Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Ladies, saat bicara soal role model atau sosok panutan, siapa nama yang terbesit dalam benak Anda? Nama-nama besar seperti Michelle Obama, Malala Yousafzai, hingga Kamala Harris tentu menjadi yang terdepan bagi sebagian dari kita. Secara global, para perempuan tersebut memang dikenal begitu menginspirasi lewat aksi-aksi yang dilakukan.
Sedangkan di Indonesia sendiri, ada juga banyak perempuan yang patut dijadikan role model namun tak banyak yang tahu. Seringnya, nama yang banyak disebutkan hanya itu-itu saja, seperti R. A. Kartini, Sri Mulyani, Susi Pudjiastuti, Najwa Shihab, hingga Maudy Ayunda. Padahal, Indonesia sebenarnya memiliki banyak perempuan hebat yang patut dijadikan sebagai panutan. Tetapi nama mereka tak banyak disorot sehingga kita hampir tidak tahu tentang prestasi mereka.
Alhasil, perempuan muda yang tinggal di Indonesia atau yang lama menempuh pendidikan di luar negeri tak banyak tahu kalau sebenarnya perempuan Indonesia juga tak kalah hebat dari perempuan dunia lainnya. Hal ini terungkap dari obrolan kami bersama Abigail Limuria, Co-Founder Lalita Project, sebuah platform yang fokus memberdayakan perempuan lewat storytelling.
“Saat isu women empowerment marak di Amerika, pesannya sangat bagus. Jadi informasi dan pengetahuan saya soal isu itu hanya berasal dari Amerika, sedangkan saya orang Indonesia. Akhirnya saya bertanya-tanya, siapa saja sosok perempuan inspiratif di Indonesia selain Kartini. Waktu itu sosok mereka itu tidak sebanyak sekarang,” ungkap Abigail Limuria, pada kumparanWOMAN saat melakukan wawancara untuk program The Future Makers .
Berangkat dari keresahan ini, Abigail bersama dengan rekannya Grace Kadiman mencari tahu profesi paling jarang yang sepertinya tidak mungkin dilakukan perempuan Indonesia. Ternyata, ia justru menemukan sosok perempuan hebat yang menjadi astronot pertama di Indonesia, bahkan di Asia, yaitu Pratiwi Sudarmono.
“Saya bilang pada Grace untuk mencari profesi yang sepertinya tidak mungkin dijalani perempuan Indonesia. Dia bilang astronot, lalu saya cari tahu siapa perempuan Indonesia yang menjadi astronot dan ternyata ada, dia adalah Bu Pratiwi Sudarmono. Dari situ saya semakin yakin kalau sebenarnya Indonesia punya banyak perempuan hebat yang tidak terekspos,” jelasnya.
Ia dan Grace kemudian punya inisiatif membuat buku bertajuk Lalita pada 2019. Buku ini berisi kisah dari 51 perempuan inspiratif yang mengharumkan nama Indonesia dari berbagai profesi dan latar belakang. Masing-masing dari cerita mereka dituliskan dalam 300 kata dan diilustrasikan oleh 51 illustrator.
Buku Lalita ini menghadirkan sosok-sosok perempuan inspiratif seperti pejuang perdagangan manusia, Shandra Woworuntu; Fisikawan penemu teknologi untuk baterai ramah lingkungan, Evvy Kartini; hingga nama-nama yang sudah populer seperti Sri Mulyani, sampai Maudy Ayunda.
Kini, Lalita tidak hanya sekadar buku. Apa yang diciptakan oleh Abigail dan rekannya ini berubah menjadi sebuah platform bernama Lalita Project yang fokus memberdayakan perempuan lewat storytelling atau cerita.
Berani maju jadi kunci utama Abigail Limuria untuk hadapi tantangan
Bagi Abigail sendiri, perjalanan membuat buku Lalita ini tak pernah mudah. Sebagai perempuan yang saat itu masih berstatus sebagai mahasiswa di Biola University di California, Abigail mengaku bahwa ia tak lancar berbahasa Indonesia. Jadi ia tentu kesulitan untuk menulis dengan kosa kata yang baik dan benar.
“Tantangannya tentu banyak sekali, salah satunya karena saya kuliah di luar negeri, otomatis bahasa Indonesia saya tidak lancar. Lalu bagaimana caranya saya bisa menulis dengan baik dan benar. Jadi mau tidak mau saya harus belajar lagi supaya bisa menuntaskan Lalita,” pungkasnya.
Ditambah lagi, karena usianya yang masih muda dan statusnya mahasiswa, ia dan Grace juga kerap disangka sedang menyelesaikan tugas sekolah saat mengerjakan Lalita. Padahal apa yang mereka lakukan tak sekadar membuat buku untuk mengedukasi, tapi juga merayakan prestasi perempuan Indonesia yang patut dijadikan panutan.
Tapi bagi Abigail sendiri, keberanian menjadi kunci utama dalam menghadapi tantangan. Ketidaktahuannya justru menjadi api semangat yang membuatnya ingin terus berusaha agar bisa menyelesaikan buku Lalita.
Misi untuk diri sendiri dan perempuan lain
Bicara tentang impian sebagai seorang perempuan muda, Abigail menginginkan tiga hal penting dalam hidupnya. Pertama, ia ingin hidup yang penuh petualangan dan dinamis, tidak terpatok pada rutinitas. Kedua, ia ingin dikelilingi oleh orang yang bisa membentuk hubungan otentik dan penuh arti. Ketiga, ia ingin menjadi perempuan yang bisa terus belajar.
“Saya paling takut terjebak dalam ritme yang sama dalam hidup. Misalnya kita sebagai manusia lahir, sekolah, kerja, nikah, punya anak, lalu meninggal. Makanya saya ingin kehidupan yang penuh petualangan dan dinamis. Oleh karena itu saya ingin bisa terus belajar dalam setiap tahapan di kehidupan saya sehingga hidup saya penuh arti dan juga dikelilingi orang-orang yang memang tulus,” ungkapnya.
Sedangkan untuk perempuan lain, Abigail juga punya impian yang tak kalah penting. Ia ingin gender tak lagi menjadi ukuran dalam berbagai hal dalam hidup. “Saya ingin suatu hari kita tidak perlu pakai kata perempuan setelah kata pebisnis. Jadi ya sudah, pebisnis saja tidak usah pebisnis perempuan,” jelasnya.
Ia juga menambahkan agar perempuan percaya diri dengan pemikirannya sendiri, mandiri, dan bisa jadi apa saja yang mereka mau tanpa menjiplak panutan mereka. “Punya panutan itu memang penting, tapi menurut saya kita tidak perlu melakukan segala hal demi menjadi seperti panutan itu. Ambil semua pelajaran penting dari role model kita, setelah itu tentukan masa depan kita sendiri karena kita punya karakter dan pemikiran yang berbeda-beda. Jadi hasilnya pun tak harus sama,” ungkap Abigail Limuria.
Abigail turut menyampaikan pesan untuk perempuan muda lainnya. Ia ingin agar mereka melakukan sesuatu bukan karena ingin dilihat orang. Menurutnya, kita harus memikirkan segala hal yang akan kita lakukan. Sebab semua datang dengan konsekuensi masing-masing.
“Di era media sosial ini, jabatan sebagai CEO, founder, co-founder, itu memang terlihat glamor. Tapi pada kenyataannya itu sulit sekali. Bahkan kadang menyengsarakan dan saya yakin jabatan itu tidak untuk semua orang. Jadi pastikan kalau memang jabatan itu yang diinginkan, jangan komplain dengan segala hal yang terjadi ketika sudah dijalani,” pungkasnya.
Simak kisah inspiratif dari The Future Makers dan artikel menarik lainnya dalam rangkaian program Women's Week 2021 .