Survei Terbaru UN Women Ungkap Kondisi Memprihatinkan Perempuan di Rafah

15 Mei 2024 14:15 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Warga beristirahat di luar, ketika warga Palestina tiba di Rafah setelah mereka dievakuasi dari rumah sakit Nasser di Khan Younis akibat operasi darat Israel di Jalur Gaza selatan. Foto: Mohammed Salem/Reuters
zoom-in-whitePerbesar
Warga beristirahat di luar, ketika warga Palestina tiba di Rafah setelah mereka dievakuasi dari rumah sakit Nasser di Khan Younis akibat operasi darat Israel di Jalur Gaza selatan. Foto: Mohammed Salem/Reuters
ADVERTISEMENT
Operasi militer Israel di Gaza sudah berlangsung tujuh bulan lamanya. Hingga saat ini, pasukan bersenjata Israel masih membombardir sejumlah area di Gaza, termasuk kamp pengungsi Jabalia di utara dan Rafah di selatan. Akibat serangan bertubi-tubi itu, ribuan korban jiwa berjatuhan. Sementara bagi yang selamat, mereka harus menanggung tekanan fisik dan mental.
ADVERTISEMENT
Kota Rafah, yang berbatasan langsung dengan Mesir di selatan Gaza, merupakan salah satu titik pengungsian Gaza yang sangat padat. Dikutip dari Al-Jazeera, sekitar 1,4 juta orang mengungsi di Rafah untuk mencari perlindungan dari serangan Israel.
Rafah mulanya dianggap sebagai satu-satunya tempat aman bagi warga Gaza yang kehilangan tempat tinggal. Namun, Israel justru melancarkan serangan di area tersebut. Menurut Reuters, sejak 6 Mei 2024, diperkirakan sebanyak 450 ribu orang telah melarikan diri dari Rafah.
Warga Palestina dari Rafah dengan membawa barang-barang setelah perintah evakuasi oleh tentara Israel saat tiba di Khan Yunis, Senin (6/5/2024). Foto: AFP
Serangan yang bertubi-tubi, diikuti dengan kondisi hidup di pengungsian yang berat dan menipisnya barang-barang kebutuhan pokok membuat kehidupan para pengungsi sangat berat. Selain itu, kondisi fisik dan mental para perempuan terus menurun dengan drastis.
UN Women, badan PBB yang berfokus pada kesetaraan gender dan perempuan, melakukan survei terkait kondisi para perempuan di Rafah. Survei yang dirilis pada 6 Mei 2024 itu mengungkap, 93 persen responden perempuan mengaku merasa tidak aman di tempat mereka tinggal saat itu.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, 80 persen perempuan mengaku merasa depresi, 66 persen tidak bisa tidur, dan lebih dari 70 persen merasakan cemas berlebih serta mengalami mimpi buruk.
Seorang wanita menggendong bayi ketika warga Palestina yang melarikan diri dari Khan Younis akibat operasi darat Israel tiba di Rafah, di tengah konflik yang sedang berlangsung antara Israel dan kelompok Islam Palestina Hamas, di Jalur Gaza selatan. Foto: Mohammed Salem/Reuters
“Tidak ada rasa aman atau keselamatan. Saya khawatir atas hidup saya, suami saya, dan anak-anak saya. Jika saya bisa berbicara sampai 100 tahun ke depan, saya tetap tak bisa mendeskripsikan rasa takut yang kami rasakan,” ucap seorang perempuan di Rafah berusia 45 tahun, sebagaimana dikutip dari keterangan resmi UN Women.
51 persen dari responden perempuan mengatakan, mereka mengidap kondisi kesehatan yang memerlukan pengobatan medis darurat sejak awal operasi militer pada 7 Oktober 2023. Sebanyak 62 persen di antaranya tidak mampu membayar biaya pengobatan yang dibutuhkan.
ADVERTISEMENT

Kondisi memprihatinkan ibu hamil

Kondisi memprihatinkan juga dialami oleh ibu hamil di Rafah. Setiap 6 dari 10 ibu hamil yang diwawancara melaporkan bahwa mereka mengalami komplikasi. 95 persen mengatakan, mereka mengidap infeksi saluran kemih; 80 persen mengidap anemia; 30 persen mengalami persalinan prematur; dan 50 persen mengalami gangguan hipertensi. Sebanyak 72 persen perempuan kesulitan untuk menyusui.
Seorang wanita menggendong bayi ketika warga Palestina tiba di Rafah setelah mereka dievakuasi dari rumah sakit Nasser di Khan Younis. Foto: Mohammed Salem/Reuters
Para perempuan, sebagai pengurus utama rumah tangga, juga semakin terbebani dengan urusan keluarga selama mengungsi. 79 persen dari total responden perempuan dan laki-laki mengatakan, para ibu terbebani tanggung jawab rumah tangga yang lebih besar dalam memberikan dukungan emosional untuk anggota keluarga, baik yang sudah dewasa maupun anak-anak.
Menurut laporan UN Women yang dirilis pada April lalu, sebanyak 10 ribu perempuan di Gaza tewas akibat operasi militer Israel. 6 ribu di antaranya adalah ibu, meninggalkan 19 ribu anak menjadi piatu.
ADVERTISEMENT
Direktur Eksekutif UN Women, Sima Bahous, menegaskan bahwa gencatan senjata harus segera dilakukan untuk menyelamatkan nyawa ribuan warga Palestina, termasuk perempuan dan anak perempuan.
“Perempuan dan anak perempuan di Rafah, termasuk di Gaza, berada dalam kondisi yang dipenuhi kehancuran dan ketakutan. Invasi darat akan menjadi eskalasi yang berisiko membunuh ribuan warga sipil lainnya dan memaksa ratusan ribu orang melarikan diri. Kita harus melindungi warga sipil. Kita perlu melakukan gencatan senjata sesegera mungkin dan penyebaran bantuan kemanusiaan yang aman di seluruh Gaza,” tegas Sima.