Konten dari Pengguna

Warisan Budaya dan Nilai Ekonomi Jamu Nusantara

Kuntoro Boga Andri
Kuntoro Boga, Kepala Pusat BRMP Perkebunan (sejak 25 Maret 2025), Kapus BSIP Perkebunan (Juli 2024). Sebelumnya Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementan (Maret 2018). PhD Agr Economic and Policy (2007), Peneliti Utama (2017), KEMENTAN.
8 Mei 2025 14:56 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Kuntoro Boga Andri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Bahan jamu dari tanaman biofarmaka lokal (Foto: Dokpri)
zoom-in-whitePerbesar
Bahan jamu dari tanaman biofarmaka lokal (Foto: Dokpri)
ADVERTISEMENT
Pengakuan jamu sebagai Warisan Budaya Takbenda oleh UNESCO pada Desember 2023 menjadi momen penting yang menegaskan bahwa warisan leluhur kita bukan hanya kaya secara budaya, tetapi juga bernilai ekonomi tinggi. Di balik setiap ramuan jamu, tersembunyi peran jutaan petani dan pelaku usaha kecil yang menopang ekosistem kesehatan berbasis alam. Data BPS tahun 2022 mencatat bahwa produksi tanaman biofarmaka di Indonesia mencapai jutaan kilogram per tahun. Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan cerminan dari kebutuhan pasar yang terus tumbuh, terutama di tengah tren gaya hidup sehat dan gerakan kembali ke alam pasca pandemi. Jamu nusantara kini tidak lagi sekadar ramuan tradisional, melainkan potensi nyata sebagai aset ekonomi hijau yang mengakar kuat dalam kearifan lokal bangsa.
ADVERTISEMENT
Pertumbuhan Pasar Domestik dan Peluang Ekspor
Dari sisi kontribusi ekonomi, memang belum ada klasifikasi khusus industri jamu dalam perhitungan PDB nasional. Namun perannya terintegrasi dalam kelompok industri farmasi, obat kimia, dan obat tradisional yang menurut Kementerian Perindustrian menyumbang sekitar Rp67 triliun. Nilai pasar jamu dalam negeri diperkirakan telah menembus angka Rp25 triliun bahkan sebelum pandemi. Pertumbuhan ini didorong oleh meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap kesehatan dan kecenderungan memilih produk berbahan alami. Di pasar ekspor, meski kontribusinya belum besar, tren menunjukkan perkembangan positif. Nilai ekspor jamu Indonesia pada 2021 tercatat sebesar US$41,5 juta atau sekitar Rp560 miliar, meningkat hampir 11 persen dibanding 2019. Potensi globalnya sangat besar, mengingat pasar obat herbal dunia bernilai lebih dari Rp1.900 triliun. Kontribusi Indonesia masih di bawah 1 persen, yang artinya ruang ekspansi masih sangat terbuka—terutama jika kita mampu meningkatkan kualitas dan standarisasi produk.
Pengolahan tanaman herbal menjadi jamu (Foto: Shutterstock)
Sinergi Industri Besar dan UMKM Jamu
ADVERTISEMENT
Industri jamu nusantara berada di persimpangan yang menjanjikan. Di satu sisi, perusahaan besar seperti PT Sido Muncul telah berhasil membangun merek kuat dan jaringan distribusi yang luas, menjadi motor penggerak sektor ini. Di sisi lain, muncul gelombang baru pelaku usaha di sektor wellness yang menggabungkan warisan budaya dengan kemasan modern dan strategi pemasaran digital. Namun, tantangan juga tidak sedikit. Banyak pelaku industri jamu masih terkendala dalam memenuhi standar saintifikasi dan sertifikasi dari BPOM. Dibutuhkan investasi riset, tenaga ahli, serta fasilitas produksi yang memadai agar jamu mampu bersaing tidak hanya di pasar lokal, tetapi juga internasional. Di sinilah peran kolaborasi menjadi krusial. Kementerian Koperasi dan UKM, misalnya, telah menjalin kemitraan dengan Sido Muncul dalam bentuk program orangtua angkat bagi UMKM jamu. Lewat program ini, UMKM dibina dari proses produksi hingga pemasaran, agar mampu meningkatkan kualitas dan daya saingnya.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, peran petani tanaman obat sebagai ujung tombak rantai pasok jamu tidak boleh dilupakan. Rempah-rempah seperti jahe, kunyit, kencur, hingga temulawak adalah bahan baku utama yang seluruhnya bergantung pada ketekunan petani lokal. Sebuah contoh nyata dapat dilihat pada kerja sama antara Koperasi Agrofarm Bondowoso dan Sido Muncul, yang mengirim lima ton lempuyang kering sebagai bahan baku jamu. Namun, masih banyak persoalan di tingkat hulu. Harga jual bahan baku yang diterima petani sangat kecil dibanding nilai akhir produk. Ketimpangan ini mengindikasikan masalah serius dalam tata niaga. Jika petani terus menerima nilai yang tidak adil, maka keberlangsungan budidaya tanaman obat terancam. Padahal, tanpa bahan baku yang berkualitas dan berkelanjutan, industri jamu tidak mungkin bertahan.
Produk jamu yang masih tradisional perlu sentuhan industri (Foto: Dokpri)
Urgensi Kebijakan dan Dukungan Negara
ADVERTISEMENT
Di sinilah urgensi kebijakan negara menjadi nyata. Pemerintah perlu hadir lebih kuat dalam membangun ekosistem jamu yang sehat. Berbagai kebijakan sudah mulai dijalankan. Kementerian Kesehatan melalui Permenkes No. 003/2010 mendorong saintifikasi jamu agar memiliki dasar ilmiah yang kuat. Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2023 telah menjadikan jamu sebagai sektor prioritas nasional, dengan pendekatan lintas kementerian. Kementerian Perindustrian juga mengambil langkah strategis melalui pembangunan "House of Wellness"—pusat riset dan inovasi bahan baku jamu dan rempah. Selain itu, perluasan sertifikasi Indikasi Geografis (IG), dukungan pembiayaan melalui KUR, serta fasilitasi sertifikasi halal dan BPOM harus terus diperkuat agar produk jamu bisa melesat ke pasar global.
Kini, saatnya seluruh elemen bangsa bersatu menjadikan jamu sebagai motor ekonomi hijau yang tidak hanya mengangkat warisan budaya, tetapi juga membuka lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan petani, dan menambah devisa negara. Pemerintah harus mempercepat program riset dan hilirisasi, industri besar wajib membuka kemitraan yang adil dengan petani dan UMKM, sementara masyarakat harus lebih menghargai produk jamu lokal. Dengan sinergi yang kuat dan keberpihakan pada ekosistem lokal, jamu Indonesia dapat menjelma menjadi kekuatan ekonomi baru yang berpijak pada akar budaya dan menyapa dunia dengan keunggulan herbal nusantara.
ADVERTISEMENT