Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Pilkada dan Ancaman Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Politik
30 Oktober 2024 11:51 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Kurniawati Hastuti Dewi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kampanye sebagai bagian perhelatan Pilkada Serentak 2024 telah dimulai sejak 25 September dan akan berakhir pada 23 November 2024. Salah satu kekhawatiran yang mewarnai kampanye Pilkada Serentak adalah maraknya kekerasan berbasis gender khususnya menyerang calon kepala daerah perempuan. Kekerasan yang menimpa politisi perempuan baik secara offline maupun online juga mewarnai Pemilu pada Feburari 2024 yang lalu.
ADVERTISEMENT
Benang merah persoalan kekerasan terhadap perempuan dalam politik ternyata terus terjadi baik pada Pemilu maupun Pilkada Serentak 2024. Maka dari itu, penting mendiskusikan bagaimana para aktifis dan politisi perempuan mengenali atau mengalami kekerasan terhadap perempuan dalam politik di Indonesia.
Tulisan ini mengulas hasil survei daring oleh Tim Gender dan Politik BRIN (yang terdiri dari Kurniawati Hastuti Dewi, Ari Purwanto Sarwo Prasojo, Ade Latifa, Wahyu Prasetyawan, Nur Iman Subono) terhadap 283 perempuan anggota organisasi non-pemerintah perempuan (disingkat ornop perempuan) berusia 21 tahun/lebih, di 30 Provinsi yang dilakukan menjelang Pemilu 2024 yaitu pada Juni 2023. Survei tersebut menanyakan pandangan dan pengalaman mereka mengenai kekerasan terhadap perempuan yang mencakup: politik elektoral dan non-elektoral. Survei daring dipandu dengan 5 tipologi kekerasan terhadap perempuan dalam politik (violence againts women in politics, VAWP) oleh oleh Krook (2020) yang meliputi: kekerasan fisik, psikologis, seksual, ekonomi, semiotika. Dua Gambar di bawah ini mengilustrasikan hasil survei dalam ranah politik elektoral.
ADVERTISEMENT
Gambar 1. menyajikan hasil survei yang menggambarkan tingkat pemahaman responden mengenai berbagai tindakan yang dianggap sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan dalam konteks politik elektoral. Gambar di atas menunjukkan bahwa mayoritas responden cenderung setuju atau sangat setuju bahwa kelima tindakan yang disebutkan di atas merupakan bentuk kekerasan terhadap perempuan dalam politik. Persentase terbesar untuk jawaban "Sangat Setuju" ada pada tindakan penculikan/pengancaman/kekerasan fisik dengan 63,60%, menunjukkan bahwa tindakan ini dianggap sebagai bentuk kekerasan yang paling jelas dan serius. Di sisi lain, tindakan ancaman seksual/pelecehan dan menyebarkan/menampilkan gambar politisi perempuan yang secara seksual tidak senonoh atau tindakan seksis di media sosial juga memiliki persentase "Sangat Setuju" yang tinggi, berturut-turut sebesar 62,54% dan 61,48%, menyoroti bahwa kekerasan berbasis gender secara online juga dianggap serius oleh banyak responden. Tindakan dengan persentase ketidaksetujuan yang relatif lebih tinggi adalah perusakan alat kampanye/gambar kampanye politisi perempuan, dengan kombinasi "Sangat Tidak Setuju" dan "Tidak Setuju" mencapai 17,67%. Ini menunjukkan bahwa ada sebagian responden yang mungkin tidak sepenuhnya memandang tindakan ini sebagai kekerasan terhadap perempuan dalam politik.
ADVERTISEMENT
Gambar 2. menggambarkan 45 responden yang memiliki pengalaman kontestasi elektoral baik sebagai caleg pada Pemilu 2019, Pemilu 2024 atau mencalonkan sebagai kepala desa/kelurahan. Gambar di atas, menunjukkan bahwa hujatan psikologis atau perendahan psikologis tentang ketidakmampuan berkiprah di politik menjadi peristiwa yang paling banyak dialami oleh responden yang memiliki pengalaman kontestasi elektoral, 26,7% di antaranya kadang-kadang mengalami, 11,1% sering mengalami, bahkan 4,4% mengaku selalu mengalami. Ini menandakan bahwa kekerasan psikologis cukup sering terjadi. Selain itu, pengancaman/kekerasan fisik menjadi peristiwa kedua yang juga banyak dialami oleh responden. Sebesar 22,2% mengakui kadang-kadang mengalaminya dan 2,2% mengakui sering mengalaminya. Hal ini memberikan fakta bahwa kekerasan fisik juga cukup sering terjadi. Peristiwa ketiga yang juga cukup banyak dialami oleh responden adalah perusakan alat kampanye/gambar kampanye.
ADVERTISEMENT
Melalui dua Gambar hasil survei Tim Gender dan Politik BRIN tersebut, dapat diketahui bahwa: (i) kekerasan fisik paling banyak dikenali sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan dalam politik daripada 4 tipologi lainnya; (ii) 3 besar risiko kekerasan terhadap perempuan dalam politik elektoral adalah kekerasan psikologis, fisik, ekonomi.
Berkaca pada data hasil survei oleh Tim Gender dan Politik BRIN tersebut, nyata sekali ancaman mengenai kekerasan terhadap perempuan dalam politik yang sangat mungkin terjadi pada Pilkada Serentak 2024. Diperlukan banyak kajian lanjutan dan data pembuka mata lainnya yang harus terus didiseminasikan agar persoalan kekerasan terhadap perempuan dalam politik tidak dianggap normal.
Pentingnya menaruh perhatian pada masalah ini, bahkan pelapor khusus Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) (United Nations Special Rapporteur 2018) menyatakan bahwa persoalan kurangnya keterwakilan perempuan dalam politik terakit erat persoalan diskriminasi dan juga kekerasan terhadap perempuan dalam politik. Meskipun mungkin kesadaran publik Indonesia mengenai hal ini masih belum tinggi, untungnya organisasi masyarakat sipil terus melakukan advokasi dan pengawalan terhadap hal ini. Secara perlahan lembaga pemerintah juga mulai juga menunjukkan komitment mencegah kekerasan terhadap perempuan dalam politik seperti antara Komnas Perempuan dan Bawaslu RI menandatangani Nota Kesepahaman tentang Pencegahan dan Pemantauan Kekerasan terhadap Perempuan dalam Pemilu dan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota.
ADVERTISEMENT
Pastinya diperlukan kolaborasi multi pihak (pemerintah, organisasi masyarakat sipil, akademisi, media, politisi) untuk terus mengawal dan meningkatkan kesadaran publik tentang persoalan kekerasan terhadap perempuan dalam politik di Indonesia. Mudah mudahan upaya mewujudkan Pilkada Serentak yang bebas kekerasan dan bermartabat dapat terwujud. Semoga!