UU KDRT Sudah 20 Tahun Berjalan, tapi Masih Belum Efektif?

13 Juni 2024 19:06 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Foto: Nugroho Sejati/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Foto: Nugroho Sejati/kumparan
ADVERTISEMENT
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) masih menjadi masalah pelik di Indonesia. Meskipun Indonesia memiliki Undang-undang yang mengatur soal hukuman KDRT, ternyata penerapannya dianggap belum terlalu efektif. Komnas Perempuan pun memiliki sejumlah catatan penting terkait hambatan penerapan UU KDRT di Tanah Air.
ADVERTISEMENT
Dalam wawancara dengan kumparanWOMAN, Komnas Perempuan menyebut bahwa KDRT di Indonesia merupakan fenomena gunung es, yaitu kasus yang tidak dilaporkan jauh lebih besar ketimbang yang dilaporkan. Menurut data pelaporan Komnas Perempuan, selama 21 tahun Catatan Tahunan (CATAHU), mereka mencatat ada 2,5 juta kasus kekerasan di ranah personal. Dari angka tersebut, 484.993 kasus merupakan KDRT berbentuk kekerasan terhadap istri.
Di tengah tingginya kasus KDRT di Indonesia, kehadiran undang-undang sebagai instrumen penegakan hukum ternyata belum sepenuhnya efektif. UU yang mengatur KDRT adalah UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT).
Ilustrasi KDRT. Foto: Africa Studio/Shutterstock
Komisioner Komnas Perempuan Rainy Hutabarat mengungkap, secara aspek substantif, UU PKDRT memastikan akses pencegahan, penanganan, dan pemulihan korban. UU memastikan korban mendapatkan perlindungan, memperoleh pertolongan darurat, hingga mendapatkan fasilitas pemulihan.
ADVERTISEMENT
Namun, jika dilihat dari aspek struktural, Rainy menyebut bahwa masih ada hambatan dalam penegakan UU PKDRT di Indonesia. Berikut catatan oleh Komnas Perempuan terkait undang-undang tersebut.

1. Aparat perlu lebih memahami UU PKDRT

Ilustrasi KDRT. Foto: PR Image Factory/Shutterstock
Salah satu poin yang Rainy tegaskan adalah penguatan kapasitas aparat penegak hukum (APH) dalam memahami UU PKDRT dan pelaksanaannya, termasuk kaitannya dengan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) atau UU Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
“Masih terdapat APH yang mengajukan solusi damai secara kekeluargaan sehingga KDRT berulang dan mengabaikan hak korban termasuk hak atas pemulihan yang komprehensif,” ucap Rainy secara tertulis kepada kumparanWOMAN, Sabtu (8/6).
Selain itu, Rainy mencatat, aparat harus memahami kebutuhan korban, termasuk korban yang merupakan penyandang disabilitas. Kebutuhan korban disabilitas ini diatur dalam PP No. 39 tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak bagi Penyandang Disabilitas dalam Proses Peradilan.
ADVERTISEMENT
Rainy juga mengatakan, masih banyak perempuan korban KDRT dalam pernikahan siri yang kesulitan dalam pelaporan kasus. UU PKDRT memang mengatur hak korban KDRT, tetapi aparat masih mengacu pada perkawinan dan rumah tangga yang definisinya diatur dalam UU Perkawinan. Dalam UU tersebut, disebutkan bahwa perkawinan dicatat oleh negara menurut UU yang berlaku.

2. Masih terbatasnya layanan pengaduan

Ilustrasi kekersan (KDRT). Foto: Shutterstock
Hambatan lainnya adalah layanan pengaduan yang masih terbatas, terutama di wilayah 3T alias wilayah terpencil, terluar, dan termiskin. Menurut Rainy, akses layanan pengaduan tidak tersedia atau sulit dijangkau karena transportasi tidak mendukung.
“Layanan pengaduan dan pendampingan umumnya terpusat di Jawa dan kota-kota besar. Dalam konteks seperti ini, KDRT berpotensi terus berulang, korban mengalami trauma akut dan dapat mengalami gangguan jiwa karena kasusnya terabaikan dan tidak mendapat pemulihan,” tegas Rainy.
ADVERTISEMENT

3. Hukuman tambahan terhadap pelaku tidak dijatuhkan

Menurut Rainy, masih banyak pelaku KDRT yang tidak dijatuhi hukuman tambahan terkait rehabilitasi, seperti konseling. Hal ini disebabkan oleh ketidakjelasan lembaga yang punya wewenang menjalankan konseling pada pelaku.

4. Butuh peraturan turunan dalam implementasi UU PKDRT

Ilustrasi KDRT. Foto: sdecoret/Shutterstock
Meskipun secara substansi UU PKDRT sudah memastikan perlindungan dan pemulihan untuk korban, Komnas Perempuan menegaskan bahwa UU PKDRT masih memerlukan peraturan turunan agar implementasinya tepat.
“Dari substansi masih dibutuhkan peraturan turunan untuk implementasi UU PKDRT khususnya amanat memastikan perlindungan sementara dan penetapan perlindungan bagi korban,” ucap Rainy.

5. Hambatan secara budaya

Kendati UU PKDRT sudah ada sejak dua dekade lalu, masih banyak perempuan korban yang tidak “mempergunakan” undang-undang tersebut karena tidak melapor. Ya, dari aspek kebudayaan, masyarakat masih menilai bahwa kasus KDRT adalah hal yang tabu untuk diungkap.
ADVERTISEMENT
“Penyelesaian secara damai melalui mekanisme adat karena nilai-nilai adat, merupakan tantangan kultural. Relasi kuasa berlapis dengan pelaku di mana perempuan dalam posisi subordinat baik dari aspek gender, ekonomi maupun keuangan mengakibatkan perempuan korban takut untuk melapor. Perempuan korban juga terpaksa memilih diam dan tak ingin bercerai demi anak-anak,” pungkas Rainy.
Untuk itu, Rainy menegaskan bahwa para korban memerlukan sistem dukungan yang baik, termasuk dukungan ekonomi, agar bisa mengadukan kasus mereka.