Konten dari Pengguna

Menyambut Hari Bumi 2025: Menjaga Bumi dan Pangan di Era Perang Dagang

Kuntoro Boga Andri
Kuntoro Boga, Kepala Pusat BRMP Perkebunan (sejak 25 Maret 2025), Kapus BSIP Perkebunan (Juli 2024). Sebelumnya Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementan (Maret 2018). PhD Agr Economic and Policy (2007), Peneliti Utama (2017), KEMENTAN.
23 April 2025 21:20 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Kuntoro Boga Andri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Bumi, pertanian dan pangan sangat terkait dalam keberlanjutan planet kita
zoom-in-whitePerbesar
Bumi, pertanian dan pangan sangat terkait dalam keberlanjutan planet kita
ADVERTISEMENT
Setiap tanggal 22 April, dunia akan memperingati Hari Bumi sebagai momentum refleksi keberlanjutan lingkungan. Tahun 2025 ini peringatan Hari Bumi mengusung tema “Kekuatan Kita, Planet Kita”, yang menyerukan pemanfaatan sumber daya alam secara bijak dan pengurangan konsumsi berlebih. Namun, momentum peringatan ini terancam oleh ketegangan perdagangan global, terutama di sektor pangan dan pertanian. Kebijakan proteksionis Amerika Serikat, sejak pemberlakuan tarif tinggi terhadap impor Tiongkok pada 2018, memicu perang dagang yang berdampak masif. Tiongkok membalas dengan menaikkan tarif untuk produk pertanian AS, menyebabkan ekspor kedelai AS ke pasar Tiongkok anjlok 77% pada 2018 (cato.org). Kerugian ekspor pertanian AS mencapai USD27 miliar dalam periode 2018–2019, dengan kedelai menyumbang 71% dari total nilai tersebut.
ADVERTISEMENT
Pada 2024–2025, AS memperluas kebijakan proteksionisnya dengan menetapkan tarif universal 10% untuk semua produk impor, termasuk pangan dan hasil pertanian (fpsa.org). Langkah ini memukul negara pengekspor ke AS, seperti produsen buah dan sayur di Amerika Latin serta pemasok kopi dan kakao dari negara Asia-Afrika. Pemerintah AS berargumen bahwa tarif bertujuan melindungi petani lokal dan menekan defisit perdagangan, bahkan menyebut praktik dagang “tidak resiprokal” sebagai ancaman keamanan nasional (whitehouse.gov). Namun, dampaknya merugikan negara berkembang seperti Indonesia, terkait hambatan ekspor komoditas unggulan (kopi, hasil laut) ke AS, termasuk tarif mencapai 32% yang memicu gejolak harga komoditas, dan dapat menekan pendapatan petani kecil.
Efek domino perang dagang semakin meluas. Selain Tiongkok, Kanada, Meksiko, dan Uni Eropa memberlakukan tarif balasan terhadap produk pertanian AS, seperti daging babi dan susu, yang memaksa mereka mencari pemasok alternatif. Ironisnya, situasi ini terjadi ketika solidaritas global justru dibutuhkan untuk menjawab tantangan krisis iklim dan ketahanan pangan. Kondisi ini tidak hanya mengganggu stabilitas perdagangan, tetapi juga berisiko melemahkan kolaborasi internasional dalam membangun sistem pertanian berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
Dampak Lingkungan dan Sistem Pangan
Ironisnya, perseteruan tarif antar negara ini membawa konsekuensi serius bagi lingkungan dan ketahanan pangan, baik secara global maupun nasional kita. Saat Tiongkok menghentikan pembelian kedelai AS, Brasil dan negara eksportir lain berlomba menambah produksi guna mengisi kekosongan pasokan. Sebuah studi pada 2019 bahkan memperingatkan bahwa shock perdagangan ini dapat mendorong ekspansi lahan kedelai hingga 13 juta hektare di Amerika Selatan, area seluas negara Yunani, demi memenuhi permintaan Tiongkok. Hutan hujan Amazon berisiko menjadi obyek konversi lahan untuk peningkatan penanaman kedelai. Kekhawatiran ini bukan sekadar ilusi, laju deforestasi Brasil memang meningkat seiring melonjaknya ekspor kedelai ke Tiongkok pada masa perang dagang, menambah beban pada lingkungan global yang sudah tertekan. Dengan kata lain, perang tarif yang sekilas hanya urusan ekonomi turut berkontribusi pada krisis iklim dan hilangnya tutupan hutan tropis.
ADVERTISEMENT
Dampak perang tarif terhadap sistem pangan juga terasa dalam bentuk perubahan alur perdagangan dan gejolak harga yang menyentak produsen serta konsumen. Tiongkok, misalnya, kini semakin bergantung pada Brasil untuk pakan ternak dan Amerika Latin untuk daging, sementara mulai melirik Australia sebagai sumber baru gandum dan sereal pengganti. Diversifikasi paksa ini mengubah peta perdagangan pangan dunia. Bagi petani di Amerika, kehilangan akses pasar ekspor diimbangi dengan beban biaya produksi yang naik akibat tarif impor bahan input. Tarif tinggi AS atas baja dan aluminium menaikkan harga peralatan pertanian, dan pembatasan perdagangan dengan Kanada turut mendongkrak harga pupuk (potasium) bagi petani.
Maka, para petani terhimpit dari dua arah, yaitu kesulitan menjual hasil panen, tapi biaya operasional justru meningkat. Banyak yang bertahan hidup berkat subsidi dan bailout pemerintah. Administrasi Trump periode pertama tercatat menggelontorkan hingga $23 miliar dana talangan untuk menyelamatkan petani dari kerugian akibat perang dagang. Kebijakan darurat semacam itu menyelamatkan petani dalam jangka pendek, tetapi tidak mendorong praktik pertanian jangka panjang yang lebih berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, guncangan sistem pangan global ini terasa lewat fluktuasi harga dan tekanan pada pelaku sektor pangan lokal. Contoh nyata adalah dinamika harga kedelai impor, bahan baku utama tahu dan tempe yang merupakan sumber protein rakyat. Ketika pasokan kedelai global terganggu, dan Tiongkok meningkatkan impornya dari pasar dunia, produsen tahu-tempe di Indonesia terkena imbas rebutan pasokan. Pada akhir 2020, harga kedelai melonjak sekitar 9% dalam sebulan, memaksa perajin tahu dan tempe mengurangi produksi dan mengancam mata pencaharian mereka. Kenaikan harga ini diakui Kementerian Perdagangan sebagian dipicu oleh tingginya permintaan Tiongkok yang sedang jor-joran impor, sehingga stok global menyempit. Indonesia, yang lebih dari 80% kebutuhan kedelainya bergantung pada impor, akhirnya harus berbagi dan berebut pasokan dengan pembeli raksasa seperti Tiongkok. Situasi ini menunjukkan betapa rentannya sistem pangan nasional terhadap gejolak kebijakan perdagangan negara adi daya.
Bumi adalah warisan generasi mendatang
Respons Kebijakan dan Upaya Keberlanjutan
ADVERTISEMENT
Perang tarif global yang kembali memanas pada 2025, terutama antara Amerika Serikat, Tiongkok dan Uni Eropa, telah memicu dampak luas terhadap sektor pertanian dan agenda lingkungan. AS menerapkan tarif universal 10% untuk sebagian besar impor dan tarif resiprokal hingga 49% bagi negara-negara tertentu, termasuk 32% untuk Indonesia. Langkah ini memicu respons proteksionis dari Tiongkok, yang membalas dengan tarif hingga 125% pada produk AS, khususnya sektor pertanian. Kedua negara juga berupaya memperkuat ketahanan domestik, AS melalui subsidi dan diversifikasi rantai pasok, sementara Tiongkok meluncurkan strategi swasembada pangan jangka panjang dan investasi besar di bidang bioteknologi. ​
Di Eropa, Uni Eropa merespons ketegangan perdagangan dengan memperkuat komitmen lingkungan melalui kebijakan seperti Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) dan Regulasi Anti Deforestasi (EUDR). Langkah ini menandai pergeseran paradigma bahwa perdagangan harus selaras dengan keberlanjutan. Indonesia, sebagai eksportir utama komoditas seperti kelapa sawit dan karet, menghadapi tantangan untuk menyesuaikan diri. Pemerintah Indonesia meningkatkan diplomasi hijau dan mulai mengadopsi praktik pertanian berkelanjutan, termasuk pengembangan varietas padi rendah emisi dan program peremajaan kelapa sawit dengan pendekatan agroforestri.​
ADVERTISEMENT
Momentum Hari Bumi 2025, tentu menjadi pengingat kita bahwa kebijakan perdagangan dan lingkungan harus berjalan seiring. Perang tarif yang berkepanjangan tidak hanya mengganggu stabilitas ekonomi, tetapi juga mengancam petani kecil dan ekosistem global. Diperlukan pendekatan holistik yang mengedepankan dialog multilateral dan kebijakan pangan yang menjaga Bumi kita dan keberlanjutannya. Bagi Indonesia, tantangannya adalah memanfaatkan peluang dari pergeseran perdagangan global tanpa mengorbankan kelestarian lingkungan dan pembangunan pertanian untuk kesejahteraan jangka panjang.