Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
ADVERTISEMENT
Nama pesepak bola putri, Zahra Muzdalifah , sempat menjadi perbincangan. Hal ini bermula dari kiprahnya bersama Persija Jakarta di ajang Liga 1 Putri 2019. Zahra sendiri mulai mencintai sepak bola di umur 7 tahun. Kabarnya, kecintaannya terhadap sepak bola itu karena ingin mematahkan stigma bahwa perempuan juga bisa berkarier di dunia sepak bola.
ADVERTISEMENT
Pada awal kariernya, perempuan berusia 18 tahun itu bergabung di tim futsal putri Ngapak FC. Seiring berjalannya waktu, Zahra kemudian melebarkan sayapnya di dunia sepak bola dengan menimba ilmu di Sekolah Sepak Bola (SSB) ASIOP Apacinti.
Saat melebarkan sayap di dunia sepak bola, Zahra juga pernah bermain di berbagai kejuaraan, salah satunya di Norwegia dalam agenda bertajuk Norway Cup. Selain itu, ia juga pernah berhasil menembus Timnas Putri Indonesia dan memperkuat Srikandi Garuda di ajang Asian Games 2018.
Dalam acara peluncuran kampanye global Levi’s bertajuk ‘I Shape My World’ pada Minggu (8/3) kemarin, kumparanWOMAN berbincang secara eksklusif dengan perempuan asal Jakarta tersebut. Kepada kami, Zahra bercerita mengenai visinya yang ingin mengubah stigma bahwa perempuan juga bisa berkarier di dunia sepak bola. Selain itu, Zahra juga bercerita mengenai tantangan yang dihadapinya saat berkarier di dunia yang identik dengan kaum laki-laki.
ADVERTISEMENT
Simak perbincangan kami dengan Zahra Muzdalifah berikut ini.
Bagaimana awalnya Zahra mengenal sepak bola? Siapa orang yang berperan mengenalkan Zahra ke dunia tersebut?
Saya masuk ke dunia sepak bola itu pada saat umur 7 tahun. Jadi, awalnya dikenalkan oleh ayah saya. Waktu itu ayah sering main futsal bersama teman-temannya, lalu beliau meminta saya untuk nonton dan latihan futsal. Terus akhirnya saya mulai join, dan ternyata mendapatkan fun-nya.
Singkat cerita, sekitar 1 bulanan gitu, saya selalu minta ayah untuk main bola setiap malam sabtu. Selain itu, saya juga sering latihan sehabis pulang sekolah. Saking cintanya dengan sepak bola, waktu kelas 5 SD, saya pernah minta pihak sekolah untuk membuat ekstrakurikuler futsal atau sepak bola khusus untuk perempuan. Tapi, pihak sekolah tidak mengabulkan karena waktu itu yang minat terhadap bola (di kalangan perempuan) hanya sedikit, bahkan bisa dibilang cuma saya.
Pernahkah Zahra di-underestimate gara-gara main sepak bola? Apalagi Zahra adalah seorang perempuan?
ADVERTISEMENT
Pernah, bahkan sering. Lanjut cerita, jadi karena di sekolah enggak ada ekstrakurikuler futsal atau sepak bola khusus untuk perempuan, saya akhirnya memutuskan untuk join futsal bersama tim laki-laki. Nah, pada saat itu mereka langsung pada bilang, 'Dih, lo cewek sana main apa kek basket atau main boneka-bonekaan sama temen-temen,' terus langsung pada ketawa-ketawa.
Dari kejadian itulah saya ingin membuktikan bahwa perempuan juga bisa lho main sepak bola. Terus saya langsung rutin latihan di rumah hampir setiap hari setelah pulang sekolah. Pokoknya latihan sekeras mungkin sampai di mana saya bisa membuktikan bahwa sepak bola itu genderless, dan enggak dilihat dari kelamin saja melainkan dari skill dan juga otak.
Menurut Zahra apakah sekarang padangan orang-orang terhadap sepak bola masih sama atau justru sudah berbeda? Maksudnya pandangan bahwa sepak bola itu hanya untuk laki-laki.
ADVERTISEMENT
80 persen sudah berubah, makanya saya merasa perjalanan saya enggak sia-sia, walaupun masih ada beberapa orang yang berpikir bahwa sepak bola hanya untuk laki-laki.
Selain underestimate, tantangan apa lagi yang Zahra rasakan saat main sepak bola?
Tantangan terbesar saya saat main sepak bola itu sebenarnya datang dari keluarga besar. Keluarga besar sepertinya tidak mendukung hobi saya, sebab mereka berpikir kenapa perempuan harus main bola? Tapi kalau orang tua alhamdulillah mendukung ya, mereka justru yang men-support saya banget. Mereka yang sering mengantar jemput, dari sekolah ke tempat latihan, terus mereka juga sering memberi saya saran dan masukan.
Kalau boleh tahu, apa sih kekhawatiran terbesar keluarga besar Zahra? Apakah mereka berpikir bahwa pemain sepak bola perempuan itu enggak punya karier dan masa depan?
ADVERTISEMENT
Iya itu yang pertama. Terus mereka juga berpikir bahwa sepak bola di Indonesia itu enggak ada masa depannya. Mereka selalu bilang bahwa saya cantik kenapa enggak jadi model saja atau kenapa enggak menekuni hobi yang perempuan banget gitu. Terus saya langsung bilang ke mereka, bahwa di sini saya ingin mengubah image bahwa sepak bola itu enggak hanya untuk laki-laki tapi perempuan juga bisa.
Sebagai perempuan, kita juga pasti mengalami menstruasi. Apakah menstruasi menjadi halangan bagi Zahra saat bermain sepak bola?
Jujur kalau ditanya ini saya bingung, karena dari kecil saya ini orangnya aktif jadi kalau menstruasi saya enggak pernah merasakan sakit perut. Tapi teman-teman saya banyak yang mengalami hal itu.
ADVERTISEMENT
Untungnya, karena klub kita juga dipisah antara laki-laki dan perempuan, jadi treatment-nya juga berbeda. Kalau di klub perempuan, coach-nya selalu bertanya mengenai jadwal haidnya, jadi kalau kedapatan jadwal haid nanti porsi latihannya akan diturunkan.
Apakah Zahra punya role model di dunia sepak bola perempuan? Kalau ada, siapa?
Alex Morgan, dari Amerika Serikat. Saya melihat dia keren sekali, soalnya di dalam lapangan dia itu selalu memberikan performa yang terbaik, tapi di luar lapangan dia juga tetap menjadi dirinya sendiri, tetap menjadi perempuan yang cantik dan care sama orang lain.
Melihat pencapaian yang sudah Zahra tempuh hingga saat ini, apakah Zahra punya mimpi yang belum dan ingin dicapai?
Ada, future goals saya itu bisa main di Eropa, sih. Itu mimpi saya sejak kecil.
ADVERTISEMENT
Zahra punya pesan-pesan untuk perempuan lain yang mungkin memiliki kecintaan yang sama terhadap sepak bola tapi takut untuk memulai dan takut enggak bisa berkembang?
Sebenarnya balik lagi ke kepribadian masing-masing perempuan ya. Soalnya perempuan itu ada yang tough tapi ada juga yang lembut. Tapi intinya, selama kalian suka dan yakin dalam passion itu lakukanlah dengan maksimal dan jangan pernah setengah-setengah. Sebab, sepakbola itu enggak mudah dan prosesnya juga luar biasa sekali. Sehingga harus konsisten dan juga punya komitmen yang kuat. Yang paling penting, kalau kalian mendapat cemoohan tutup kuping saja sebab saya juga dari kecil begitu. Yang penting, buktikanlah dengan prestasi sehingga kita bisa menutup mulut mereka (yang nge-bully) dengan prestasi.
ADVERTISEMENT