Konten dari Pengguna

Adanya Badan Peradilan Khusus dalam Penyelesaian Sengketa Pilkada

Dzakwan Fadhil Putra Kusuma
Mahasiswa Hukum Tatanegara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2 Juni 2024 0:46 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dzakwan Fadhil Putra Kusuma tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT

Apa itu Badan Peradilan Khusus?

pengadilan yang mempunya kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara tertentu yang hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yang diatur dalam undang-undang.
iustrasi badan peradilan khusus foto :https://www.shutterstock.com/id/image-photo/jakarta-april-2nd-2018-anwar-usman-2460815663

Indikator yang menyebabkan hadirnya Badan Peradilan Khusus

ADVERTISEMENT
Tupoksi Mahkamah konstitusi (MK) kini beralih menjadi bersifat permanen. Hal ini ditegaskan dalam Putusan Nomor 85/PUU-XX/2022 yang dibacakan pada Kamis (29/9/2022). Dalam bunyi putusannya, Mahkamah menyatakan Diksi "sampai dibentuknya badan peradilan khusus" pada Pasal 157 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada) bertentangan dengan UUD 1945.
Menyatakan dalam Provisi, mengabulkan permohonan provisi Pemohon. Dalam Pokok Permohonan, mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Menyatakan frasa "sampai dibentuknya badan peradilan khusus" pada Pasal 157 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Pemilihan ketatanan daerah kini Menjadi Undang-Undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," ucap Ketua MK Anwar Usman membacakan putusan perkara yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) yang diwakili oleh Khoirunnisa Nur Agustyati selaku Ketua Pengurus Yayasan Perludem dan Irma Lidarti selaku Bendahara Yayasan Perludem.
ADVERTISEMENT

Konstruksi Electoral Justice System dan Sejarah Penyelesaian Sengketa Pilkada di Indonesia

Pemilu yang konstitusional mengandung dan diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Unsur tersebut pun melekat dalam penyelenggaraan pilkada secara demokratis. Guna memastikan penyelenggaraan pilkada bernilai konstitusional, pilkada dijalankan dengan menyediakan dan memastikan sistem keadilan pemilu
(electoral justice system), yang mencakup upaya dan mekanisme untuk memastikan bahwa setiap tindakan, prosedur, dan keputusan berkaitan dengan proses pemilu sejalan dengan aturan hukum serta untuk melindungi atau memulihkan hak-hak elektoral, para pihak yang merasa hak elektoralnya dilanggar diberikan jalan untuk mengajukan keberatan, pemeriksaan, dan memperoleh ajudikasi. Pada prinsipnya, electoral justice system berisikan elemen pencegahan pelanggaran dan penyelesaian sengketaguna memastikan bahwa proses electoral tidak menyimpang dari nilai-nilai demokrasi dan guna melindungi hak-hak elektoral.
ADVERTISEMENT
Mekanisme yang ditawarkan dalam electoral justice system dalam menyelesaikan sengketa kepemiluan bergerak pada tiga spektrum:
1. Memperbaiki secara formal atau korektif seperti mengajukan gugatan pemilu yang membatalkan, mengubah, atau mengakui.
2. Memberikan sanksi yang sifatnya punitif, yaitu mengenakan hukuman kepada pelaku, entitas, atau pihak yang bertanggungjawab atas penyimpangan, seperti yang berkaitan dengan administrasi kepemiluan dan pertanggungjawaban pidana
3. Mekanisme alternative untuk penyelesaian sengketa pemilu, yang bersifat sukarela kepada para pihak yang bersengketa dan seringkali bersifat informal.
Melalui mekanisme electoral justice system, terdapat jaminan bahwa setiap pelanggaran atau pencorengan terhadap integritas dan keadilan pemilu memiliki mekanisme penyelesaian dan pemulihan, baik secara formal maupun secara informal. Desain electoral justice system dibentuk sedemikian rupauntuk mencapai setidak-tidaknya dua objektif, yaitu:
ADVERTISEMENT
(1) mencegah dan mengidentifikasi penyimpangan hukum kepemiluan
(2) menyediakan cara-cara dan mekanisme yang tepat untuk memperbaiki penyimpangan dan/atau menghukumkan pelaku.
kerangka electoral justice system yang komprehensif dan integral merupakan elemen kunci bagi agenda reformasi kepemiluan. Sebab sistem ini akan menentukan kredibilitas dan legitimasi dari proses elektoral di setiap tahapan yang akan berujung pada kemurnian hasil pemilu. Kemurnian hasil pemilu bertalian dengan pengejawantahan prinsi-prinsip pemilu yang berkeadilan dan berintegritas.
Perlu disadari, pertaruhan politik dan personal dalam pemilu sangatlah tinggi, sehingga dapat mengantarkan pihak-pihak untuk melakukan tindakan yang dipertanyakan integritasnya, termasuk perilaku pribadi yang tidak etis yang bertujuan untuk mempengaruhi hasil pemilu. Oleh karena itu, diperlukan standar untuk menjaga integritas pemilu dan proses pemilu pun harus dilakukan berdasarkan prinsip dan nilai yang menjamin pemilu yang bebas dan adil.
ADVERTISEMENT
Pelaksanaan wewenang penyelesaian sengketa hasil pilkada oleh MK selama ini telah memberikan sejumlah signifikasi dalam penegakan keadilan substantif, meskipun terdapat sejumlah catatan dalam pelaksanaannya.
Preseden progresif putusan MK menjadi kekuatan bagi MK sebagai otoritas yang berwenang memeriksa dan menangani sengketa hasil pilkada. Paradigma untuk membentuk lembaga baru ketika setitik problema muncul di suatu lembaga negara semestinya tidak dapat selalu dijadikan justifikasi.
Progesitivitas MK dapat ditemukan dalam sejumlah putusan, misalnya ketika MK melepaskan title dirinya sebagai “Mahkamah Kalkulator” untuk menghadirkan keadilan yang bersifat substantif. MK terdahulu disebut “Mahkamah Kalkulator” karena hanya menilai kesesuaian proses penetapan hasil penghitungan suara peserta pemilu oleh penyelenggara,tidak mencakup pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran yang terjadi dalam proses pelaksanaan pemilu. Paradigma ini terkikis seiring dengan pertimbangan hakim dalam Putusan Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah Jawa Timur Tahun 2008 yang memerintahkan pemungutan suara ulang di dua kabupaten (Kabupaten Bangkalan dan Kabupaten Sampang)
ADVERTISEMENT
penghitungan suara ulang di Kabupaten Pamekasan karena dinilai telah terjadi pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif. Putusan ini menjadi kali pertama MK memerintahkan pemungutan suara ulang dan penghitungan suara ulang. Langkah tersebut ditempuh karena berangkat dari keyakinan bahwa MK bukanlah “mahkamah kalkulator” yang dapat dikukung oleh penafsiran sempit undang-undang, melainkan merupakan penjaga konstitusi dan nilai-nilai demokrasi, sehingga harus menegakkan keadilan pemilu.

Relevansi Badan Peradilan Khusus dalam penyelesaian sengketa Pilkada

Putusan MK Nomor 97/PUU-XI/2013 dan pengaturan dalam Pasal 157 ayat (1) UU 10/2016 memberikan implikasi hukum yang signifikan bagi pembentuk undang-undang untuk membentuk badan lain yang berwenang menyelesaikan sengketa hasil pilkada. Badan peradilan khusus penyelesaian sengketa tersebut harus dibentuk sebelum Pilkada Serentak Tahun 2024. Bentuk yang dikehendaki oleh UU 10/2016 adalah badan peradilan yang khusus, artinya lembaga tersebut tetap berada di bawah kekuasaan kehakiman, khususnya di bawah MA, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 1 angka 8 UU
ADVERTISEMENT
48/2009. Artinya, Putusan MK dan UU 10/2016 tersebut kembali mengalihkan penanganan sengketa hasil pilkada ke MA dengan membentuk kamar peradilan khusus. Namun demikian, selama adanya kekosongan lembaga yang mengadili perkaraa quo, MK masih berwenang mengadili perselisihan hasil pilkada sampai pembentuk undangundang membentuk badan peradilan khusus tersebut.
Perhelatan Pilkada Serentak Tahun 2024 hampir di depan mata, penyempurnaan aspek kelembagaan penegakan hukum pilkada harus dilakukan sedini mungkin, termasuk menentukan kepastian hukum tentang lembaga yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa hasil pilkada. Bab ini berupaya untuk menakar seberapa perlu badan peradilan khusus penyelesaian sengketa pilkada dibentuk. Berdasarkan aspek historis dan perkembangan penyelesaian sengketa hasil pilkada dan penafsiran terbaru MK terhadap rezim pemilu dan pilkada, badan peradilan khusus tak lagi relevan untuk dibentuk, melainkan sengketa hasil pilkada semestinya tetap diselesaikan di MK.
ADVERTISEMENT