Korupsi Bantuan Sosial 'Eks Menteri Sosial' : Timpang Hukum dan Kuasa

Kyla
Undergraduate Law Student at Universitas Indonesia
Konten dari Pengguna
13 Desember 2022 13:29 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Kyla tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Juliari Batubara | Sumber: Kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Juliari Batubara | Sumber: Kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Era pandemi membawa dampak kehancuran bagi sebagian orang, hal ini dikarenakan hampir seluruh sektor perekonomian dalam lapisan masyarakat 'tiarap' menghadapi keadaan ini, puncaknya sekitar bulan Juni sampai September 2021. Tidak hanya bidang ekonomi, setidaknya COVID-19 juga mengacaukan bidang-bidang lain seperti kesehatan, pendidikan, dan pariwisata.$ $ Melihat kehancuran di beberapa sektor tersebut, Pemerintah DKI Jakarta menyediakan bantuan sosial kepada masyarakat yang terdampak melalui bantuan keuangan, bantuan langsung tunai bahan bakar minyak ("BLT BBM"), daya gratis seperti pembatalan tagihan listrik, penghematan energi serta pengurangan biaya, dan bantuan Kartu Pra-Kerja bagi masyarakat yang terkena PHK termasuk subsidi gaji.
ADVERTISEMENT

Kilas Balik Pandemi Covid-19

Berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 63 Tahun 2017 tentang Penyaluran Bantuan Sosial Secara Non Tunai, yang dimaksud bantuan sosial adalah berupa uang, barang, atau jasa kepada kelompok atau masyarakat miskin, tidak mampu, dan/atau rentan terhadap resiko sosial.$ Resiko sosial merupakan kejadian yang dapat menimbulkan potensi terjadinya kerentanan sosial yang ditanggung sebagai dampak krisis sosial, krisis ekonomi, krisis politik, fenomena alam, dan bencana. Dalam kata lain, seluruh pemberian bantuan sosial perlu dipertanggungjawabkan porsinya sesuai dengan ketentuan yang berlaku sebagai bentuk resiko sosial terhadap fenomena yang terjadi di masyarakat, yaitu Covid-19. Oleh karena itu, yang memberikan bantuan sosial sebagai bagian dari tugasnya harus dapat menanggulangi kesulitan ekonomi, serta memberikan upaya perlindungan sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan rehabilitasi sosial.
ADVERTISEMENT

Uluran Tangan Menteri Sosial, Juliari Batubara

Alih-alih memberikan bantuan, mantan Menteri Sosial Kabinet Indonesia Maju, Juliari Peter Batubara malah meraup hak masyarakat. Pada 6 Desember 2020, Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Juliari Batubara sebagai tersangka kasus korupsi dana bantuan sosial COVID-19 daerah Jabodetabek, kasus ini terkuak dalam operasi tangkap tangan oleh KPK. $ Keuntungan yang diterima Juliari sebesar Rp12Miliar pada periode pertama dan Rp8,8Miliar pada periode kedua.$ Juliari terjerat dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Pada Agustus 2021, Juliari divonis 12 tahun penjara dan denda Rp500juta.
Di masa yang menyulitkan ini, oknum pejabat negara malah melakukan perbuatan curang yang terang-terangan menyalahgunakan jabatannya untuk suatu kepentingan yaitu memperkaya diri, padahal seharusnya seorang Menteri Sosial melindungi hak-hak warga negaranya, dalam hal ini ialah dengan tidak menyebabkan kerugian bagi masyarakat. Ditinjau dari latar belakang terjadinya kasus ini tidak lain karena keserakahan, amoralitas, dan ambisi yang dimiliki sebagai seorang pejabat negara yang berkuasa. Kasus ini berjalan sedemikian lancar disebabkan oleh kekacauan sistem pendataan penerima bansos, proses penyaluran dana yang tidak teratur, dan kurangnya pengawasan serta kebijakan dari pemerintah. Dengan demikian, upaya yang dapat dilakukan terhadap regulasi pemerintah adalah dengan menyediakan langkah preventif yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pengawas tindak pidana korupsi (KPK) dan lebih memperhatikan integritas pribadi setiap individu yang hendak mendaftar sebagai pejabat negara.
ADVERTISEMENT

Lebih dalam Menilai Peran Hukum terhadap Vonis Juliari Batubara

Korupsi yang kini dinormalisasikan sebagai suatu budaya bangsa, pada dasarnya bersumber dari maraknya kasus korupsi yang telah mendarah daging sejak lama di Indonesia. Tindak pidana korupsi meruntuhkan bidang ekonomi dan bidang hukum, adapun perwujudan dalam bidang ekonomi adalah ketika suatu kasus korupsi merugikan pertumbuhan ekonomi dan investasi negara sehingga berdampak lebih jauh terhadap pembangunan nasional. Sedangkan perwujudan dalam bidang hukum, korupsi akan membuat masyarakat hilang kepercayaan terutama jika korupsi dilakukan oleh pejabat pemerintahan, hal ini mengakibatkan turunnya penilaian masyarakat terhadap pemerintah yang gagal dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya.
Kasus korupsi yang telah terungkap ini ternyata terlihat janggal, seperti pengungkapan yang diberikan oleh tersangka tidak menyeluruh sampai penyidik KPK dipermasalahkan atas tuduhan pelanggaran etik. Keseluruhan penyidikan hingga hasil keputusan pengadilan pun dinilai kurang maksimal. Pada awalnya $ jaksa penuntut umum KPK menghukum Juliari dengan 11 tahun penjara dan denda Rp500juta subsidair 6 bulan kurungan, namun kemudian dalam sidang putusan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) menetapkan vonis pokok berupa hukuman 12 tahun penjara dan denda Rp500juta subsidair 6 bulan kurangan serta vonis tambahan membayar uang pengganti sebesar Rp14,5miliar subsidair 2 tahun penjara dan pencabutan hak politik selama 4 tahun setelah menjalani vonis pidana pokok$ .
ADVERTISEMENT
Meski setahun lebih berat dari hukuman awal tetapi seharusnya bagi koruptor dengan nilai korupsi diatas Rp32miliar seharusnya mendapat hukuman penjara diatas 20tahun. $ Ditambah hasil putusan bagi para penyedik KPK yang dinilai melanggar kode etik dan pedoman perilaku: yakni Praswad Nugraha mendapat potongan gaji 10% selama 6 bulan dan Nur Prayoga teguran tertulis berlaku 3 bulan$ . $ Adapun tambahan hal meringankan bagi Juliari adalah mendapat perundungan (bully) berupa cacian publik, dimaki, dihina oleh masyarakat sebelum hukum menentukan dirinya bersalah$ . Hal inilah yang menjadi pusat perhatian masyarakat karena sanksi sosial dianggap sebagai hal yang wajar dan tidak perlu dimasukkan ke dalam hasil putusan. Pendapat ini diperkuat oleh para pakar hukum yang mengatakan bahwa sepanjang sejarah peradilan di Indonesia, hakim tidak pernah menggunakan cercaan masyarakat terhadap terdakwa sebagai alasan untuk meringankan hukuman, menurutnya terdakwa dapat mendapat keringan hukuman jika melakukan perbuatan positif bagi oranglain atau membantu membongkar suatu perkara.
ADVERTISEMENT

Kesimpulan

Memang tidak mudah menghilangkan penyakit korupsi bagi setiap negara, di Indonesia sendiri pemberantasan kasus korupsi telah dilakukan dengan berbagai macam cara namun tetap terulang lagi sehingga tetap meninggalkan kerugian. Disitulah kita membutuhkan hukum sebagai pemberi batasan atau rambu-rambu dalam bersikap tindak dan dalam melayangkan hukuman pidana sesuai dengan kasusnya masing-masing. Meskipun realitanya dapat kita lihat melalui kasus ini bahwa hukum di Indonesia masih sangat lemah, di mana orang bersalah malah tidak mendapat hukuman sesuai perbuatannya dan orang pencari keadilan sangat susah menemukan keadilan yang tidak memihak. Menanggapi kasus tersebut, penegakan hukum sebagai jalan keluar dari permasalahan ini haruslah gigih dalam membersihkan keseluruhan Indonesia dari kolusi, korupsi, dan nepotisme.