Idealisme Sekolah: Sebuah Tanggapan untuk Rafi Azzamy

Kurnia Gusti Sawiji
Guru fisika di SMA Al-Fityan School Tangerang. Pernah bercita-cita jadi raja bajak laut. Kadang menulis, kadang mengajar, kadang meneliti meme secara kritis dan sistematis. Menempuh pendidikan di University of Malaya, Malaysia.
Konten dari Pengguna
28 Juli 2022 15:06 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Kurnia Gusti Sawiji tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Idealisme sekolah, apa yang diusung olehnya? (Sumber gambar: omong-omong media)
zoom-in-whitePerbesar
Idealisme sekolah, apa yang diusung olehnya? (Sumber gambar: omong-omong media)
ADVERTISEMENT
Jika saya punya sebuah alat yang bisa memberikan informasi tentang komposisi sebuah perkara dengan rinci sebagaimana yang pernah saya lihat dalam sebuah serial kartun akhir minggu, lalu saya masukkan sebuah sekolah ke dalam alat itu, saya percaya komposisi sekolah itu menurutnya adalah: sembilan puluh sembilan persen idealisme dan satu persen materialisme. Idealisme sendiri, sebagaimana dituangkan Tan Malaka dalam Madilog dengan mengutip David Hume, merupakan sebuah praktik menerangkan segala sesuatu berdasarkan “ide” atau “gagasan” semata-mata.
ADVERTISEMENT
Berlawanan dengan materialisme yang menerangkan benda dengan seadanya di depan mata, idealisme berpikir bahwa benda di depan mata hanyalah “ide” atau “gagasan” si pemerhati; apel di depan mata Fulan, yang merah warnanya dan bulat bentuknya, hanya merah dan bulat berdasarkan pengamatan si Fulan. Tetapi si Fulanah bisa jadi memiliki “ide” yang berbeda tentang apel itu—bisa jadi menurut Fulanah apel itu tidak merah, melainkan jingga; atau tidak bulat, melainkan lonjong. Artinya dalam idealisme, hakikat nyata sebuah perkara itu tidak ada, dan keberadaan sebuah perkara disusun berdasarkan gugusan ide orang-orang yang melihat atau mengamatinya.
Dalam konteks sekolah sebagai lembaga pendidikan, komposisi yang saya terangkan di atas tadi bisa kita rungkai dengan melihat “Pendidikan” terlebih dahulu. Dalam tulisan yang lain, saya pernah mengemukakan tentang perbedaan di antara knowledge dan education; di antara ilmu pengetahuan dan pendidikan. Kodrat dari pendidikan adalah ilmu pengetahuan, dan pada asasnya pendidikan adalah upaya mengaplikasikan struktur dan prosedur terhadap ilmu; menempelkan administrasi dan birokrasi terhadapnya, lalu menyusun bentuknya yang abstrak menjadi sedikit lebih konkrit.
ADVERTISEMENT
Konsekuensi dari hal itu jelas: pendidikan pada hakikatnya merupakan apa yang disebut Hume sebagai bundle of conceptions, bergulung-gulung pengertian. Tidak ada satu bentuk pendidikan yang secara de facto disebut “nyata” apalagi “benar”, karena pendidikan itu sendiri bisa berbeda-beda baik itu menurut si Fulan, si Fulanah, atau si Ahmad. Syahdan, sekolah sebagai cerminan terdekat strukturasi pendidikan mau tidak mau akan ikut-ikutan berubah wujudnya menjadi bundle of conceptions.
***
Membaca kembali tulisan dan mendengarkan kembali pendapat yang dikemukakan oleh ananda Rafi Azzamy yang sempat tersebar luas di jagat maya satu atau dua pekan lalu, saya berpendapat bahwa ada setidaknya dua kesalahan yang beliau lakukan: yang pertama, adalah ketidaksesuaian antara ucapannya kepada penulis Okky Madasari dalam video berdurasi sekitar dua menit itu dan tulisannya di situs Omong-omong; yang kedua, adalah keleluasaannya menyebut kedisiplinan sekolah sebagai sebuah “ilusi”, manakala saya secara pribadi lebih menganggapnya sebuah “idealisme”.
ADVERTISEMENT
Sebelum saya masuk secara khusus kepada dua kesalahan beliau—yang sebenarnya tidak terlalu fatal—perlu saya katakan bahwa pendapat Rafi mengingatkan saya kepada dua hal: film Dead Poets Society yang salah satu pemeran utamanya adalah Robin Williams dan buku Sekolah Itu Candu yang ditulis oleh Roem Topatimasang, baru saya beli pertengahan bulan lalu. Dalam Dead Poets Society, kita dapat melihat dua jenis conceptions yang berbeda terhadap pendidikan: Welton Academy melihat pendidikan sebagai struktur dan prosedur, sementara John Keating menganggapnya sebagai sarana “mengaktualisasi diri”—istilah yang kebetulan juga dipakai oleh Rafi dalam tulisannya.
Berangkat dari situ, saya berpikir bahwa mendakwa kedisiplinan sekolah sebagai sebuah ilusi semata adalah pengertian yang terlalu tergesa-gesa—ironis, padahal Rafi dalam tulisannya sempat mengkritisi budaya ketergesaan. Ilusi adalah sesuatu yang memang tidak nyata keberadaan, bentuk, dan wujudnya. Manakala idealisme tetap mengiyakan keberadaan nyata suatu perkara, tetapi hakikatnya subjektif; didasari oleh gagasan berbeda setiap orang terhadap perkara itu. Begitulah kiranya kedisiplinan sekolah; sifat “disiplin” itu nyata adanya, tetapi conception sifat disiplin oleh sekolah dan Rafi itu yang berbeda, karena idealisme yang diusung keduanya jelas berbeda.
ADVERTISEMENT
Tetapi tentang adanya tuntutan kultural yang Rafi sampaikan sebagai tujuan dari pemberlakuan disiplin-disiplin sekolah itu, saya sangat setuju. Di sini pulalah saya ingin menyimpulkan apa yang saya baca dalam bab 5 Sekolah Itu Candu, yakni: “Sekolah adalah perusahaan”. Topatimasang, dengan mengutip Ivan Illich, mengatakan bahwa sekolah-sekolah modern dikelola layaknya sebuah perusahaan.
Saya katakan kembali: pendidikan adalah upaya mengaplikasikan struktur dan prosedur pada ilmu dan tertempellah di atasnya administrasi dan birokrasi. Sehingga standar dan nilai yang ditetapkan oleh sekolah didasari oleh prosedur yang telah ditentukan pula administrasi dan birokrasinya sebagaimana perusahaan. Syahdan, pola pikir sebuah perusahaan tertempel pulalah kepada subjek-subjek sekolah. Alhasil kita akan mendengar subjek-subjek sekolah bernyanyi lagu lama seperti: “Kedisiplinan yang diajarkan sekolah akan berguna nanti ketika kamu di dunia kerja.”
ADVERTISEMENT
Maka sekonyong-konyong kita bertanya: dunia kerja yang mana? Dunia kerja sebuah perusahaankah, yang memang segalanya sudah distrukturasi dan disistemasi selayaknya roda-roda gigi sebuah mobil? Para pekerja kreatif seperti seniman atau sastrawan misalnya, juga mengenal disiplin. Tetapi disiplin mereka tidak semestinya sama dengan model kedisiplinan sekolah. Lantas, dunia kerja manakah yang menurut idealisme sekolah merupakan wujud kesuksesan? Jika memakai kemeja necis dan berdasi sembari menggunakan sepatu pantofel adalah bentuk idealisme sekolah, maka terbukti keabsahan opini Rafi tentang adanya tuntutan kultural dalam pemberlakuan kedisiplinan sekolah itu.
Tentu, lagi-lagi saya tekankan bahwa sifat disiplin itu sendiri merupakan idealisme: nyata, tetapi cara pandang orang bisa berbeda-beda. Namun kembali kepada perumpamaan apel di atas; Fulan bilang apelnya merah, Fulanah bilang apelnya jingga. Tetapi kedua-duanya tetap setuju bahwa itu adalah apel.
ADVERTISEMENT
Artinya dalam idealisme pun, jika sudah ada satu fakta yang disetujui bersama terhadap suatu perkara, maka nyatalah hakikat perkara itu. Bangun pagi misalnya, yang sempat disinggung Rafi, secara bersama disetujui sebagai bentuk disiplin yang bagus. Oleh karena itu, jika Rafi mengatakan bahwa beliau merasa itu adalah tuntutan kultural yang tidak seyogianya, maka sebenarnya beliau sedang mencari bentuk pembenaran terhadap ketidakmampuannya bangun pagi.
***
Pertanyaan selanjutnya adalah: bagaimana bisa muncul anak-anak murid yang mempertanyakan hakikat sekolah sebagaimana Rafi Azzamy? Saya pikir pertanyaan ini mudah saja dijawab: sistem pendidikan kita belum sepenuhnya mampu untuk menghasilkan sebuah struktur pembelajaran yang berpihak kepada murid. Jika pendidikan nasional saja belum bisa sepenuhnya berpihak kepada murid, apalagi sekolah-sekolah? Buktinya, pemikiran kritis Rafi konon langsung dibalas dengan Surat Peringatan dari sekolahnya, yang bahkan tanpa malu turut menuntut beliau karena membuka donasi bantuan bencana alam yang katanya tidak berdasarkan prakarsa sekolah.
ADVERTISEMENT
Sementara untuk Rafi sendiri, saya pikir tingkat pemikiran kritis seperti itu perlu dipertahankan. Banyak hal yang masih perlu ananda pelajari, dan jangan pernah bosan untuk terus belajar di mana pun, di dalam atau di luar sekolah. Karena pada dasarnya ilmu pengetahuan adalah alam semesta itu sendiri.
Oh, iya. Saya melihat masih banyak juga yang sepertinya salah anggap dengan ucapan Rafi di video; seolah-olah yang tidak disetujuinya adalah sifat disiplin itu sendiri, alih-alih pemberlakuan disiplin di sekolah yang acapkali minim ruang gerak dan tidak mewakili murid dalam mengaktualisasi diri. Padahal yang kedua itu adalah yang ditolak oleh Rafi, dan disetujui pula oleh saya. Ini sebenarnya merupakan kesalahan Rafi juga: apa yang diucapkannya tidak sepenuhnya mewakili tulisannya.
ADVERTISEMENT
Tetapi tetap saja, jika ada sebagian dari Anda sekalian yang menanggapi video Rafi tanpa membaca sama sekali apa yang ditulisnya di situs Omong-omong, maka maaf: bisa jadi Anda adalah apa yang salah dari pendidikan kita.