Mengajar dengan Hati, Mengajar dengan Teori

Kurnia Gusti Sawiji
Guru fisika di SMA Al-Fityan School Tangerang. Pernah bercita-cita jadi raja bajak laut. Kadang menulis, kadang mengajar, kadang meneliti meme secara kritis dan sistematis. Menempuh pendidikan di University of Malaya, Malaysia.
Konten dari Pengguna
22 Juli 2022 10:52 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Kurnia Gusti Sawiji tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Apa yang membuat seorang guru seorang guru? (sumber gambar: Kenny Eliason, Unsplash)
zoom-in-whitePerbesar
Apa yang membuat seorang guru seorang guru? (sumber gambar: Kenny Eliason, Unsplash)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Apa itu seorang guru?
Saya adalah seorang guru. Tetapi saya bukan seorang guru. Tergantung dengan bagaimana cara kalian mendefinisikan seorang guru. Jika seorang guru adalah dia yang mencoba mengajarkan berbagai cara bertahan hidup baik itu yang mudah maupun rumit, yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan, yang kecil maupun besar, maka mungkin benar saya adalah seorang guru—meskipun definisi sebegitu terlalu berat pula bagi saya. Tetapi jika seorang guru adalah dia yang mengikuti suatu sistem administrasi, prosedur, dan strukturasi dalam perlembagaan pendidikan, maka jelas saya bukan seorang guru. Karena menurut hemat saya, guru dalam definisi tersebut adalah seorang karyawan—dan saya bukan seorang karyawan, karena saya seorang guru.
ADVERTISEMENT
Pertama kali saya mengenal dunia pendidikan, pembelajaran, dan pengajaran adalah melalui Ibu. Beliau adalah seorang guru. Tetapi beliau bukan seorang guru. Tergantung dengan bagaimana cara kalian mendefinisikan seorang guru.
Pertama kali beliau mengajar adalah di sebuah tempat kursus Bahasa Inggris milik dosennya di Akademi Bahasa Asing (ABA) Prayoga, Sumatera Barat. Selain itu beliau juga mengajar Bahasa Inggris secara door-to-door. Di Tangerang, beliau membuka tempat kursus sendiri. Bukan main: lebih dari 250 murid dipegangnya sendiri. Mengajar sesuai dengan sistem yang dibuatnya sendiri, dijalankannya sendiri, tanpa ada keterikatan atau ketergantungan dengan administrasi atau strukturasi yang lebih besar. Kononnya di suatu titik tertentu di masa depan, perkara sebegitu diberi merk yang bukan main hebat dan mumpuni, yaitu: ‘Merdeka Belajar’.
ADVERTISEMENT
Tetapi mungkin saya kurang bersikap adil jika harus mencontohkan Ibu dalam kasus ini. Karena pada dasarnya, seorang ibu adalah guru bagi anak-anaknya. Seorang ibu adalah dia yang mengajarkan berbagai cara bertahan hidup baik kepada anaknya; baik itu yang mudah maupun rumit, yang menyenangkan maupun tidak menyenangkan, yang kecil maupun besar. Bahkan ketika seorang ibu bertindak sebagaimana seorang karyawan—dengan segala kepatuhannya pada administrasi, prosedur, dan strukturasi—dia akan menjelma menjadi seorang guru ketika berhadapan dengan anak-anaknya.
Maka izinkan saya, dengan segala bentuk kerendahan hati, bertanya kembali kepada khalayak sekalian: apa itu seorang guru?
***
Sebagaimana sekolah pada umumnya, sekolah tempat saya mengajar mengadakan berbagai jenis pelatihan dan pengembangan profesi dengan mengundang berbagai jenis pemateri yang mumpuni dalam bidangnya masing-masing. Adalah dari pelatihan-pelatihan tersebut saya mengenal berjenis-jenis perangkat pembelajaran, lalu berjenis-jenis teori dalam pembelajaran; mulai dari teknik-teknik mengajar, memahami kondisi psikologis murid, sampai teori yang dipergunakan dalam membuat soal. Dalam suatu pelatihan saya mengenal yang disebut sebagai taksonomi Bloom, atau sejenis pengelompokan tingkat berpikir dalam sebuah pembelajaran.
ADVERTISEMENT
Usut punya usut, berbagai macam administrasi, prosedur, dan strukturasi yang saya sebut-sebut di awal tadi itu merupakan manifestasi—perwujudan dari teori-teori mumpuni tadi, yang jelas dikemukakan oleh orang-orang yang bernas dalam bidang pendidikan itu sendiri. Tidak semestinya kata orang-orang pintar dari Indonesia; banyak teori-teori itu yang diadopsi dari pemikiran barat, contohnya taksonomi Bloom itu. Intinya, administrasi dan segala macamnya itu adalah suatu bentuk perencanaan sistematik yang ditujukan untuk menciptakan lingkungan belajar yang ideal.
Tetapi jelas, ketika saya menceritakan hal-hal ini kepada Ibu, saya malah mendapatkan cemoohan—cerewet yang ringan saja, tanpa ada maksud merendahkan. Beliau mengatakan sebuah pertanyaan klise nan klasik: kalau pelatihan-pelatihan teori terus, lalu mau kapan mengajarnya? Lantas saya sampaikan usut punya usut saya itu, tentang bagaimana pelatihan itu untuk mengisi administrasi, sementara administrasi adalah untuk memastikan perencanaan pembelajaran berjalan sebagaimana mestinya. Saya pikir sampai di situ Ibu bisa paham, tetapi rupanya beliau malah semakin tertawa.
ADVERTISEMENT
“Itulah masalah dari guru-guru sekarang. Kalian terlalu banyak mengajar dengan teori, bukan dengan hati.”
Saya pun tertegun mendengar pernyataan itu. Ingin saya bertanya: lantas bagaimana dengan orang yang memang sepenuh hatinya ingin mengajar, dan karenanyalah dia belajar tentang teori-teori dalam mengajar? Tetapi sebagaimana ibu pada umumnya, Ibu memiliki kemampuan untuk memutarbalikan sebuah upaya argumentasi menjadi tidak lebih dari rengekan yang diulang-ulang. Itu, atau memang argumentasi saya yang lemah. Argumentasi saya lemah, dan memang betul adanya tentang problematika dalam dunia keguruan kita: acapkali kita berasyik-masyuk dengan teori ini dan itu, program ini dan itu, wacana ini dan itu, sampai lupa bahwa kita punya hati.
Maka kita pun mengajar tanpa hati—mengajar hanya berbekalkan administrasi, prosedur, struktur, teori, dan lebih parah lagi: wacana.
ADVERTISEMENT
***
Apa itu seorang guru?
Pertanyaan itu akan saya ulang dan ulang dan ulang kembali kepada khalayak sekalian sampai saya mendapatkan jawaban yang memuaskan diri fana ini. Bisa jadi malah pertanyaan akan saya tambah lagi: apa itu mengajar, apa itu pendidikan, apa itu belajar, dan apa apa apa yang lain. Ini bukanlah gugatan apalagi tuntutan, melainkan sebuah upaya untuk menemukan jati diri di dalam sebuah tugas mulia yang konon akan membuat saya diberi gelar pahlawan tanpa tanda jasa itu.
Benarkah, seketika saja saya melangkahkan kaki ke dalam sebuah wadah ilmu yang dilembagakan oleh pihak berotoritas, saya akan dengan serta-merta meninggalkan hati saya dan mengajar anak-anak untuk bisa mengikuti apa yang didikte oleh pihak berotoritas; sebagaimana seorang buruh pabrik mampu menghasilkan puluhan hingga ratusan robot penuntas soal-soal ujian dalam sehari? Toh, seorang guru yang belajar teori dalam mengajar tidak ubahnya seorang mahasiswa kejiwaan yang belajar teori kejiwaan. Tidak bisa tiba-tiba seseorang yang tidak pernah mengajar bisa mengajar tanpa ditanamkan dulu apa-apa tentang cara mengajar yang baik.
ADVERTISEMENT
Namun orang-orang seperti Ibu acapkali berpikiran lain. Mereka pikir, mengajar cukup dilakukan dengan menajamkan sensitivitas, kepedulian, dan kearifan dalam mempelajari berbagai pengalaman dalam hidup, dan pada akhirnya menceritakan apa yang telah dipahami tentang hidup secara berbudaya. Segala macam teori, secanggih apa pun teori, tidak akan paripurna jika tenaga pengajarnya sibuk berurusan dengan administrasi, prosedur, atau apa pun itu yang disodorkan oleh pihak otoritas. Ibu mungkin akan bertanya kepada saya seterusnya: kalian itu mengajar untuk siapa; untuk kebaikan anak-anak murid kalian, atau untuk atasan-atasan kalian yang bau ampas kelapa itu?
Oh, iya. Ibu juga benci dengan para pakar kejiwaan seperti psikolog dan psikiater. Jelas: beliau paling benci juga yang namanya motivator.
ADVERTISEMENT