Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Voice of Baceprot Cerita Stigma Gender & Tekanan Jadi Perempuan di Dunia Musik
12 Mei 2025 21:00 WIB
·
waktu baca 5 menit
ADVERTISEMENT
Bagi Voice of Baceprot, menjadi musisi band metal di usia muda adalah pengalaman hidup yang tak disangka. Manggung di berbagai festival besar bergengsi dunia, tur di negara orang, memiliki audiens dari berbagai negara, sampai menjadi global brand ambassador mungkin terdengar bak mimpi. Namun, tiga perempuan asal Garut ini berhasil meraihnya.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, perjalanan mereka tidak dilalui tanpa rintangan. Marsya, Widi, dan Sitti masih harus menghadapi berbagai stigma sampai represi dari berbagai sisi—mulai dari masyarakat luas sampai lingkungan sekitar. Menjadi musisi perempuan dalam genre metal saja sudah dipandang sebelah mata, ditambah pula dengan hijab yang mereka kenakan? “Anomali”, mungkin.
Seakan tidak terganggu dengan berbagai tantangan tersebut, trio ini berbincang dengan kumparanWOMAN dengan tawa renyah mengikuti setiap jawaban. Mereka membuktikan bahwa mereka tak takut menjadi “anomali”. Sudah kepalang tanggung, sudah “nyebur” di dunia ini, sekalian saja dilanjutkan, begitu kata Marsya, vokalis dan gitaris berusia 24 tahun ini.
Hijab, bagi perempuan Muslim, merupakan bentuk kewajiban dari Tuhan. Namun, bagi segelintir orang, hijab hanyalah “daya tarik” yang menghiasi kepala Marsya, Widi, dan Sitti. Para personel band yang didirikan pada 2014 ini mengatakan, dianggap menarik hanya karena hijab adalah salah satu stigma yang mereka hadapi di industri musik.
ADVERTISEMENT
“Stigmanya mungkin masih enggak bisa keluar dari orang-orang menganggap kita menarik cuma dari penampilan. Jadi, kalau diundang ke acara sebesar Glastonbury (festival musik bergengsi di Inggris -red), ada yang bilang, ‘Ah, mungkin karena kalian terlihat menarik saja, kali’,” terang Marsya saat sesi wawancara di Vans Old Skool Block Party, M Bloc Space, Jakarta Selatan, Rabu (30/4) lalu.
Tak sedikit pula yang menganggap VoB tidak akan jadi apa-apa tanpa hijab mereka. Untuk itu, para musisi muda ini punya jawaban tersendiri.
“‘Ya sudah, deh, selamat, tapi kalian tanpa hijab tuh bisa apa?’ Ya, memang benar, kita kan memang muslimah sejati. Tapi kenapa, ya, bisa sependek itu mikirnya?” ucap Marsya sambil terkekeh.
Namun, ketidakpercayaan orang-orang atas seni yang diciptakan Marsya, Widi, dan Sitti tetap tidak bisa mengalahkan kebahagiaan mereka atas seluruh pencapaian. Tak perlu berpusing, antusiasme para penggemar—terlebih mereka yang di luar negeri—langsung membangkitkan semangat mereka kembali.
ADVERTISEMENT
“Penonton luar negeri yang antusias banget dan kayak respect banget sama musik kita, sih. Itu kayak, enggak nyangka banget, sih. Di sini juga audiensnya ramai, tapi enggak se-all out yang di luar negeri,” jelas Widi, sang bassist VoB.
Pun dengan yang dirasakan Sitti. Ia masih tak menyangka bahwa ternyata ada penggemar setia yang sudah mengikuti jejak mereka dari satu dekade lalu.
“Kalau ke luar negeri, aku kaget misal ada bule yang bilang sudah mengikuti musik kita dari lama. Dia mengikuti proses kita. Dia bilang, ‘Saya udah mengikuti kalian dari 2017,’ bahkan dari 2014 ketika awal kita terbentuk. Aku jadi, “Hah?” Ada juga fans setia yang akhirnya aku bisa menginjakkan kaki di tanah mereka,” papar sang drummer.
ADVERTISEMENT
Kekurangan ruang aman sampai dituduh menyogok
Tantangan VoB tidak sekadar datang dari prasangka soal hijab mereka. Keperempuanan mereka, identitas yang menjadi kebanggaan, justru menjadi momok bagi perjalanan mereka. Marsya mengungkap, mereka masih sulit untuk bisa menikmati ruang aman.
“Suka dukanya sebagai perempuan, enggak semua tempat itu ada ruang aman yang terjamin. Kita juga masih harus bekerja agak keras untuk bisa didengar,” ujarnya singkat.
Keperempuanan lagi-lagi membuat mereka dianggap sebagai “sasaran empuk” perundungan. Ketika hendak tampil di festival besar Wacken Open Air di Jerman, Voice of Baceprot menerima tuduhan yang pahit: menyogok panitia.
“Bahkan, ada beberapa kasus yang bilang kita menyogok Wacken biar kita bisa main di sana. Padahal kalau kita punya uang, daripada menyogok Wacken, mending kita beli sawah,” canda Marsya.
ADVERTISEMENT
Voice of Baceprot bukanlah band Indonesia pertama yang tembus ke Wacken. Sejumlah band lain, seperti Burgerkill, Down for Life, Beside, hingga Taring pernah merasakan euforia penggemar di Wacken Open Air. Namun, ada satu persamaan antara band-band pendahulu VoB: Mereka semua beranggotakan laki-laki.
Marsya dan Widi berpendapat, tuduhan menyogok ini dilontarkan karena mereka perempuan. Sebab, sepengetahuan mereka, para pendahulunya itu tak pernah mendapatkan tuduhan yang sama.
“Soalnya sebelum-sebelumnya, yang ke Wacken itu—kita bukan band pertama yang ke sana—aman-aman saja, kabarnya. Karena mereka cowok,” ucap Marsya dan Widi.
Sebagai perempuan, mereka juga masih belum bisa lepas dari stereotip dan standar kecantikan. Marsya menyebut, sulit bagi mereka untuk memilih busana apa yang ingin dikenakan.
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
“Mulai dari ketubuhan dulu, ya. Sebagai perempuan, sulit saat kita ingin pakai baju yang kita inginkan. Misalnya, Sitti pernah enggak pede saat mau pakai kulot, karena saat itu orang-orang stereotipenya itu, ‘Orang-orang dengan bentuk tubuh Sitti, tuh, enggak cocok.’ Bahkan sama orang-orang terdekat, di lingkungan kerja sekalipun,” jelasnya.
Namun, apalah tantangan itu jika dihadapkan dengan determinasi kuat. Baik Marsya, Widi, dan Sitti sudah terlanjur “nyebur”; jadi, yang mereka lakukan adalah terus melanjutkan perjalanan.
“Kita enggak menganggap itu penting, tantangan itu kita skip saja, jalan saja. Terus kita juga sering nyeletuk, sudah kepalang basah,” ucap Marsya.
“Nanggung, lumayan ngehasilin duit soalnya,” sahut Widi.
“Karena bakat kita cuma ini, sudah passion kita,” tutup Sitti.
ADVERTISEMENT