Mempertanyakan Merdeka Belajar: Sebuah Analisis Kebahasaan

Kurnia Gusti Sawiji
Guru fisika di SMA Al-Fityan School Tangerang. Pernah bercita-cita jadi raja bajak laut. Kadang menulis, kadang mengajar, kadang meneliti meme secara kritis dan sistematis. Menempuh pendidikan di University of Malaya, Malaysia.
Konten dari Pengguna
2 Juli 2022 21:39 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Kurnia Gusti Sawiji tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Seiring dengan berjalannya waktu, pemerintah semakin gencar mempromosikan sistem pendidikan Merdeka Belajar. Terdengar manis, tetapi seberapa dalamkah kita memahami maknanya, setidaknya secara etimologis? (Sumber gambar: Priscilla Du Preez – Unsplash)
zoom-in-whitePerbesar
Seiring dengan berjalannya waktu, pemerintah semakin gencar mempromosikan sistem pendidikan Merdeka Belajar. Terdengar manis, tetapi seberapa dalamkah kita memahami maknanya, setidaknya secara etimologis? (Sumber gambar: Priscilla Du Preez – Unsplash)
ADVERTISEMENT
Pasal 1: Menggugat Merdeka
Bahwa hakikat merdeka (dan kemerdekaan) tidak jarang berujung sebagai propaganda oleh penguasa demi menekankan otoritas rezim, adalah sebuah lagu lama yang kiranya jauh lebih purba dibandingkan kata merdeka itu sendiri. Bahwa secara etimologis kata merdeka adalah maharddhika (yang berarti kuat/kaya/sejahtera) mau tidak mau menimbulkan pertanyaan, untuk siapakah sebenarnya kemerdekaan itu?
ADVERTISEMENT
Sejarah telah mengungkapkan baik secara terang-terangan maupun malu-malu bahwa proses memerdekakan suatu bangsa adalah memindahkan penjajahannya dari satu tangan ke tangan yang lain. Sehingga dalam sebuah konteks yang fatalis, kemerdekaan itu tidak ada, dan tidak ada bangsa atau seorang pun yang benar-benar merdeka. Adapun kemerdekaan sebuah bangsa secara praktis dilihat dari seberapa mudahnya suatu bangsa tersebut mempraktikkan hak-hak asasinya sebagai manusia. Namun hak asasi ini relatif pula bentuknya; Orwell dalam 1984 masih memperbolehkan Winston Smith untuk hidup, makan, dan minum—sebuah bentuk penjaminan hak paling asas.
Sehingga penggunaan kata merdeka sebagai sebuah jargon mau tidak mau ditelusuri makna dan niatnya; apakah ia berupaya untuk menggambarkan sebuah keadaan yang memenuhi hak-hak tujuan jargon tersebut, ataukah hanya sebuah usaha untuk memperkaya si pembuat jargon?
ADVERTISEMENT
Mungkin tidak ada salahnya jika kita sedikit iseng dan memadankan kata merdeka dengan padanannya dalam Bahasa Inggris. Harapannya, keisengan ini bisa memberikan kita sebuah gambaran bagaimanakah merdeka yang hakiki; merdeka yang digunakan oleh orang-orang sebagai penjamin keberlangsungan hak-haknya. Sementara Bahasa Inggris digunakan karena sebagaimana ditunjukkan tadi, etimologi merdeka dalam Bahasa Indonesia tidak memberikan keterangan hasil yang bisa menenangkan kita. Sebagai bahasa internasional, layaklah kita mencoba untuk melihat bagaimana ia memandang kata merdeka.
Secara nuansa, merdeka condong kepada dua kata: freedom dan independence. Kita gunakan kata freedom, yang berarti kebebasan sebagai sebuah seruan. Sementara independence adalah padanan tekstual yang kerap dan lazim dipakai secara akademis; misalkan menerjemahkan Hari Kemerdekaan menjadi Independence Day. Menjadikan merdeka sebagai freedom (atau kita asaskan lagi menjadi free) memiliki makna kurang lebih sebuah keadaan di mana seseorang bebas untuk menentukan nasib dan kehidupannya tanpa ada ikatan terhadap apa pun. Namun mungkin kita bisa mempelajari konsep boundless freedom oleh Mikhail Bakunin, yang erat kaitannya dengan anarki: sesuatu yang jelas belum siap diadopsi oleh bangsa kita.
ADVERTISEMENT
Alhasil, memadankan kemerdekaan dengan freedom akan menimbulkan lebih banyak pertanyaan ketimbang jawaban, sehingga langkah logis selanjutnya adalah memadankannya dengan independence. Kita mendapatkan penafsiran yang jauh lebih jinak di sini: independence memiliki kata dasar dependence, atau ketergantungan. Imbuhan awal in- menegasikannya, dan negasi dari ketergantungan adalah kemandirian. Dikatakan lebih jinak karena kemandirian bukanlah kebebasan tanpa batas yang ditawarkan oleh freedom, melainkan sebuah keadaan di mana suatu bangsa berdiri di atas kakinya sendiri. Artinya, dalam makna independence, sebuah unsur yang merdeka memiliki kemampuan untuk mempertahankan hidup dengan caranya tersendiri.
Pasal 2: Meragukan Belajar
Mendiskusikan belajar semestinya lebih mudah dibandingkan membedah kemerdekaan. Namun sebuah pembelajaran akan sedikit lebih rumit jika kita lihat melalui padanan objeknya, yaitu: pendidikan dan pengetahuan. Dikatakan rumit karena kenyataan di lapangan kerap menunjukkan bahwa perbedaan di antara keduanya tidak dianggap oleh banyak praktisi keilmuan, menghasilkan sebuah sistem pembelajaran yang tidak efektif, monoton, dan sama sekali tidak bermakna. Tentu, pemegang otoritas tertinggi administrasi keilmuan memiliki andil besar dalam miskonsepsi ini.
ADVERTISEMENT
Ada sebuah hal menarik yang bisa kita temukan dengan melihat hasil pencarian definisi pendidikan di KBBI dan education di Merriam-Webster. Dalam KBBI, pendidikan didefinisikan sebagai proses mengubah sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; sementara education secara gamblang adalah pembelajaran dalam suatu lembaga.
Menarik ketika kita melihat definisi internasional dari pendidikan dengan tegas menunjukkan keberadaan institusi atau lembaga, sementara dalam definisi nasional ia didefinisikan dengan lebih idealis. Tentu saja ini tidak salah. Tetapi adanya perbedaan kentara pada dua definisi ini mau tidak mau membuat kita bertanya-tanya apa sebenarnya proses belajar itu?
Lagi-lagi dengan menggunakan padanan dalam Bahasa Inggris, belajar memiliki dua padanan: study dan learn. Perbedaan ini tidak ada dalam Bahasa Indonesia. Ketika kita mencari definisi dari study, kita menemukan adanya kesamaan administratif terhadap definisi education tadi: bagaimana keduanya memerlukan institusi untuk bisa melengkapi definisinya. Learn di lain sisi memiliki definisi yang lebih luas. Namun di sini jelas kita tangkap sebuah kesimpulan: ada belajar yang distrukturasi oleh sistem administratif, dan ada yang tidak. Secara naif, kita bisa membuat pertanyaan: yang manakah di antara keduanya yang merupakan pembelajaran hakiki?
ADVERTISEMENT
Di sinilah kita akan mempertemukan belajar dengan merdeka.
Pasal 3: Mempertanyakan Merdeka Belajar
Jika Merdeka Belajar adalah sebuah jargon, apakah ia berupaya untuk menggambarkan sebuah keadaan yang memenuhi hak-hak tujuan jargon tersebut, ataukah hanya sebuah usaha untuk memperkaya si pembuat jargon?
Atau setidaknya begitulah pertanyaan antagonistik yang bisa kita ajukan terhadap ide tersebut. Namun marilah kita bersikap adil sebagaimana yang diajarkan Pak Pram dan sedikit memoderasi pertanyaan di atas: bagaimanakah Merdeka Belajar bisa menjadi penjamin hak asasi mereka yang dinaunginya, dan bagaimana pula jika ia hanya alat untuk memperkaya pembuat jargon?
Satu hal yang perlu kita pertegas kembali bahwa Merdeka adalah Independence, kemandirian dan tidak tergantung. Artinya dalam sebuah proses pembelajaran yang merdeka, maka unsur-unsur yang ada di dalamnya tidak lagi tergantung (baca: tidak terikat) dengan tuntutan-tuntutan sistem baik secara birokratif maupun ekspektasi masyarakat. Artinya kurikulum tidak lagi bersifat seperti sekarang; yang mendikte satu demi satu akan kompetensi apa yang harus dicapai oleh anak-anak didik secara pukul rata. Namun lebih penting lagi, pola pikir bahwa ketuntasan akademis sama dengan pencapaian anak-anak didik dalam bentuk numerik atau kelolosan masuk ke dalam lembaga favorit juga harus diberantas.
ADVERTISEMENT
Dalam pembelajaran yang Merdeka, guru tidak berperan sebagai pemberi materi yang ditetapkan oleh sistem karena pada asasnya, dalam lingkungan sebegitu anak-anak didik memiliki kebebasan akan ilmu apa yang ingin ia dalami. Guru bertindak sebagai pembimbing; menuntun anak-anak didik yang kerap memikirkan keinginannya dengan melupakan keperluannya. Atau memastikan bahwa anak-anak didik dibimbing keinginannya ke arah sesuatu yang produktif.
Ini berarti pembelajaran yang sangat interpersonal; minim administrasi, tetapi sarat akan pendekatan. Guru tidak lagi bertindak sebagai bagian dari roda gigi sistem, tetapi benar-benar sebagai pembangun kemanusiaan. Proses belajar tidak lagi sebuah study, tetapi learning. Alhasil, padanan terbaik konsep Merdeka Belajar adalah Independent Learning. Atau secara tekstual: Pembelajaran Independen.
Artinya, konsep Merdeka Belajar harusnya merupakan sebuah perubahan pola pikir di mana proses belajar bukan lagi sesuatu yang terikat secara administratif dan birokratif. Hal ini secara terang-terangan tersirat dalam kata independen tersebut—atau setidaknya begitulah pemahaman saya dalam kasus ini. Untuk mencapai tahap sebagaimana yang saya paparkan di atas, di mana pembelajaran bersifat interpersonal, unsur terpenting adalah adanya otonomi yang cukup pada lembaga-lembaga pendidikan dalam menentukan sendiri kurikulum apa yang baik untuk ekosistem sekolahnya.
ADVERTISEMENT
Lalu apa peran perlembagaan administratif dan birokratif seperti dinas pendidikan dalam konsep seperti itu? Jelas, di sini dinas berfungsi sebagai pengawas, penilai, dan pemberi saran: cocokkah sebuah kurikulum yang disusun secara independen oleh suatu sekolah, dengan ekosistem yang ada? Dinas tidak lagi bertindak selayaknya seorang mandor yang hanya datang dan mengangguk-angguk saat datang ke sekolah, tetapi benar-benar memiliki profesionalitas yang tinggi dalam melakukan asesmen terhadap kecocokan kurikulum dengan ekosistem sekolah.
Sebuah sistem pendidikan yang ideal, menurut saya. Tetapi akankah idealisme bertahan di negara yang serba ajaib ini?