Konten dari Pengguna

Kristal Lutein Harta Terpendam dari Mikroalga Laut untuk Pengobatan Alami

kusmiati kusmiati
Peneliti Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi - BRIN
7 September 2024 12:31 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
7
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari kusmiati kusmiati tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi bawah laut. Foto: Borja Suarez/REUTERS
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi bawah laut. Foto: Borja Suarez/REUTERS
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Laut kita bercerita tentang keberlimpahan dan keajaiban, keindahannya menyimpan kekayaan alam tak ternilai meliputi berbagai biota laut seperti ikan, padang lamun, terumbu dan karang, serta beragam mikroorganisme termasuk mikroalga.
ADVERTISEMENT
Mikroalga, yang juga dikenal sebagai fitoplankton, adalah organisme mikroskopis yang hidup di air dan tak terlihat oleh mata. Lautan kita menyimpan ribuan jenis mikroalga dengan keragaman yang luar biasa, seperti Chlorella, Arthrospira (dulu dikenal sebagai Spirulina), dan Dunaliella. Setiap spesies memiliki karakteristik unik, baik dalam bentuk, warna, maupun ukuran, serta profil nutrisi yang beragam. Salah satu keunikan dari organisme kecil ini yaitu mampu memenuhi kebutuhan energinya melalui fotosintesis. Selain itu, mikroalga memainkan peran penting dalam ekosistem perairan sebagai produsen utama dalam rantai makanan, sekaligus membantu menyerap CO2, salah satu gas rumah kaca di bumi.
Mikroalga memiliki manfaat besar untuk kesehatan manusia karena menghasilkan nutrisi penting dan senyawa bioaktif yang mampu menyembuhkan penyakit. Aplikasinya sebagai suplemen makanan berperan untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh, mendetoksifikasi, serta menyediakan energi.
ADVERTISEMENT
Penggunaan mikroalga sangat luas, tidak hanya dalam industri makanan dan suplemen, tetapi juga di industri kosmetik, farmasi, dan bahkan sebagai sumber energi terbarukan (biofuel). Hal ini berguna untuk mengurangi ketergantungan manusia pada bahan bakar fosil, menurunkan emisi karbon, dan mendukung keberlanjutan lingkungan di masa depan.
Selain itu, kemampuan mikroalga dalam menghasilkan berbagai pigmen menjadi hal yang menarik bagi ilmuwan untuk menelitinya. Salah satunya pigmen lutein, yaitu pewarna alami berwarna kuning yang ditemukan juga pada tanaman seperti bunga matahari dan kenikir.
Gambar 1. Sel Chlorella vulgaris penghasil lutein yang diamati di bawah mikroskop (Dokumentasi Pribadi).
Selama abad ke-20, peneliti menemukan bahwa lutein adalah salah satu dari lebih dari 600 pigmen alami yang terdapat di alam. Penemuan ini bermula dari analisis kandungan nutrisi dan pigmen dalam mikroalga. Pada tahun 1940, dilaporkan bahwa lutein bersama pigmen alami zeaxantin terakumulasi pada bintik kuning mata dan melindungi mata dari kerusakan akibat sinar biru dan proses oksidasi.
ADVERTISEMENT
Sinar biru memiliki panjang gelombang yang lebih pendek dan energi lebih tinggi, sehingga dapat menembus mencapai retina, dan menyebabkan kerusakan pada sel-sel retina akibat peningkatan produksi radikal bebas. Studi epidemiologi juga menunjukkan bahwa asupan lutein dapat mengurangi risiko katarak dan degenerasi makula yang disebabkan oleh bertambahnya usia.
Pada tahun 1970, ditemukan bahwa mikroalga Chlorella dan Scenedesmus menghasilkan lutein yang lebih banyak dibandingkan yang berasal dari tanaman. Kemudian, pada pertengahan 1980 penggunaan tangki khusus dan kolam terbuka untuk produksi pigmen alami mulai banyak berkembang. Hal ini mendukung untuk memenuhi kebutuhan lutein yang terus meningkat, seiring dengan kesadaran masyarakat akan pentingnya suplemen untuk kesehatan mata dan kulit.
Gambar 2. Kultur mikroalga pada media cair yang mengandung nutrisi untuk memproduksi lutein (Dokumentasi Pribadi).
Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi-BRIN memiliki berbagai jenis mikroalga hasil isolasi dari tanah, batuan candi, perairan tawar, maupun laut. Peneliti Debora C. Purbani bersama tim riset Fikologi berfokus pada eksplorasi yang bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengumpulkan berbagai jenis mikroalga serta menyimpannya sebagai kekayaan biodiversitas Indonesia. Kemudian, ragam mikroalga tersebut akan diuji potensinya, salah satunya sebagai penghasil pigmen lutein.
Gambar 3. (A) Proses ekstraksi kultur mikroalga dengan pelarut organik untuk memisahkan lutein, (B) Ekstrak lutein (Dokumentasi Pribadi).
Tahapan untuk memperoleh pigmen lutein yang dihasilkan mikroalga diawali dengan mengumpulkan biomassa sel dari kultur yang telah mencapai fase pertumbuhan stasioner. Sel-sel mikroalga tersebut dihancurkan, lalu ditambah dengan pelarut organik dan dikocok hingga larutannya pucat. Lapisan kuning yang terbentuk kemudian dipisahkan, dicuci dengan air, dan diuapkan hingga menjadi serbuk kristal lutein.
ADVERTISEMENT
Lutein dari mikroalga laut sangat penting bagi pengobatan modern. Senyawa ini memiliki sifat antiinflamasi yang bisa mengurangi peradangan kronis. Lutein juga bisa berperan sebagai antioksidan yang mampu menetralisir radikal bebas sehingga mencegah kerusakan sel, serta mencegah penyakit kanker dan jantung. Manfaat lain dari lutein adalah membantu fungsi otak dan daya ingat, serta berpotensi mengurangi risiko gangguan menurunnya fungsi syaraf seiring bertambahnya usia.
Dengan banyaknya manfaat yang diberikan, mikroalga dipilih sebagai sumber bioaktif karena pertumbuhannya yang cepat, dapat dibudidayakan sepanjang tahun, dan tidak memerlukan lahan yang luas. Proses budidayanya juga efisien dan tidak tergantung pada musim, yang menjadikannya solusi berkelanjutan untuk masa depan.
Namun, hingga kini penelitian terkait lutein dari mikroalga laut masih terbatas pada beberapa spesies tertentu karena keterbatasan teknologi dan pengetahuan tentang berbagai spesies mikroalga lainnya. Ribuan spesies mikroalga masih belum banyak dieksplorasi, sehingga perlu dilakukan pencarian lebih lanjut untuk menemukan senyawa-senyawa baru yang berpotensi. Selain itu, diperlukan inovasi untuk menekan biaya produksi yang saat ini masih bergantung pada impor bahan baku.
ADVERTISEMENT
Penulis: Kusmiati dan Debora C. Purbani
(Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi - BRIN)