Konten dari Pengguna

Teater Dinilai Klasik, Ide Baru untuk Kencan yang Asyik

Kurnia Dhafandy Ramadhan
Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
26 Oktober 2021 14:53 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Kurnia Dhafandy Ramadhan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Romantisme, Drama Ekspresionisme, Teater

ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Romantisme di kalangan muda-mudi menjadi hal yang lumrah saat ini. Perilaku saling kasih mengasihi diaktualisasikan melalui bermacam cara, terkhusus dalam proses pendekatan awal yang diperjuangkan secara jungkir balik, jatuh bangun, hingga mati-matian. Pada proses pendekatan, umumnya kencan merupakan pertemuan khusus yang dinilai cukup krusial sebagai “first impression”. Budaya seperti itulah yang berkembang di kalangan muda-mudi bangsa. Hal ini sejalan dengan konsep drama ekspresionisme dalam seni pertunjukkan teater.
Dokumentasi syuting drama musikal Bagindo Azizchan yang digarap oleh komunitas Teater Keliling, Jakarta (10/10/2021).
Drama Ekspresionisme
ADVERTISEMENT
Dalam dunia penciptaan naskah drama, konsep ekspresionisme merupakan tipikal masyarakat modern yang menitikberatkan curahan hati dan emosi jiwa sebagai subjek utamanya. Ide dari hati pengarang yang tertuang ke dalam naskah, disampaikan aktor melalui aktingnya di atas panggung pementasan, hingga menginspirasi dan mendarat kembali di hati penikmat.
Terdapat beragam cara untuk mengenal pasangan lebih dekat, umumnya melalui kencan yaitu sekadar jogging di taman, berburu kuliner, nonton bioskop, hunting fotografi, dan lain sebagainya. Pementasan drama bertema mayor ekspresionisme ini sebenarnya dapat dijadikan ide kencan bersama pasangan karena dapat menyentuh dan menggetarkan jiwa penontonnya. Cara yang tidak umum dan cukup tepat untuk perkenalan awal antar insan, karena dapat dilakukan penilaian dari respons yang diberikan oleh pasangan ketika menonton pertunjukkan teater tersebut.
ADVERTISEMENT
Pementasan teater tidaklah klasik
Pementasan teater memang bukan hal yang asing, karena seni ini cukup ikonik dan menjadi jati diri bangsa Indonesia. Dikuatkan dengan berdirinya Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 1968 dan Taman Ismail Marzuki, serta selaras pula dengan munculnya tokoh-tokoh sastrawan dan budayawan yang bergerak di dunia teater, seperti Putu Wijaya, WS Rendra, Arifin C Noer, Nano Riantiarno, Noorca Marendra dan lain-lain. (Sumber: Jakob Sumardjo, 1992 : 262-264)
Namun, dunia pementasan teater ini seringkali dipandang sebagai suatu hal yang kuno, klasik, dan tidak mengikuti tren masa kini. Padahal sudah banyak inovasi dalam proses penyajian pertunjukkan teatrikal yang dilakukan melalui sosial media yang notabene penggunanya adalah sebagian besar dari kalangan muda. Misalnya, teater yang ditayangkan melalui kanal YouTube dan Spotify oleh komunitas Indonesia Kaya, Budaya Saya, Titimangsa Foundation, dan komunitas lainnya.
ADVERTISEMENT
Selain itu, ada banyak hal yang akan didapatkan dari tontonan teater tersebut, seperti:
1. Dijadikan sebagai hiburan,
2. Proses melestarikan budaya,
3. Mempelajari sejarah dan mengetahui makna dari sebuah peristiwa, dan
4. Referensi untuk kencan yang asyik.