Sosok Sanae Takaichi, Perdana Menteri Perempuan Pertama Jepang
24 Oktober 2025 11:30 WIB
·
waktu baca 3 menit
Sosok Sanae Takaichi, Perdana Menteri Perempuan Pertama Jepang
Sanae Takaichi, dikenal sebagai ‘Iron Lady’ Jepang, mencatat sejarah sebagai perdana menteri perempuan pertama dengan gaya kepemimpinan tegas dan konservatif.kumparanWOMAN

ADVERTISEMENT
Setelah hampir delapan dekade sejak Jepang memiliki sistem pemerintahan modern, sejarah baru akhirnya tercipta. Sanae Takaichi, perempuan berusia 64 tahun yang dikenal tegas dan berprinsip kuat, resmi terpilih sebagai perdana menteri perempuan pertama Jepang pada Selasa (21/10).
ADVERTISEMENT
Terpilihnya Sanae menjadi momen penting bagi kesetaraan gender di negeri yang selama ini dikenal konservatif terhadap peran perempuan di ranah publik.
Dari Nara ke Puncak Kekuasaan Negeri Sakura
Takaichi lahir dan besar di Prefektur Nara, sebuah wilayah di Jepang tengah yang dikenal dengan sejarah panjang dan tradisi klasiknya. Berbeda dari banyak politisi senior Jepang yang berasal dari keluarga elite atau berpendidikan di universitas luar negeri, Takaichi justru meniti jalannya dengan cara yang lebih sederhana.
Ia menempuh pendidikan di Universitas Kobe, dan mulai terjun ke dunia politik pada 1990-an melalui Partai Demokrat Liberal (LDP), partai yang telah lama mendominasi politik Jepang.
Perjalanannya tidak mudah. Dunia politik Jepang terkenal maskulin dan hierarkis. Tapi Takaichi bukan sosok yang mudah goyah. Dengan sikap disiplin dan pandangan politik yang tegas, ia berhasil menembus berbagai posisi strategis, termasuk menjadi menteri dalam kabinet Shinzo Abe, sosok yang kemudian dikenal sebagai mentornya. Abe pula yang membuka jalan bagi Takaichi untuk semakin dikenal publik luas sebagai politisi perempuan konservatif yang berani dan berpengaruh.
ADVERTISEMENT
‘Iron Lady’ Jepang yang Kagum pada Margaret Thatcher
Media Jepang menjulukinya sebagai “Iron Lady”, mengacu pada mantan Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher, tokoh yang sangat ia kagumi. Julukan itu bukan tanpa alasan. Takaichi dikenal dengan gaya kepemimpinan yang tegas, konservatif, dan penuh keyakinan.
Dalam kampanye kepemimpinannya, ia berjanji untuk melanjutkan semangat Abenomics atau strategi ekonomi yang dirancang Abe dengan fokus pada ekspansi fiskal, pelonggaran moneter, dan reformasi struktural.
Namun, di balik ketegasannya, Takaichi juga membawa pandangan sosial yang konservatif. Ia menolak legalisasi pernikahan sesama jenis, menentang pelonggaran kebijakan imigrasi, dan berpendapat bahwa sistem kekaisaran Jepang sebaiknya tetap memberikan prioritas pada laki-laki dalam garis suksesi.
Di bidang pertahanan, Takaichi dikenal sebagai “China hawk”, pendukung penguatan militer Jepang serta hubungan erat dengan Amerika Serikat, terutama di tengah meningkatnya ketegangan di kawasan Asia Timur.
ADVERTISEMENT
Cermin Perempuan dalam Politik Jepang
Menariknya, kemenangan Takaichi juga menandai perubahan besar dalam lanskap politik Jepang, negara yang selama ini dikenal dengan dominasi laki-laki di dunia politik dan bisnis. Meski Jepang merupakan salah satu ekonomi terbesar di dunia, representasi perempuan di parlemen masih tergolong rendah.
Namun, perjalanan Takaichi tidak lepas dari kritik. Banyak pihak menilai bahwa meski ia membawa kebanggaan sebagai perempuan pertama yang menjabat perdana menteri, kebijakannya belum tentu progresif terhadap isu-isu perempuan dan kesetaraan gender. Dalam pandangan politiknya yang konservatif, Takaichi lebih menekankan stabilitas dan nasionalisme dibandingkan reformasi sosial.
Kini, seluruh dunia menanti bagaimana Takaichi akan menulis babak baru dalam sejarah Jepang. Ia mungkin dikenal keras dan konservatif, tapi kehadirannya tetap menjadi simbol bahwa perempuan, dengan segala dinamika dan kompleksitasnya, bisa memimpin salah satu negara paling berpengaruh di dunia.
ADVERTISEMENT
