Merindukan Bobo, Ino, Orbit, dan Majalah Masa Kecil Lainnya

Kurnia Gusti Sawiji
Guru fisika di SMA Al-Fityan School Tangerang. Pernah bercita-cita jadi raja bajak laut. Kadang menulis, kadang mengajar, kadang meneliti meme secara kritis dan sistematis. Menempuh pendidikan di University of Malaya, Malaysia.
Konten dari Pengguna
9 Juli 2022 15:35 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Kurnia Gusti Sawiji tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Menemukan hal-hal baru melalui majalah adalah salah satu hal paling menyenangkan bagi anak-anak dulu. (Sumber gambar: Michal Parzuchowski, Unsplash)
zoom-in-whitePerbesar
Menemukan hal-hal baru melalui majalah adalah salah satu hal paling menyenangkan bagi anak-anak dulu. (Sumber gambar: Michal Parzuchowski, Unsplash)
ADVERTISEMENT
Salah satu hal yang paling mengagumkan dari rasa ingin tahu anak-anak kecil adalah bagaimana setiap hari adalah hal-hal baru yang menunggu untuk ditemukan, dan setiap penemuan adalah keseruan yang menyenangkan. Saya masih ingat bagaimana rakusnya saya terhadap hal-hal baru di saat saya masih baru masuk SD. Saya akan mengoceh berbagai hal kepada orang-orang yang saya merasa nyaman ketika berada di dekatnya, menunjukkan kepada mereka bagaimana hebatnya dunia di mata saya. Mungkin ini yang dimaksud dengan frasa It’s a Small World After All sebagaimana diciptakan Sherman bersaudara untuk menemani wahana bermain Disneyland.
ADVERTISEMENT
Dulu, orang tua saya memfasilitasi saya dengan berbagai majalah dan buku supaya asupan hal baru yang bisa saya serap semakin bertambah. Salah satu dari hal baru itu adalah bagaimana nenek moyang paus adalah sejenis harimau bernama Andrewsarchus, dan itu masih mencengangkan bagi saya bahkan ketika sudah dewasa. Satu lagi saya dapatkan dari Bobo, tentang gaya sentrifugal pada atraksi tong setan. Lalu tentang burger termahal di dunia dari majalah Ino. Saya pikir saya tahu lebih banyak dari majalah-majalah ketimbang buku-buku pelajaran sekolah.
Itu sekitar tahun 2000-an. Sekarang waktu sudah berlalu hampir 20 tahun setelah pertama kali saya berlangganan majalah Orbit, dan rasa ingin tahu anak-anak sama sekali tidak menunjukkan perubahan. Mereka masih dengan ocehan mereka tentang apa yang mereka temui di kehidupan sehari-hari, lalu dengan jenaka menarasikannya seolah itu adalah hal paling menakjubkan di dunia. Saya baru saja mengalaminya, ketika salah seorang anak SD yang belajar di tempat kursus saya berceloteh tentang iguana.
ADVERTISEMENT
“Eh, tahu tidak? Iguana itu mahal, bisa sampai 30 juta!” ujar si anak kepada temannya. Waktu itu saya sedang mengajarkan mereka tentang nama-nama hewan dalam Bahasa Inggris, dan kebetulan sampai di pembahasan tentang iguana: apakah ia termasuk pets atau wild animals. Si anak tadi mengeklaim iguana adalah wild animals, karena tidak mungkin memelihara iguana karena harganya yang mahal.
Jika ada satu hal yang berubah dari rasa ingin tahu anak-anak, mungkin sumbernya. Anak SD yang bercerita tentang iguana itu mengaku mendapatkan info harga itu dari kanal Youtube JessNoLimit. Jiwa kolot saya sempat menggoda anak itu dan mengatakan kenapa bisa anak kecil sudah tahu JessNoLimit sementara saya saja tidak tahu, anak itu pun berkilah kalau dia tidak sengaja menemukan kanalnya di iklan video Youtube yang diberikan gurunya untuk pemberian materi satu arah.
ADVERTISEMENT
Tetapi memang mau tidak mau saya membandingkan diri sendiri dan anak itu tadi. Pasalnya, anak-anak SD yang saya ajar waktu itu sama sekali tidak kenal dengan Bobo. Bagaimana bisa sebuah majalah yang setiap minggu bersirkulasi di masa kecil hampir semua anak generasi saya, tidak diketahui oleh anak-anak generasi sekarang? Merasa agak “gatal” dengan kenyataan itu, saya coba untuk bertanya kepada murid-murid yang generasinya lebih tua dibandingkan bocah-bocah itu.
Saya sedikit lega ketika mendengar dari murid-murid jenjang SMA saya yang notabene lahir tahun 2003 dan 2004 mengaku masih berlangganan Bobo sampai sekitar tahun 2015. Setelah itu Bobo tidak lagi bersirkulasi—atau setidaknya begitulah di tempat saya. Usut punya usut, majalah kelinci biru yang diadaptasi dari Belanda itu kini hadir secara digital namun tetap masih bisa dijadikan langganan, dengan syarat langsung berhubungan ke pihak pemasaran majalah. Beberapa sumber juga mengatakan kepada saya majalah Bobo mungkin masih dijual di Gramedia, meskipun saya belum memiliki kesempatan untuk melihat langsung klaim ini.
ADVERTISEMENT
Saya masih ingat dulu di tempat saya, tepatnya di kelurahan Bojong Nangka, kecamatan Kelapa Dua, Kabupaten Tangerang, majalah dan buku dijual di kedai-kedai Indomaret. Pertama kali saya mengenal karakter Doomsday dalam serial Superman adalah melalui sebuah komik berjudul Death of Superman yang dijual di Indomaret. Buku pengetahuan tentang paus di paragraf atas tadi juga saya dapatkan dari sebuah buku sejarah mamalia yang saya dapatkan di Ceriamart.
Selain itu, penjaja-penjaja koran yang keliling setiap pagi bukan sesekali membawa majalah-majalah itu. Dulu, penjaja koran langganan keluarga adalah seorang ibu-ibu berusia sekitar 50 tahun. Bukan Bobo saja; tetapi juga majalah lokal yang agak lebih “kecil”, seperti Ino atau Orbit. Selain penjaja koran, di dekat kompleks juga ada sebuah lapak tua (hampir mirip tempat tambal ban) yang khusus menjual koran dan majalah. Ringkas cerita, akses untuk membaca majalah dan buku fisik itu sangat mudah dulu.
ADVERTISEMENT
Lalu saya merantau ke Malaysia pada tahun 2007, dan masih melihat keadaan sebegitu selama 13 tahun lamanya. Dalam artian kedai-kedai minimarket di Malaysia tak ubahnya minimarket di Indonesia yang saya temukan di masa lalu saya, di mana koran dan majalah (bahkan ada juga komik) adalah sesuatu yang sangat mudah ditemukan. Jadi saya tetap berpikir bahwa jika nanti saya kembali ke Indonesia, keadaan tidak akan berubah drastis. Saya masih bisa melihat Bobo, Ino, Orbit, atau majalah-majalah masa kecil yang sempat menemani rasa ingin tahu saya.
Tetapi saya cukup kaget ketika pulang ke Indonesia tahun 2020, mengunjungi kedai Indomaret dekat bandara, dan menemukan bahwa mereka tidak lagi menjual koran ataupun majalah. Awalnya saya berpikir ini mungkin hanya terjadi di cabang dekat bandara. Tetapi seiring waktu berjalan, saya temukan bahwa kedai-kedai Indomaret di kelurahan saya pun sudah tidak lagi menjual koran dan majalah. Bahkan, lapak koran yang ada dekat kompleks juga sudah tidak ada, digantikan dengan sebuah warung sate.
ADVERTISEMENT
Ada sebagian diri saya yang merasa sedih ketika melihat sumber pengisi rasa ingin tahu saya yang sudah menemani masa kecil saya hilang, lekang dimakan waktu. Mungkin ini adalah bentuk kekolotan saya, tetapi sebanyak apa pun informasi yang bisa saya dapatkan kini di dunia maya, menemukan sesuatu yang menakjubkan setelah membacanya di majalah adalah sebuah pengalaman masa kecil yang menandakan bahwa saya pernah tumbuh dan berkembang menjadi seutuhnya manusia. Ada sesuatu yang dirindukan ketika membalik-balik lembar majalah dan buku.
Salah satu kerisauan negara adalah bagaimana tingkat literasi masyarakat sangat rendah, sampai dari 61 negara, Indonesia berada di peringkat 60. Pemerintah pun mengeluarkan berbagai kebijakan-kebijakan untuk meningkatkan literasi; salah satu darinya mungkin adalah adanya penilaian berstandar nasional khusus literasi pada Asesmen Nasional. Tidak cukup di situ, lembaga-lembaga pendidikan baik milik negara atau swadaya pun gencar mengadakan kegiatan literasi. Mulai dari yang sederhana seperti membuat perpustakaan berjalan sampai program menerbitkan buku untuk sekolah-sekolah.
ADVERTISEMENT
Tentu, tindakan-tindakan yang seperti kuda delman dicambuk itu pantas diapresiasi. Tetapi bagaimana kalau literasi nasional bisa ditegakkan kembali melalui tindakan-tindakan sederhana, seperti misalnya mempopulerkan kembali majalah-majalah anak?