Konten dari Pengguna

Sistem yang Eksklusi Sebuah Ironi Meritokrasi dan Pengabaian Terhadap Konstitusi

Dzakwan Fadhil Putra Kusuma
Mahasiswa Hukum Tatanegara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
11 Januari 2025 18:02 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dzakwan Fadhil Putra Kusuma tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Polemik terkait kebijakan seleksi pegawai Kejaksaan Agung yang mengecualikan lulusan hukum Islam dari Universitas Islam Negeri (UIN) kembali menimbulkan pertanyaan besar tentang komitmen institusi negara terhadap prinsip meritokrasi dan konstitusi. Kebijakan tersebut tidak hanya diskriminatif, tetapi juga mengabaikan nilai-nilai kesetaraan yang dijamin UUD 1945.
ADVERTISEMENT
Sebagai negara hukum, Indonesia menjunjung tinggi asas keadilan, termasuk dalam memberikan kesempatan yang sama kepada setiap warga negara. Namun, kebijakan ini justru mencerminkan eksklusivitas yang hanya menguntungkan lulusan fakultas hukum dari universitas tertentu. Mengapa lulusan hukum Islam dari UIN, yang telah menguasai hukum positif dan hukum Islam, tidak diberi kesempatan yang sama untuk bersaing?
sumber: Foto oleh RDNE Stock project: https://www.pexels.com/id-id/foto/hitam-dan-putih-hitam-putih-hitam-putih-hitam-putih-7978836/
Meritokrasi yang Dilupakan
Meritokrasi, sebuah prinsip yang mengutamakan kompetensi individu, tampaknya hanya menjadi slogan kosong dalam praktik seleksi di Kejaksaan. Kebijakan ini menutup pintu bagi lulusan UIN tanpa memberikan mereka kesempatan untuk menunjukkan kemampuan mereka. Bukankah lebih adil jika seleksi dilakukan berdasarkan ujian yang objektif, alih-alih membatasi berdasarkan asal institusi pendidikan?
Lulusan hukum Islam dari UIN memiliki kelebihan unik. Mereka tidak hanya memahami hukum positif yang menjadi dasar sistem hukum di Indonesia, tetapi juga memiliki wawasan mendalam tentang hukum Islam, yang telah diintegrasikan ke dalam hukum nasional. Pengetahuan ini merupakan aset penting dalam menangani kasus-kasus yang berkaitan dengan masyarakat mayoritas Muslim namun, dengan kebijakan eksklusif ini, Kejaksaan justru mengabaikan potensi besar ini. Ini bukan hanya pelanggaran terhadap prinsip meritokrasi, tetapi juga pengerdilan terhadap nilai-nilai keberagaman dalam sistem hukum nasional bagi lulusan UIN, kebijakan ini adalah bentuk diskriminasi terang-terangan yang merugikan mereka secara konstitusional. Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 dengan jelas menyatakan bahwa setiap warga negara berhak atas pekerjaan yang layak. Pasal 28D ayat (1) juga menegaskan hak atas perlakuan yang adil dalam sistem hukum dan pemerintahan.
ADVERTISEMENT
Namun, kebijakan ini menciptakan batasan artifisial yang menghalangi mereka untuk bersaing. Hak mereka untuk diakui secara profesional sebagai lulusan yang kompeten telah dirampas. Bahkan, gelar akademik yang mereka peroleh dengan susah payah seolah dianggap tidak bernilai hanya karena berasal dari institusi pendidikan Islam.
Eksistensi Hukum Islam yang Direduksi
Lebih jauh, kebijakan ini secara tidak langsung mereduksi eksistensi hukum Islam dalam sistem hukum nasional. Hukum Islam, yang telah menjadi bagian dari hukum positif Indonesia, mencerminkan nilai-nilai keadilan universal yang relevan dalam kehidupan bermasyarakat. Lulusan hukum Islam dari UIN dipersiapkan untuk memahami dan mengimplementasikan kedua sistem hukum ini kebijakan eksklusi ini menunjukkan bahwa institusi negara belum sepenuhnya menerima keberadaan hukum Islam sebagai pilar penting dalam sistem hukum nasional. Ini adalah ironi besar di negara yang mayoritas penduduknya adalah Muslim dan memiliki sistem hukum yang mengakui hukum Islam dalam berbagai bidang, seperti hukum keluarga dan perbankan syariah.
ADVERTISEMENT
Salah satu pertanyaan besar yang muncul adalah mengapa Kejaksaan begitu takut membuka seleksi untuk lulusan hukum Islam dari UIN? Jika mereka benar-benar percaya pada prinsip meritokrasi, bukankah lebih logis untuk menguji kompetensi setiap kandidat melalui proses seleksi yang transparan dan adil?
Mengutamakan asal institusi pendidikan hanya menunjukkan ketidakpercayaan terhadap sistem pendidikan tinggi di Indonesia. Padahal, sebagai negara yang menjunjung tinggi keadilan, setiap lulusan yang diakui negara seharusnya memiliki kesempatan yang sama untuk membuktikan kemampuannya.