Yang ‘Tersembunyi’ di Balik Kasus Polwan Bakar Suami Menurut Komnas Perempuan

16 Juni 2024 20:00 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Ilustrasi kekerasan dalam rumah tangga. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi kekerasan dalam rumah tangga. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Kasus polwan Briptu Fadhilatun Nikmah yang cekcok hingga membakar tubuh suaminya, Briptu Rian Dwi Wicaksono, ternyata menyimpan fakta-fakta di baliknya. Komnas Perempuan pun menyorot sejumlah hal yang diduga menjadi faktor dari insiden tersebut.
ADVERTISEMENT
Dilansir kumparanNEWS, cekcok antara pasutri polisi asal Mojokerto, Jawa Timur, ini terjadi akibat Rian diduga sering menghabiskan uang bulanan untuk judi online. Fadhilatun pun menyiram tubuh dan wajah Rian dengan bensin. Karena terdapat sumber api di dekat TKP, api pun terpercik dan membakar tubuh Rian. Ia menderita luka bakar serius hingga 90 persen.
Rian meninggal dunia usai menjalani perawatan di RSUD Dr Wahidin Sudirohusodo, Kota Mojokerto, pada Minggu (9/6). Sebelum Rian meninggal dunia, Fadhilatun disebut telah meminta maaf kepadanya.
Dalam keterangan resminya, Komnas Perempuan mengatakan bahwa ada catatan dan pembelajaran yang harus dipetik dari kejadian ini. Mereka pun memaparkan hal-hal “tersembunyi” dalam kasus ini yang luput dari mata publik.

1. Bermula dari kekerasan ekonomi

Ilustrasi judi online. Foto: Clari Massimiliano/Shutterstock
Fadhilatun dan Rian disebut terlibat cekcok akibat permasalahan ekonomi. Rian diduga kerap kali menghabiskan uang untuk bermain judi online. Padahal, mereka memiliki tiga anak yang masih batita: anak pertama berusia dua tahun dan anak kedua serta ketiga adalah kembar yang masih berusia empat bulan. Ini merupakan kekerasan ekonomi, salah satu bentuk KDRT.
ADVERTISEMENT
Komnas Perempuan menyebut, Fadhilatun mengalami tekanan berlapis, yaitu dalam segi ekonomi dan psikis. Secara ekonomi, ia mendapatkan tekanan karena judi online yang dilakukan Rian. Sementara itu, secara psikis, Fadhilatun dibebankan dengan peran pengasuhan ketiga anaknya.
“Tindak pembakaran tersebut tampaknya merupakan eskalasi masalah dan respons reaktif istri pada tekanan yang semakin membesar di dalam perkawinannya,” kata Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani.

2. Penanganan KDRT yang masih lemah

Pertengkaran berulang antara Fadhilatun dan Rian terkait judi online tidak digubris oleh Rian, sehingga menyebabkan tekanan yang dirasakan Fadhilatun tak terbendung. Fadhilatun tidak segera mendapatkan bantuan dan berujung pada eskalasi konflik antara keduanya.
Komnas Perempuan mengatakan, penanganan KDRT yang belum sepenuhnya efektif juga menjadi salah satu faktor dari insiden ini. Mereka pun mendorong pihak-pihak berwenang, terutama Kepolisian, untuk melakukan intervensi soal KDRT yang lebih komprehensif.
ADVERTISEMENT
“Situasi kekerasan di dalam rumah tangga perlu menjadi perhatian yang lebih serius untuk ditangani segera agar tidak berkelanjutan dan berakibat fatal. Dalam hal ini, penghilangan nyawa maupun bunuh diri,” ucap Andy.

3. Darurat judi online

Ilustrasi judi slot. Foto: Melly Meiliani/kumparan
Salah satu faktor besar di balik kasus ini adalah judi online yang dilakukan oleh Rian. Komnas Perempuan mencatat, judi online dan masalah ekonomi lainnya seperti pinjaman online dapat berisiko memperburuk rumah tangga. Risiko yang bisa terjadi adalah KDRT, perceraian, tekanan psikis, hingga kematian.
Untuk itu, Komisioner Komnas Perempuan Rainy Hutabarat mengatakan, Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) dan lembaga negara lainnya harus segera menindak tegas persoalan judi online dan pinjaman online.
“Karena itu, Kominfo dan kementerian/lembaga negara terkait perlu melakukan langkah-langkah pencegahan untuk memutus keberulangan dan mengeluarkan kebijakan untuk menyikapi dampak negatif tantangan era digital termasuk judi online, pinjol, tindak pidana perdagangan orang yang dimediasi teknologi, dan kekerasan seksual berbasis elektronik,” kata Rainy.
ADVERTISEMENT

4. Harus ada penegakan hukum yang sensitif gender

Ilustrasi penjara perempuan. Foto: Bignai/Shutterstock
Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah mengatakan, kondisi Fadhilatun sebagai seorang perempuan harus dipertimbangkan dalam aspek penegakan hukum. Aparat harus memenuhi hak-hak perempuan berkonflik dengan hukum (PBH).
Menurut Komnas Perempuan, dalam menjalani proses hukum, kepolisian harus menimbang latar belakang Fadhilatun yang mengalami KDRT dan kondisi psikis pascamelahirkan.
“Untuk kasus ini sendiri, kami merekomendasikan penanganan yang komprehensif dengan memenuhi hak-haknya sebagai tersangka, memperhatikan kebutuhan psikologis Polwan FN termasuk kemungkinan mengalami baby blues, sedapat mungkin mencegah penahanan berbasis rutan dan memastikan pemenuhan hak-hak anak-anak termasuk untuk mendapatkan perawatan dan air susu ibu,” ucap Siti Aminah.