Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.96.0
Konten dari Pengguna
Panen di Banyuasin: Modernisasi Alsintan vs Tantangan Harga
2 Februari 2025 23:14 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Kuntoro Boga Andri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Memasuki musim panen raya, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, menjadi sorotan. Petani di Desa Upang Jaya, Kecamatan Makarti Jaya, misalnya, tengah memanen padi di lahan seluas lebih dari 200 hektare dengan produktivitas mencapai rata-rata 5 ton per hektare. Capaian ini tak lepas dari bantuan pemerintah berupa alat dan mesin pertanian (alsintan) seperti traktor, perbaikan tata kelola air, manajemen kelompok dan alsin termasuk alat panen Combine Harvester. Namun, di balik kemajuan ini, petani masih terjepit oleh harga gabah yang anjlok. Ini mengisyaratkan bahwa modernisasi pertanian harus dikawal dengan kebijakan untuk menjamin kesejahteraan petani.
ADVERTISEMENT
Alsintan: Langkah Maju yang Patut Diapresiasi
Pemerintah patut diacungi jempol atas komitmennya mendorong efisiensi melalui bantuan alsintan. Combine Harvester, misalnya, terbukti memangkas waktu panen, mengurangi kehilangan hasil, dan meningkatkan kualitas gabah. Dengan total lahan pertanian di Desa Upang Jaya mencapai 796 hektare, penggunaan teknologi semacam ini menjadi kunci untuk mempertahankan produktivitas tinggi. Bantuan alsintan dari Kementerian Pertanian juga menunjukkan keseriusan pemerintah dalam mentransformasi sektor pertanian dari tradisional ke modern.
Namun, yang perlu diingat: Keberhasilan jangka panjang bergantung pada kapasitas petani mengelola teknologi ini. Di sinilah pentingnya pendampingan berkelanjutan. Pelatihan teknis dan pemeliharaan alat harus menjadi prioritas agar investasi alsintan tidak berhenti disini saat ada program berjalan.
Harga Gabah Anjlok: Masalah Sistemik yang Menggerus Optimisme
ADVERTISEMENT
Ironisnya, di tengah panen melimpah, petani justru dihantam harga gabah yang turun drastis. Harga Rp5.200–Rp5.400 per kilogram jauh di bawah harga pemerintah (HPP) yang ditetapkan Rp6.500/kg. Penurunan ini bukan hanya menggerus margin keuntungan, tetapi juga mengancam keberlanjutan produksi. Jika petani terus merugi, minatisasi generasi muda untuk bertani akan semakin tergerus.
Kepala Pusat BSIP Perkebunan Kementan, Kuntoro Boga Andri, mengakui persoalan ini. Ia menegaskan perlunya koordinasi dengan instansi terkait, seperti Bulog untuk menyerap gahab sesuai HPP dan Dinas PU dan Balai Wilayah Sungai, untuk memperbaiki infrastruktur pengairan yang rusak. Namun, langkah ini belum cukup. Harga gabah yang tidak stabil adalah cermin dari lemahnya sistem distribusi dan penyerapan. Instruksi pemerintah kepada Bulog untuk menyerap gabah petani adalah langkah tepat, dan harus diikuti realisasi di lapangan.
Harus Hadir Lebih Nyata
ADVERTISEMENT
Pemerintah pusat dan daerah tidak sekadar menyediakan alsintan. Stabilisasi harga gabah harus menjadi prioritas. Bulog perlu diperkuat kapasitasnya untuk menyerap hasil panen sesuai HPP, terutama di daerah yang jauh dari fasilitas gudang, prosesing panen dan pasar. Selain itu, diversifikasi produk pertanian dan pembangunan industri pengolahan gabah di tingkat lokal bisa menjadi solusi jangka panjang untuk menambah nilai tambah.
Di sisi lain, perbaikan infrastruktur dasar seperti tanggul dan saluran air juga krusial. Kerusakan infrastruktur jalan dan sarana trasnportasi kerap menjadi penyebab gagal panen atau biaya produksi membengkak. Jika ini diabaikan, upaya modernisasi alsintan hanya akan sia-sia dan gagal menyelesaikan akar masalah.
Efisiensi Teknologi VS Keadilan Ekonomi
Kisah petani Banyuasin mengajarkan satu hal: modernisasi pertanian tidak hanya sekadar tentang mesin. Kesejahteraan petani adalah ukuran utama keberhasilan. Pemerintah perlu memastikan bahwa peningkatan produktivitas berbanding lurus dengan peningkatan pendapatan petani. Tanpa intervensi kebijakan yang tegas untuk menstabilkan harga dan memperkuat rantai distribusi, petani hanya akan menjadi penonton di lahan sendiri.
ADVERTISEMENT
Momentum panen raya ini harus menjadi pengingat: teknologi adalah alat, tetapi keadilan ekonomi bagi petani adalah tujuan. Jika keduanya berjalan beriringan, ketahanan pangan dan kesejahteraan petani bukan sekadar mimpi.