Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.97.1
Konten dari Pengguna
Kakao Indonesia Harus Menuju Kelas Premium
13 Februari 2025 16:25 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Kuntoro Boga Andri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
![Buah kakao yang menjadi andalan ekspor dan pendapatan jutaan petani di Indonesia](https://blue.kumparan.com/image/upload/fl_progressive,fl_lossy,c_fill,q_auto:best,w_640/v1634025439/01jkz9mvaknb16njdt5vf6ty0r.jpg)
ADVERTISEMENT
Indonesia adalah negeri yang dihadiahi alam subur dan kekayaan biodiversitas. Di antara gemerlap komoditas perkebunan, kakao menyimpan potensi luar biasa untuk menjadi primadona baru di panggung global. Dengan cita rasa unik yang lahir dari keragaman geografis Sulawesi, Sumatera, hingga Papua, biji kakao Indonesia sejatinya adalah mutu mentah yang bisa bersaing di pasar cokelat premium dunia. Namun, jalan menuju puncak tak semudah membalik telapak tangan. Di balik peluang emas ini, industri kakao nasional masih terbelit tantangan klasik: produktivitas rendah, kualitas pascapanen yang memprihatinkan, dan ancaman perubahan iklim.
ADVERTISEMENT
Potensi yang Terpendam
Kakao Indonesia bukan sekadar biji cokelat biasa. Karakteristik tanah vulkanik, iklim tropis, serta teknik budidaya lokal menghasilkan profil rasa kompleks—mulai dari nuansa buah tropis hingga cita rasa earthy yang khas. Keunikan ini telah diakui melalui sertifikasi Indikasi Geografis (IG) untuk Kakao Berau, membuka pintu kolaborasi dengan produsen premium Eropa seperti Cioccolato di Modica. Data BPS tahun 2022 juga membuktikan bahwa Indonesia adalah pengolah kakao terbesar kedua dunia, dengan nilai ekspor produk olahan mencapai Rp17,76 triliun. Angka ini menunjukkan bahwa industri dalam negeri mampu bertransformasi dari pengekspor biji mentah menjadi penghasil produk bernilai tambah.
Namun, ironi tetap menyelimuti. Sebagai produsen kakao terbesar ketiga global, Indonesia justru mengimpor 133 ribu ton biji kakao senilai Rp4,8 triliun pada 2021. Penyebabnya jelas: mayoritas kakao lokal belum memenuhi standar kualitas internasional. Sekitar 90% kebun dikelola petani kecil dengan tanaman berusia di atas 25 tahun, yang produktivitasnya terus merosot. Di Sulawesi Selatan, hasil panen per hektar anjlok dari 0,77 ton (2009) menjadi 0,61 ton (2018). Belum lagi, proses fermentasi yang buruk membuat harga kakao Indonesia dipotong 10-15% di pasar global.
ADVERTISEMENT
Tantangan kakao Indonesia ibarat lingkaran setan. Usia tanaman tua tidak hanya menekan produktivitas, tetapi juga memperparah kerentanan terhadap hama dan penyakit. Serangan penggerek buah kakao (PBK) dan vascular streak dieback (VSD) bisa menghilangkan 40% hasil panen. Perubahan iklim semakin memperkeruh situasi: pola hujan tak menentu dan suhu ekstrem mengacaukan siklus tanam. Di tingkat petani, minimnya akses teknologi, pupuk, dan pelatihan memperlambat adopsi praktik budidaya modern.
Masalah pascapanen pun menjadi batu sandungan. Hanya 5,04% biji kakao Indonesia yang diekspor dalam bentuk mentah, selebihnya harus diolah dahulu karena mutu yang tidak optimal. Proses fermentasi—kunci utama cita rasa premium—sering diabaikan akibat keterbatasan pengetahuan dan infrastruktur. Akibatnya, biji kakao Indonesia kerap dijual sebagai komoditas “kelas dua”, jauh dari citra eksklusif seperti biji Ghana atau Ekuador.
ADVERTISEMENT
Strategi Menuju Cokelat Premium
Untuk melompat dari status pemain kaku menjadi raja cokelat premium, Indonesia perlu gebrakan di tiga front: peremajaan kebun, peningkatan mutu pascapanen, dan hilirisasi berbasis identitas lokal.
Pertama, program peremajaan massal melalui Gerakan Nasional Kakao (Gernas Kakao) harus dipercepat dengan mengganti tanaman tua menggunakan varietas unggul tahan hama, seperti Sulawesi 2 dan 3. Subsidi pupuk dan alat pertanian modern juga perlu digenjot untuk menekan biaya produksi.
Kedua, standar mutu wajib ditegakkan. Penerapan SNI 2323-2008 untuk biji kakao harus dibarengi insentif bagi petani yang melakukan fermentasi optimal. Pelatihan teknis dari lembaga seperti Pusat Standardisasi Instrumen Perkebunan (PSI Perkebunan) bisa menjadi solusi. Di sini, kolaborasi dengan pihak swasta dan lembaga internasional seperti ICCO penting untuk transfer teknologi.
ADVERTISEMENT
Ketiga, hilirisasi berbasis kekhasan lokal adalah kunci. Konsep bean-to-bar dan single-origin chocolate bisa menjadi senjata untuk menembus pasar premium. Sertifikasi keberlanjutan (Rainforest Alliance) dan IG harus diperluas, sementara integrasi dengan sektor pariwisata—seperti tur kebun kakao atau chocolate tasting—dapat memperkuat branding.
Indonesia tidak kekurangan modal. Yang dibutuhkan adalah konsistensi kebijakan dan sinergi antar-pemangku kepentingan. Petani perlu didampingi, industri harus berani berinovasi, dan pemerintah wajib membuka akses pasar melalui diplomasi dagang. Jika langkah ini dijalankan, bukan mustahil dalam satu dekade ke depan, cokelat premium Indonesia akan disejajarkan dengan Swiss atau Belgia, bukan sebagai komoditas, melainkan sebagai simbol kualitas yang membanggakan.