Konten dari Pengguna

Bushidou, Bentuk Keunggulan Jepang terhadap Bangsa Lain

kurniawan sutaryono
Mahasiswa Studi Kejepangan, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Airlangga
14 Januari 2021 16:00 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari kurniawan sutaryono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh Kurniawan Sutaryono, mahasiswa Prodi Studi Kejepangan Universitas Airlangga
https://www.historynet.com/the-korean-courtesan-who-killed-a-samurai-warrior.htm
zoom-in-whitePerbesar
https://www.historynet.com/the-korean-courtesan-who-killed-a-samurai-warrior.htm
Setiap bangsa di dunia ini mempunyai banyak ciri khas dan keistimewaannya masing-masing. Hal tersebut sangat dipengaruhi oleh kondisi geografis, budaya dan unsur-unsur eksternal lainnya. Salah satu bangsa di Asia yang kaya akan nilai-nilai budaya didalamnya adalah Jepang. Jepang terkenal dengan negara yang sangat pesat dalam kemajuannya akan tetapi masyarakat Jepang sangat mempertahankan nilai-nilai budaya yang melekat didalamnya. Nilai-nilai budaya tersebut sangat mempengaruhi pola pikir dan pandangan hidup masyarakat Jepang dari jaman dulu sampai sekarang. Pandangan hidup masyarakat Jepang membuahkan kesadaran bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan hal yang penting untuk mengungguli bangsa-bangsa lainnya. Masyarakat Jepang dikenal sebagai masyarakat pekerja keras dan kehebatan Jepang tidak membuat masyarakat Jepang serta merta melupakan nilai-nilai dan norma tradisional yang diwariskan oleh nenek moyang mereka. Tatanan kehidupan di era modern ini adalah penyelarasan antara kemajuan bangsa Jepang dan pemeliharaan budaya yang masih terjaga dengan sangat baik (Rahmah, 2018:1). Pada konteks yang lebih luas, kebudayaan-kebudayaan tradisional Jepang hingga kini masih diterapkan oleh masyarakat Jepang. Terlebih jika budaya tersebut bernilai positif, maka akan selalu diterapkan oleh siapupun yang menganutnya. Bagi masyarakat Jepang, tradisi bukanlah hambatan guna mencapai modernisasi, justru tradisi yang telah membawa masyarakat Jepang cukup tangguh dalam menghadapi globalisasi dan budaya luar, di sisi lain tetap mempertahankan budaya sendiri (Isadi, 2014:82). Semangat juang yang tinggi dikenal dengan istilah bushidou dimana bushidou berasal dari kata “bu” yang atinya beladiri, “shi” artinya Samurai (orang) dan “do” artinya jalan. Secara sederhana bushidou berarti jalan terhormat yang harus ditempuh seorang Samurai dalam pengabdiannya. Bushidou tidak sekedar berupa aturan dan taracara berperang serta mengalahkan musuh, tetapi memiliki makna yang mendalam tentang perilaku yang dihayati untuk kesempurnaan dan kehormatan seorang Samurai (prajurit). Dalam etika bushidou terkandung ajaran-ajaran moral yang tinggi terkait dengan tanggung jawab, kesetiaan, sopan santun, tata krama, disiplin, kerelaan berkorban, pengabdian, kerja keras, kebersihan, hemat, kesabaran, ketajaman berpikir, kesederhaanan, kesehatan jasmani dan rohani, kejujuran, pengendalian diri. Dalam menjalankan bushidou, seorang Samurai dituntut total dalam pengabdiannya. Bahkan kematian yang sempurna dan mulia adalah kematian dalam rangka membela kaisar dan negara. Bushidou merupakan etika yang dipengaruhi oleh ajaran Budha Zen. Zen merupakan moral dan filosofis Samurai. Zen sebagai dasar moral karena Zen merupakan agama dan kepercayaan yang mengajarkan bahwa tidak ada tenggang waktu (jeda) dari perbuatan yang telah dimulai dan harus diselesaikan. Sebagai filosofi Zen menekankan bahwa tidak ada batas antara hidup dan mati. Oleh karena Zen tidak mentoleransi pemikiran dan sangat menghargai intuisi, maka filosofi Zen ini sangat digemari oleh kaum Samurai. Secara sederhana etika Zen adalah “langsung, percaya pada diri sendiri dan memenuhi kebutuhan sendiri”. Meditasi yang menjadi tradisi Zen sangat cocok bagi Samurai yang kehidupannya sebagian besar dihabiskan dalam perenungan dan kesunyian (Suliyati, 2013:3).
ADVERTISEMENT
Artikel ini termasuk dalam artikel library research yang dilakukan dengan menelusuri bahan-bahan pustaka sebagai dasar teori pilihan. Sumber bahan terdiri dari beberapa sumber seperti buku, jurnal, dan media elektronik. Adapun teknik pengumpulan data dilakukan dengan metode kualitatif, dimana data yang terkumpul disajikan dalam bentuk teks (bukan numerik). Pengambilan data tersebut diawali dengan membaca bahan yang ada dari beberapa sumber dan mengamati (observasi) terhadap realitas penelitian melalui fakta-fakta yang disajikan dalam media cetak ataupun elektronik yang sifatnya up to date, kemudian dari serangkaian kegiatan tersebut akan disajikan data yang akan dianalisis secara sistematis-reflektif dan di interpretasi kemudian ditarik kesimpulan akhir. Dalam penelitian ini, analisis data dilakukan melalui tiga cara antara lain yang pertama mereduksi data, yaitu proses pemilihan, penyederhanaan, penarikan esensi dari data kasar yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka. Kedua, penyajian data dalam bentuk narasi deskriptif dimana data yang telah direduksi dan diinterpretasi disajikan dalam bentuk teks yang detail secara sistematis-reflektif. Yang ketiga, penarikan kesimpulan dimana saat penelitian tersebut mampu menjawab rumusan masalah yang ditetapkan. Ketiga langkah tersebut dilakukan secara bersamaan.
ADVERTISEMENT
Dalam bushidou tertanam prinsip-prinsip yang mengarahkan seseorang untuk hidup dalam ketenangan jiwa dan keyakinan hati. Jadi di samping ketangguhan seorang Samurai dalam memainkan pedang, sewajarnya ia juga memiliki keharmonisan jiwa yang tertanam dalam dirinya. Keseimbangan di antara keduanya akan membawa kekuatan yang positif. Hal mendasar dari prinsip hidup Samurai adalah kejujuran. Jujur pada diri sendiri dan pada orang lain. Keduanya saling berkesinambungan, karena bila seseorang dapat jujur pada dirinya sendiri maka secara otomatis ia akan bisa jujur pada orang lain. Sepertinya memang tampak sederhana, kenyataannya banyak yang masih belum bisa melaksanakannya. Bila seorang Samurai telah dapat menjalankan prinsip ini, maka barulah ia bisa dianggap memiliki hidup yang seutuhnya. Karena bagi para Samurai kejujuran adalah sesuatu yang sangat bermakna dan dapat membawa pada kedamaian. Banyak hal positif yang muncul dari prinsip hidup para Samurai. Tentu semua yang baik itu ingin terus dilestarikan penerusnya demi mempertahankan kedamaian. Selama beberapa generasi budaya Samurai telah tertanam begitu kuat dan mendarah daging pada masyarakat Jepang, sehingga akan sulit bagi mereka untuk meninggalkan rangka pemikiran ala Samurai tersebut. Untuk memahami karakter dari prinsip ajaran bushidou, secara sederhana dapat dijelaskan dalam bentuk refleksi tindakan dan perilaku moral. Bushidou merupakan ajaran-ajaran moral seperti keberanian, ketabahan hati, kemurnian, cinta nama baik, kesetiaan, tanggung jawab, rasa malu, dan kehormatan. Nilai-nilai bushidou yang diterapkan para Samurai. Pertama, Gi (integritas) yang berarti kemampuan membuat keputusan yang tepat dengan keyakinan moral, sehingga keputusan bisa adil dan seimbang untuk semua orang, tanpa memandang warna kulit, ras, jenis kelamin ataupun usia. Yu (keberanian) merupakan kemampuan untuk menangani setiap situasi dengan gagah berani dan percaya diri. Jin (pengasih) dinyatakan sebagai suatu bentuk kombinasi kasih sayang dan kemurahan hati. Nilai ketiga ini diterapkan bersama Gi akan membuat seorang Samurai dapat meredam keinginan untuk menggunakan kemampuan mereka secara arogan atau untuk mendominasi orang lain. Selanjutnya Rei yang diartikan sebagai penghormatan yang berhubungan dengan kesopan-santunan dan sikap yang layak kepada orang lain. Rei juga berarti harus menghormati semua pihak. Kelima adalah Makoto atau bersikap jujur pada diri sendiri, layaknya bersikap jujur kepada orang lain. Keenam ada Meiyo sebagai bentuk kehormatan dimana selalu melakukan sesuatu dengan tetap menjaga nama baik. Yang terakhir atau ketujuh yaitu Chuugi atau kesetiaan yang selalu diterapkan dan berdedikasi penuh terhadap tugas.
ADVERTISEMENT
A. Prinsip Bushidou
Masyarakat feodal Jepang berada di bawah pemerintahan shogun untuk waktu yang cukup lama. Prinsip hidup yang dianut oleh pemerintahan shogun kala itu mulai diperkenalkan pula pada masyarakat luas, sehingga mereka hidup dengan aturan yang ada dalam prinsip atau kode etik bushidou. Secara harfiah Bushidou berasal dari dua kata yaitu bushi 武士 ‘ksatria’ dan dou 道 ‘jalan’, sehingga secara keseluruhan dimaknai sebagai jalan ksatria. Bushidou merupakan sebuah aturan moral ksatria yang diberlakukan di kalangan Samurai pada abad 12-19. Seiring dengan diterapkannya politik sakoku (politik mengisolasi diri dari dunia luar), kalangan Samurai menjadi kaum yang sangat disegani masyarakat. Dibawah pemerintahan kalangan Samurai inilah kemudian bushidou secara resmi disusun dalam bentuk etika yang diterapkan dengan ketat, dan diajarkan pada masyarakat. Prinsip bushidou merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari ajaran Budha Zen, Dalam buku Bushidou: The Soul of Japan ajaran Zen mengajarkan kepercayaan pada takdir dan ketenangan hati yang ditempuh melalui meditasi bagi para Samurai. Sementara itu ajaran Shintou mengajarkan loyalitas pada pimpinan, penghormatan pada warisan leluhur, dan sikap bakti. Kombinasi dua kepercayaan inilah yang membentuk jiwa Samurai yang tangguh. Etika bushidou tersebut tidak hanya terlihat dari sikap berani mati yang ditunjukkan oleh para tentara Jepang pada masa Perang Dunia II, namun juga terlihat pada perjalanan bangsa Jepang untuk bangkit dari keterpurukan Perang Dunia II sehingga akhirnya Jepang muncul sebagai raksasa ekonomi. Meski perubahan besar besaran terjadi pada zaman Meiji, nilai-nilai bushidou tetap dianut sebagian besar orang Jepang. Hal ini tidak terlepas dari proses internalisasi dalam masyarakat yang berlangsung selama ratusan tahun. Hal yang paling mendasar dalam prinsip bushidou adalah ajaran untuk senantiasa hidup dengan kejujuran terhadap diri sendiri.
ADVERTISEMENT
Hingga saat ini masyarakat dunia mengenal bushidou sebagai ciri khas dari kepribadian bangsa Jepang. Bushidou sendiri berasal dari ajaran pola hubungan sosial. Dari ajaran tersebut berkembang istilah on, yang mempunyai makna kewajiban atau utang yang harus dibayar karena telah menerima kebaikan orang lain. Kewajiban mengembalikan on terbagi menjadi 2 jenis, yaitu gimu dan giri. Salah satu bentuk gimu disebut chu, yaitu pengabdian kepada Kaisar. Chu dianggap sebagai on tertinggi yang harus diutamakan sebelum on lainnya. Pengabdian kepada Kaisar dimaknai sebagai sebuah bentuk pengabdian terhadap negara. Jenis on selanjutnya adalah giri. Giri mencakup kesetiaan pengikut kepada tuannya dan menjaga nama baik. Giri mewajibkan setiap orang Jepang untuk menjaga kehormatan nama mereka, karena masyarakat Jepang percaya bahwa kehormatan merupakan suatu kebajikan dan selalu ingin dicapai oleh masyarakatnya. Salah satu wujud melakukan giri ini adalah dengan dengan mengendalikan diri sebagai bentuk penghormatan pada diri mereka. Giri kemudian berkembang menjadi mental bangsa Jepang yang mengutamakan nama baik yang tidak bisa diraih jika masih ada kotoran (penghinaan) yang melekat pada diri mereka. Jika tidak ada lagi pilihan lain yang dapat membersihkan nama mereka, mereka tidak segan-segan melakukan bunuh diri karena bunuh diri merupakan tindakan terhormat untuk menegakkan kembali citra mereka.
ADVERTISEMENT
B. Nilai-nilai Bushidou
Nilai-nilai utama dalam bushidou terdiri dari tujuh hal yang dikenal juga dengan istilah tujuh kode etik bushidou. Ketujuh kode etik tersebut adalah sebagai berikut :
1. Integritas (Gi 義)
Integritas berarti jujur dan utuh. Keutuhan yang dimaksud yakni keutuhan dari berbagai aspek kehidupan. Jujur dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan. Nilai ini sangat dijunjung tinggi dalam falsafah bushidou dan merupakan dasar bagi manusia untuk lebih mengerti tentang moral dan etika.
2. Keberanian (Yu 勇)
Keberanian merupakan sebuah karakter dan sikap untuk bertahan demi prinsip kebenaran yang dipercayai meski mendapat berbagai tekanan dan kesulitan. Keberanian juga merupakan ciri para Samurai. Samurai siap dengan resiko apapun termasuk memperaruhkan nyawa demi memperjuangkan apapun yang diyakini dan dibela olehnya.
ADVERTISEMENT
3. Welas Asih (Jin 仁)
Bushidou memiliki aspek keseimbangan antara maskulin (yin) dan feminim (yang). Jin mewakili sifat feminim yaitu mencintai. Meski berlatih ilmu pedang dan strategi berperang, para Samurai harus memiliki sifat mencintai sesama, kasih sayang, dan peduli.
4. Penghormatan (Rei 礼)
Samurai tidak pernah berikap kasar dan ceroboh, namun senantiasa menggunakan kode etiknya secara sempurna sepanjang waktu. Sikap santun dan hormat tidak saja ditunjukkan pada pimpinan dan orang tua, namun kepaa tamu atau siapapun yang ditemui. Sikap santun meliputi cara duduk, berbicara, bahkan dalam memperlakukan dan merawat benda ataupun senjata.
5. Kejujuran (Makoto 信)
Seorang Samurai senantiasa bersikap jujur dan tulus, berkata dan memberikan informasi yang sesuai kenyataan dan kebenaran. Para ksatria harus menjaga ucapannya dan selalu waspada, tidak menggunjing, bahkan saat melihat atau mendengar hal-hal buruk tentang kolega.
ADVERTISEMENT
6. Kehormatan (Meiyo 名誉)
Cara Samurai menjaga kehormatan adalah dengan menjalankan kode bushidou secara konsisten sepanjang waktu dan tidak menggunakan jalan yang amoral. Seorang Samurai memiliki harga diri yang tinggi, yang benar-benar dijaga dengan cara berperilaku terhormat. Salah satu cara menjaga kehormatan adalah dengan tidak menyia-nyiakan waktu.
7. Loyalitas / Kesetiaan (Chuugi 忠義)
Kesetiaan ditunjukkan dengan dedikasi yang tinggi dalam melaksanakan tugas. Kesetiaan seorang ksatria tidak hanya saat pimpinannya dalam keadaan sukses dan berkembang. Bahkan dalam situasi yang tidak diharapkan terjadi, misalnya pimpinan mengalami banyak beban permasalahan, seorang ksatria tetap setia pada pimpinannya dan tidak meninggalkannya. Puncak kehormatan seorang Samurai adalah mati dalam menjalankan tugas dan perjuangan (Rahmah, 2018:5-6).
ADVERTISEMENT
C. Representasi Nilai-Nilai Bushidou pada Masa Kini
1. Integritas (Gi 義)
Gi merupakan dasar dari keseluruhan sikap mental terkait dengan keselarasan pikiran, perkataan dan perbuatan dalam menegakkan kejujuran dan kebenaran. Ketika seseorang sudah memutuskan sesuatu tindakan, tentu sudah melalui proses kajian dan pertimbangan mendalam serta sudah dipertimbangkan pula akibat yang akan timbul dari keputusan tersebut. Keberhasilan atau kegagalan dari keputusan tersebut adalah bagian dari beban yang harus diterima dengan penuh tanggung jawab. Kebenaran mutlak dalam gi adalah bersumber dari hati nurani, sehingga ketika terjadi kesalahan dalam pengambilan keputusan, orang Jepang selalu melakukan instrospeksi diri, melihat ke dalam diri mereka sendiri. Bagi orang Jepang perbuatan mencari kambing hitam atau menyalahkan orang lain adalah perbuatan yang tidak terpuji. Kegagalan bagi orang Jepang dimaknai sebagai proses penempaan diri dan dasar untuk melakukan perbaikan terus menerus. Dalam konsep gi terkandung unsur pencarian ilmu dan pengetahuan yang berkesinambungan. Penguasaan ilmu dan pengetahuan penting untuk pengambilan keputusan yang cepat dan tepat. Bagi masyarakat Jepang pengambilan keputusan yang cepat dan tepat diperlukan untuk menghadapi segala situasi yang kadang terjadi tidak terduga. Penerapan gi secara menyeluruh mempresentasikan kualitas pribadi seseorang. Secara umum seorang pemimpin berada pada puncak kariernya setelah melalui tahap-tahap penyempurnaan gi. Jadi orang yang menerapkan gi secara total dapat dikategorikan sebagai orang bijak yang telah mencapai tingkat kesempurnaan secara mentalitas maupun spiritual. Gi merupakan salah satu dasar penilaian untuk menentukan kemampuan seseorang menjadi pemimpin masyarakat yang dapat dijadikan teladan.
ADVERTISEMENT
2. Keberanian (Yu 勇)
Yu (keberanian) adalah etika yang penting dalam semua aspek kehidupan masyarakat Jepang. Nilai-nilai yang berkaitan dengan yu adalah modal yang sangat menentukan perjalanan hidup masyarakat maupun bangsa Jepang. Yu merupakan ekspresi kejujuran dan keteguhan jiwa untuk mempertahankan kebenaran, walaupun dalam menegakkan kebenaran penuh tekanan dan hambatan. Di dalam yu terkandung kesiapan menerima resiko dalam upaya mengatasi masalah atau kesulitan. Dahulu keberanian merupakan ciri khas para Samurai, yang siap menerima risiko apapun termasuk resiko menerima kematian untuk membela kebenaran dan keyakinan. Keberanian mereka tercermin dalam prinsipnya yang menganggap hidup dan mati sama indahnya. Walau demikian, keberanian Samurai bukan semata-mata keberanian yang tanpa perhitungan, melainkan keberanian yang dilandasi latihan yang keras dan penuh disiplin. Setelah era Samurai usai masyarakat Jepang menerapkan nilai-nilai yang terkandung dalam keberanian dalam bentuk keberanian bersaing dalam upaya mencapai kedudukan sebagai bangsa terhormat.
ADVERTISEMENT
3. Welas Asih (Jin 仁)
Makna jin adalah mencintai sesama, kasih sayang dan simpati. Secara umum masyarakat dan generasi Jepang saat ini masih memiliki dan menerapkan nilai-nilai jin dalam bentuk kepedulian pada lingkungan, kepedulian pada masalah-masalah sosial masyarakat. Masyarakat Jepang saat ini sangat ekspresif mengungkapkan bentuk-bentuk cinta dan kasih sayang serta sangat menghargai eksistensi kemanusiaan terkait dengan agama, budaya, politik, ekonomi.
4. Penghormatan (Rei 礼)
Salah satu sikap Samurai yang diterapkan secara mendalam adalah sikap hormat dan sopan santun yang tulus yang ditujukan kepada semua orang, tidak hanya kepada atasan, pimpinan dan orang tua. Bahkan sikap hormat, santun dan hati-hati juga terlihat dalam penggunaan benda-benda dan senjata. Samurai sangat menghindari sikap ceroboh yang tidak tertata. Sikap hormat dan santun tercermin dalam sikap duduk, cara berbicara, cara menghormati dengan menundukkan badan dan kepala. Penerapan rei pada masyarakat Jepang saat ini masih terlihat dan bahkan menjadi salah satu karakter masyarakat Jepang. Penanaman rei dilakukan sejak usia dini di rumah dan sekolah, sehingga dalam semua aspek kehidupan masyarakat Jepang rei sangat diutamakan.
ADVERTISEMENT
5. Kejujuran (Makoto 信)
Makoto merupaka etika Samurai yang sangat menjunjung tinggi kejujuran dan kebenaran. Samurai selalu mengungkapkan apa yang ada dalam pikirannya, dan melakukan apa yang mereka katakan. Samurai sangat menjaga ucapannya, tidak berkata buruk (bergunjing) tentang keburukan seseorang atau situasi yang tidak menguntungkan sekalipun. Janji yang diucapkan seorang Samurai harus ditepati bagaimanapun sulitnya, karena janji bagi seorang Samurai ibarat hutang yang harus dibayar. Penerapan makoto pada masayarakat Jepang dewasa ini terlihat pada seluruh aspek kehidupan masyarakat. Ketidakjujuran dan ketidakbenaran dianggap sebagai hal yang memalukan sehingga ajaran tentang makoto diberikan sejak usia dini di dalam rumah tangga dan sekolah. Sanksi moral yang diberikan masyarakat terhadap pelanggaran makoto merupakan sanksi yang dihindari karena akan merusak nama baik pribadi, keluarga, lembaga atau masyarakat dan bangsa.
ADVERTISEMENT
6. Kehormatan (Meiyo 名誉)
Meiyo merupakan etika Samurai untuk menjaga nama baik dan menjaga kehormatan. Bagi Samurai lebih utama menghormati dan menerapkan etika secara benar dan konsisten dibandingkan dengan penghormatan kepada kharisma dan talenta pribadi. Samurai lebih mementingkan penghormatan pada perbuatan nyata dari pada pengetahuan. Penghormatan yang tinggi seorang Samurai ditujukan kepada atasan/majikan, orang tua dan keluarga. Kehormatan dan harga diri Samurai diekspresikan dalam bentuk konsistensi sikap dan kekokohan mereka memegang dan mempertahankan prinsip kehidupan yang diyakini. Bila seorang Samurai tidak menunjukkan sikap terpuji dan terhormat, maka dia tidak mendapatkan pengehormatan yang layak dari masyarakat. Meiyo dalam keseharian masyarakat Jepang tampak sangat menonjol. Salah satu sikap meiyo adalah menjaga kualitas diri dengan cara tidak membuang-buang waktu untuk hal-hal yang tidak penting dan menghindari perilaku yang tidak berguna. Secara umum di ruang publik kita tidak pernah menemui orang Jepang sedang bersantai tanpa kegiatan atau bergunjing. Dalam keadaan bersantaipun orang Jepang tetap melakukan kegiatan seperti membaca atau mengirim email, membuat catatan atau kegiatan lainnya. Oleh karena itu bangsa Jepang merupakan salah satu bangsa yang gila kerja untuk meraih tingkat kehormatan yang tinggi.
ADVERTISEMENT
7. Loyalitas / Kesetiaan (Chuugi 忠義)
Chuugi merupakan etika Samurai yang berkaitan dengan kesetiaan pada pimpinan. Kesetiaan pada pimpinan dilakukan secara total dan penuh dedikasi dalam pelaksanaan tugas. Kesetiaan dan pembelaan Samurai pada pimpinan/atasan dilakukan sepanjang hayat, dalam keadaan senang atau susah. Puncak pengabdian dan kesetiaan Samurai kepada atasannya adalah ketika Samurai melakukan pembelaan kepada atasan atau pimpinan sampai harus mengorbankan jiwanya. Bagi Samurai kematian yang indah adalah kematian ketika sedang menjalankan tugas dan kewajibannya. Ekspresi Chuugi dalam masyarakat Jepang dewasa ini adalah kesetiaan kepada pimpinan, atasan dan guru. Demi menjaga nama baik dan kehormatan pimpinan, atasan maupun guru, masyarakat Jepang mau bekerja keras semaksimal mungkin. Upayanya dalam bekerja keras adalah selain untuk kesetian dan penghormatan kepada atasan, pimpinan dan guru, juga untuk kehormatan dirinya sendiri. Ajaran Chuugi secara menyeluruh ditanamkan di dalam rumah-tangga dan sekolah sejak usia dini (Suliyati, 2013:8-10).
ADVERTISEMENT
Kaum Samurai pada perkembangannya telah mengembangkan etika dasar yang diyakini dan dilaksanakan selaras dengan perkembangan budaya Jepang dari jaman peralihan sampai jaman modern. Walaupun saat ini Samurai sudah tidak ada dalam struktur masyarakat Jepang, tetapi nilai-nilai bushidou tetap hidup dan telah membawa Jepang mengarungi masa kejatuhan, masa kebangkitan serta masa kejayaan. Etika bushidou yang hidup di lingkungan masyarakat Jepang saat ini telah menjadi landasan pengembangan karakter Jepang sehingga dapat membawa bangsa Jepang menjadi bangsa yang diperhitungkan prestasi politik dan ekonominya oleh masyarakat dunia. Dalam era industri di Jepang dewasa ini etika bushidou juga masih diterapkan secara mendalam, karena pada era setelah restorasi Meiji, para Samurai juga banyak yang berganti profesi sebagai industrialis. Beberapa perusahaan besar bahkan dipimpin oleh keturunan para Samurai sehingga etika bushidou juga tertanam kuat. Beberapa contoh yaitu para industrialis menerapkan system manajemen dengan landasan etika bushidou. Bersikap berani dalam memulai usaha dan bersikap hati-hati, teliti dalam pelaksanaan pekerjaan merupakan etika bushidou yang tidak boleh dilupakan. Etika bushidou yang telah mengalami masa pengendapan dan pematangan pada era isolasi dalam kepemimpinan pada akhirnya menjadi identitas dan karakter nasional bangsa Jepang. Etika bushidou secara nasional dipahahami sebagai etika yang dapat menjamin stabilitas dan kemandirian bangsa serta diimplementasikan secara menyeluruh oleh masyarakat Jepang dari tingkat masyarakat bawah sampai masyarakat lapisan atas. Satu hal yang menjadi dasar dari pelaksanaan etika bushidou adalah keteladanan dari para pemimpin bangsa Jepang. Pada prinsipnya tindakan yang tidak berorientasi pada kepentingan masyarakat umum dan bangsa dianggap tindakan yang tidak terpuji dan merendahkan martabat bangsa.
ADVERTISEMENT
Referensi
Isadi, Renata Pertiwi. 2014. Bushido Pada Perempuan Jepang: Memaknai Nilai-Nilai Bushido Pada Perempuan Jepang Dalam Film Rurouni Kenshin dan Myu No Anyo Papa Ni Ageru. Yogyakarta : Journal Communication Volume 5, Nomor 2.
Nitobe, Izano. 1908. Bushidou: The Soul of Japan. Tokyo : Teribi Printing.
Rahmah, Yuliani. 2018. Nilai-Nilai Bushido Dalam Minwa. Semarang : Universitas Diponegoro Journal.
Suliyati, Titiek. 2013. Bushido Pada Masyarakat Jepang: Masa Lalu dan Masa Kini. Indonesia : Izumi, vol. 1 no.1.