Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Konten dari Pengguna
Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Hijau
23 Agustus 2023 12:19 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Bagas Kurniawan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Memasuki musim kemarau, Ibu Kota Jakarta menghadapi peningkatan serius dalam polusi udara . Hal ini dibuktikan dengan data IQAir yang dirilis pada Jumat (11/8/2023) pukul 14.00, di mana indeks kualitas udara (AQI) mencapai 158.
ADVERTISEMENT
Angka ini menempatkan Jakarta pada peringkat keempat dunia sebagai kota dengan udara paling buruk. Lebih dari itu, Tangerang Selatan, kota tetangga Ibu Kota Jakarta, menyandang predikat AQI terburuk di Indonesia dengan angka 172. Peringkat ini membuatnya menjadi kota dengan kualitas udara terburuk kedua di dunia setelah Dubai.
Menanggapi kondisi ini, pemerintah memiliki peran penting dalam mengambil langkah-langkah mengendalikan polusi udara. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah menargetkan sumber masalah utama, seperti Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara dan penggunaan kendaraan bermotor.
Selain itu, langkah pengurangan polusi atau emisi gas rumah kaca (GRK) menjadi bagian integral dalam memenuhi komitmen Indonesia dalam Perjanjian Paris tahun 2016.
Perjanjian Paris
Indonesia bergabung dengan 170 negara lainnya untuk menandatangani Perjanjian Paris, sebuah tonggak sejarah dalam upaya global mengatasi tantangan yang dihadapi akibat perubahan iklim.
ADVERTISEMENT
Perjanjian Paris, yang menjadi landasan bagi kerja sama internasional dalam perlindungan lingkungan, bertujuan untuk mengurangi GRK dan mengendalikan kenaikan suhu global rata-rata di bawah ambang batas kritis 2 derajat celsius di atas tingkat pra-industri.
Bahkan, perjanjian ini mendorong negara-negara anggotanya untuk berusaha maksimal guna membatasi kenaikan suhu menjadi ambisi 1,5 derajat celsius, menyadari bahwa dampak perubahan iklim yang lebih rendah akan memberikan manfaat yang signifikan bagi ekosistem bumi dan kelangsungan hidup masyarakat.
Sebagai negara kepulauan yang terletak di kawasan rawan bencana alam dan pemanasan global, Indonesia menyadari betapa pentingnya upaya kolektif dalam mengatasi perubahan iklim. Dengan tekad yang kuat untuk berkontribusi secara aktif dalam menjaga keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat, Indonesia menetapkan target ambisius dalam mengurangi emisi GRK.
ADVERTISEMENT
Tanpa syarat, Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi GRK sebesar 29 persen. Namun, sebagai negara berkembang yang memerlukan dukungan internasional dalam upaya melaksanakan langkah-langkah pengurangan emisi, Indonesia juga menetapkan target bersyarat sebesar 41 persen (Bappenas, 2021).
Dukungan dari negara-negara lain dalam mencapai target ini diakui sebagai langkah strategis yang akan membantu Indonesia mengatasi tantangan teknis dan finansial yang terkait dengan pengurangan emisi GRK.
Pengambilan bagian Indonesia dalam Perjanjian Paris adalah wujud komitmen penuhnya untuk menghadapi perubahan iklim secara bertanggung jawab. Pemerintah Indonesia bersama sektor swasta dan masyarakat sipil berusaha melakukan langkah-langkah konkret dan kolaboratif.
Termasuk di dalamnya yaitu pengembangan teknologi terbarukan, peningkatan efisiensi energi, dan pelestarian hutan serta lahan basah. Semua upaya ini adalah bagian dari visi Indonesia untuk mengurangi jejak karbon, mendukung keberlanjutan ekonomi, dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat luas.
ADVERTISEMENT
Salah satu peluang emas yang dapat dimanfaatkan oleh Indonesia adalah melalui karbon trading dan green financing. Dengan memiliki hutan tropis yang luas—yang berfungsi sebagai paru-paru dunia—Indonesia memiliki potensi besar untuk menjual kredit karbon.
Hutan tropis Indonesia berperan penting dalam menyerap karbon dioksida dari atmosfer, yang dapat dihitung dan dijual sebagai kredit karbon di pasar global.
Dalam UN Climate Change Conference (UNFCCC COP 28) pada November tahun ini, Indonesia dapat menarik investasi dalam bentuk green bonds atau obligasi hijau, yang diterbitkan khusus untuk mendanai proyek-proyek hijau seperti energi terbarukan, konservasi hutan, dan pemulihan ekosistem.
Ekonomi Hijau
Di mata dunia, keyakinan akan ekonomi hijau sebagai pilar utama dan masa depan dari ekonomi berkelanjutan semakin kuat. Konsep ekonomi hijau menekankan pada model pembangunan yang berfokus pada pertumbuhan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan, di mana upaya untuk meningkatkan kesejahteraan manusia tidak mengorbankan ekosistem bumi.
ADVERTISEMENT
Namun, perubahan iklim yang terus berlangsung dan kebijakan penanganan perubahan iklim memiliki dampak signifikan pada perekonomian global. Dampak-dampak ini muncul dalam bentuk meningkatnya physical risk dan transition risk bagi perekonomian.
Risiko fisik merujuk pada konsekuensi langsung dari perubahan iklim terhadap aset-aset ekonomi dan infrastruktur. Ketika kejadian cuaca ekstrem menjadi lebih sering dan intens, mereka mengancam aset ekonomi penting seperti lahan pertanian, infrastruktur perkotaan, dan fasilitas industri.
Bencana alam, seperti banjir, angin topan, dan kekeringan, dapat mengganggu rantai pasokan, menghentikan proses produksi, dan menyebabkan kerugian finansial yang besar bagi bisnis dan pemerintah. Tingkat ketahanan investasi dan operasi ekonomi terhadap perubahan iklim semakin teruji akibat meningkatnya risiko fisik ini.
Di sisi lain, risiko transisi muncul akibat perubahan kebijakan, regulasi, dan dinamika pasar yang berakibat dari upaya mitigasi perubahan iklim. Ketika negara-negara berusaha beralih ke ekonomi rendah karbon, mereka mengadopsi kebijakan baru untuk membatasi emisi gas rumah kaca dan memberikan insentif untuk menggunakan sumber energi terbarukan.
ADVERTISEMENT
Meskipun inisiatif-inisiatif ini sangat penting untuk mencapai keberlanjutan jangka panjang, namun mereka dapat menimbulkan tantangan bagi sektor-sektor industri yang sangat bergantung pada bahan bakar fosil atau praktik-praktik berkarbon tinggi.
Perusahaan yang tidak mampu beradaptasi dengan perubahan ini mungkin menghadapi kerugian finansial dan penurunan nilai pasar karena kesulitan mematuhi standar lingkungan yang baru.
Interaksi antara risiko fisik dan risiko transisi menciptakan lanskap yang kompleks bagi bisnis dan pemerintah di seluruh dunia. Pengambil keputusan yang bertanggung jawab dituntut untuk mengembangkan strategi yang kuat untuk menghadapi ketidakpastian ini dengan efektif.
Perlunya menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dengan keberlanjutan lingkungan mengharuskan pendekatan inovatif dan kerja sama di antara para pemangku kepentingan.
Saat dunia berada pada persimpangan jalan, pengakuan akan pentingnya ekonomi hijau dan urgensi penanganan perubahan iklim belum pernah sebesar seperti saat ini. Sehingga memerlukan tindakan kolektif dan komitmen bersama untuk membentuk jalan untuk mempromosikan kemakmuran sambil tetap melindungi bumi bagi generasi mendatang.
ADVERTISEMENT
Transformasi menuju ekonomi hijau bukan hanya merupakan sebuah keharusan, tetapi juga sebuah peluang untuk membentuk masa depan yang lebih tangguh, adil, dan berkelanjutan bagi semua.
Pengembangan EBT menjadi salah satu langkah yang krusial dalam upaya menekan emisi GRK dan mengatasi perubahan iklim. Meskipun ambisi untuk mewujudkan transisi energi menuju sumber terbarukan semakin meningkat, kita dihadapkan pada berbagai tantangan yang kompleks.
Salah satu tantangan yang mencolok adalah masalah finansial. Implementasi dan pengembangan infrastruktur energi terbarukan memerlukan investasi yang besar, termasuk dalam pembangunan pembangkit listrik terbarukan, sistem penyimpanan energi, dan perluasan jaringan listrik yang dapat mendukung pasokan energi berbasis terbarukan secara luas.
Dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia menyebutkan bahwa negara ini membutuhkan sekitar USD 310 miliar untuk mencapai targetnya dalam mengurangi emisi GRK (Bappenas, 2021). Jumlah ini merupakan tantangan yang signifikan, terutama mengingat keterbatasan anggaran pemerintah dan tekanan pada sektor swasta untuk berinvestasi dalam EBT.
ADVERTISEMENT
Selain itu, ada juga tantangan teknis dalam pengembangan EBT. Penggunaan energi terbarukan seperti matahari dan angin bergantung pada faktor alam, seperti cuaca dan musim, yang dapat menyebabkan fluktuasi dalam pasokan energi. Pengembangan teknologi penyimpanan energi yang efisien dan murah menjadi krusial untuk menjaga kestabilan pasokan energi dalam sistem yang mengandalkan sumber energi terbarukan.
Tantangan kebijakan dan regulasi juga dapat mempengaruhi kemajuan pengembangan EBT. Perubahan kebijakan yang tidak konsisten atau kurangnya insentif yang memadai dapat menghambat minat investor dan industri dalam mengadopsi teknologi terbarukan.
Laporan Net Zero Investment in Asia Third Edition dari Asia Investor Group on Climate Change (2022) menyoroti sejumlah hambatan dalam pendanaan ekonomi hijau yang perlu diatasi untuk mencapai target emisi nol netral pada tahun 2050.
ADVERTISEMENT
Hambatan-hambatan tersebut meliputi kurangnya instrumen untuk mengukur dampak hijau, kurangnya permintaan klien terhadap investasi hijau, dan ketidakseimbangan antara peluang dan risiko dalam pendanaan jangka panjang.
Pertama, masalah kurangnya instrumen untuk mengukur dampak hijau menjadi kendala dalam menilai dan memahami dampak nyata dari investasi yang berkelanjutan secara lingkungan. Pengukuran yang tepat dan transparan tentang dampak lingkungan dari investasi dapat membantu para pemangku kepentingan dalam mengambil keputusan yang lebih bijaksana dan berkelanjutan.
Oleh karena itu, diperlukan kerja sama antara sektor swasta, pemerintah, dan lembaga non-pemerintah dalam mengembangkan standar dan metode yang dapat diakui secara internasional untuk mengukur dampak hijau secara lebih efektif.
Kedua, kurangnya permintaan klien terhadap investasi hijau juga menjadi tantangan dalam pendanaan ekonomi hijau. Para investor dan lembaga keuangan perlu merespons permintaan dan keinginan dari pelanggan mereka untuk mendukung investasi yang berkelanjutan.
ADVERTISEMENT
Peningkatan kesadaran dan edukasi tentang manfaat investasi hijau bagi masyarakat dan lingkungan dapat membantu meningkatkan permintaan dan minat terhadap produk investasi berbasis EBT. Kolaborasi antara sektor keuangan dan lembaga-lembaga penyedia layanan dapat berperan dalam membentuk pandangan publik tentang investasi yang berkelanjutan.
Ketiga, ketidakseimbangan antara peluang dan risiko dalam pendanaan jangka panjang menjadi isu yang perlu ditangani. Beberapa investasi berkelanjutan mungkin menghadapi tantangan dan risiko jangka panjang yang lebih besar dibandingkan investasi konvensional.
Penting bagi para pemangku kepentingan untuk bekerja sama dalam mengidentifikasi dan mengelola risiko ini dengan bijaksana. Kolaborasi multipihak, termasuk pemerintah, sektor swasta, akademisi, dan masyarakat sipil, dapat menciptakan kerangka kerja yang lebih stabil dan dapat diprediksi dalam menghadapi risiko dan peluang dalam transformasi menuju ekonomi hijau.
ADVERTISEMENT
Ketika berbagai pihak bergandengan tangan untuk mencari solusi bersama, kita dapat menciptakan lingkungan yang kondusif bagi investasi berkelanjutan dan mendukung perubahan menuju masa depan yang ramah lingkungan.