADVERTISEMENT
Self-diagnosis biasanya dilakukan dengan cara mencari tahu soal gejala yang dialami, mengaitkan pengalaman yang dirasakan dengan pengalaman orang lain yang serupa, atau dengan mengisi kuis-kuis atau asesmen secara online.
Misalnya, ketika seseorang merasakan sedih yang berkepanjangan, ia kemudian menyimpulkan bahwa ia mengidap depresi. Atau, ketika seseorang mengalami perubahan mood yang cepat, ia berasumsi bahwa ia mengidap gangguan bipolar.
Self-diagnosis bisa jadi berbahaya
Menurut Jennifer, ada perbedaan antara pengalaman kesehatan mental dan gangguan mental . Pengalaman kesehatan mental merupakan cakupan perasaan dan kondisi psikis yang dialami oleh seseorang setiap harinya. Contohnya adalah perasaan sedih, marah, stres, atau bahagia.
Sementara itu, gangguan mental melibatkan sejumlah gejala yang membentuk pola. Kemudian, gejala-gejala tersebut mengganggu kualitas hidup dan kegiatan sehari-hari, entah di pekerjaan atau ranah pribadi. Pola gejala tersebut harus dianalisis oleh ahli, mulai dari psikolog hingga dokter spesialis kejiwaan.
ADVERTISEMENT
Gangguan mental merupakan kondisi yang kompleks. Harus ada kriteria tertentu yang terpenuhi untuk bisa mendapatkan diagnosis yang tepat. Sering kali, gejala tertentu akan muncul di jenis-jenis gangguan mental yang berbeda. Tak jarang, misdiagnosis atau diagnosis yang salah terjadi.
Lantas, mengapa self-diagnosis bisa menjadi berbahaya? Ketika seseorang mendiagnosis diri sendiri dengan gangguan mental tertentu, dia bisa saja mengambil langkah penanganan yang kurang tepat.
Ini bisa memperburuk kondisi mental yang mungkin diderita. Kemudian, self-diagnosis bisa menyebabkan keterlambatan penanganan gangguan mental.
“Menggunakan platform media sosial untuk melakukan self-diagnosis bisa berujung pada persepsi yang kurang tepat terkait kesehatan mental, dan pada akhirnya menyebabkan stres dan kecemasan yang tak perlu,” jelas Jennifer, dilansir Johns Hopkins Medicine.
ADVERTISEMENT
Jika kamu merasakan gejala-gejala gangguan mental tertentu, jangan langsung menarik kesimpulan dan mendiagnosis diri sendiri. Kamu dianjurkan untuk mencatat gejala yang kamu rasakan dan mengonsultasikannya dengan ahli profesional.
Ahli seperti psikiater atau dokter spesialis jiwa akan menentukan apakah gejalamu sesuai dengan kriteria yang tercantum dalam panduan mereka. Dengan begitu, kamu akan bisa mendapatkan penanganan yang tepat sesuai dengan diagnosis yang telah ditentukan.