Konten dari Pengguna

Korupsi: Sejarah dan Ideologi

Kyntan Palupi
Saat ini bekerja sebagai Aparatur Hukum di salah satu Pengadilan Negeri di Indonesia. Lulusan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
3 Oktober 2024 10:48 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Kyntan Palupi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi korupsi. Foto: Shutter Stock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi korupsi. Foto: Shutter Stock
ADVERTISEMENT
Mendengar kata “korupsi” pada saat ini bukanlah suatu kata yang asing atau bukan pula sebuah kata yang cukup sulit untuk diartikan sehingga harus memerlukan usaha lebih untuk mengartikan satu kata tersebut. Banyaknya berita tentang praktik tindak pidana korupsi, seakan mempertontonkan tentang banyaknya praktik korupsi yang terjadi di Indonesia – bukan berarti berita korupsi selalu dipandang sebagai hal negatif.
ADVERTISEMENT
Namun “kuantitas” pemberitaan yang terjadi seakan menunjukkan kondisi permisif dalam masyarakat. Mimpi buruk dalam bangsa apabila tindak pidana korupsi sudah dipandang sebagai suatu kewajaran atau kelumrahan dalam suatu bangsa, “ah biasa aja korupsi, memang untuk menjadi aparat harus dengan uang.”
Pandangan yang berubah menjadi stigma tentang korupsi, mau tidak mau memberikan dampak negatif pula kepada pihak-pihak yang menyertainya – Aparatur Sipil Negara (ASN). Kondisi tanggung renteng tersebut adalah konsekuensi logis yang harus dihadapi oleh ASN yang setiap hari bergelut dengan sumber pendanaan yang berasal dari negara.

Sejarah Korupsi di Indonesia

Berbicara tentang korupsi, pertanyaan yang akan timbul tentang “Mengapa korupsi bisa terjadi?” atau “Apa yang melatarbelakangi tindak pidana korupsi?” Melihat kondisi korupsi yang sudah sangat mengakar di Indonesia, satu hal yang perlu dipahami mengenai sejarah korupsi di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Sejarah korupsi di Indonesia pada dasarnya dibagi dalam dua fase yaitu pra kemerdekaan (zaman kerajaan dan penjajahan) dan fase kemerdekaan (zaman orde lama, orde baru, dan orde reformasi hingga saat ini). Fase pra kemerdekaan dibagi atas dua yaitu masa kerajaan-kerajaan dan masa penjajahan.
Fase ini sebenarnya dijelaskan bahwa watak “korup” yang selama ini melekat pada diri masyarakat Indonesia sudah tertanam bahkan jauh sebelum adanya campur tangan dari pihak luar – penjajah. Watak tersebut ditunjukkan dengan beberapa kondisi di antaranya adalah: adanya kecenderungan untuk keinginan berkuasa karena dengan kekuasaan seseorang dapat dengan mudah untuk memberikan pengaruh kepada sekelompok orang, adanya pemahaman bahwa setiap pemimpin harus “dilayani” oleh masyarakat saat itu, serta watak-watak oportunis lainnya.
ADVERTISEMENT
Adanya kecenderungan bibit watak korup yang dasarnya sudah tertanam dalam sebagain “diri” bangsa Indonesia diperparah dengan adanya campur tangan dari luar – penjajah. Lantas, apa yang dimaksud dengan campur tangan dalam konteks budaya korupsi di Indonesia? Campur tangan yang dimaksud merujuk pada pelbagai contoh yang diberikan oleh bangsa asing, sehingga memupuk watak korup untuk berkembang dan menjadi lebih sistemik.
Peran serta asing pada pemupukan watak korup ini adalah dengan mengenalkan sistem yang korup sehingga masyarakat Indonesia atau pribumi yang sebelumnya hanya melakukan praktik korupsi secara sporadik – hanya dilakukan oleh orang dengan kuasa besar – menjadi terpapar dengan adanya praktik korupsi yang lebih sistematis yaitu praktik korupsi yang dilakukan dalam suatu sistem. Sebenarnya dasar sejarah ini sudah dapat dijadikan justifikasi atas pertanyaan, mengapa pada pasca kemerdekaan Indonesia korupsi tetap terjadi?
ADVERTISEMENT

Ideologi

Selain adanya dasar sejarah yang dapat dijadikan justifikasi atas adanya pertanyaan mengenai maraknya praktik korupsi di Indonesia, ideologi juga menjadi salah satu penyebab maraknya praktik korupsi pada era ini. Permasalahan tidak terletak pada ideologinya tetapi pada proses implementasi ideologi tersebut yang tidak sesuai dengan mandat yang diamatkan.
Ideologi yang dalam hal ini diartikan sebagai dasar norma negara (staatfundamentalnorm) merujuk pada Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dua ketentuan tersebut menjadi rujukan sekaligus batu pijak bagi setiap langkah yang akan diambil oleh pemerintahan di Indonesia.
Secara praktis, dengan adanya staatfundamentalnorm yang telah dimiliki oleh Indonesia, dapat dengan mudah menjadi pedoman bagi setiap orang untuk menjalankan peran dan fungsinya masing-masing. Dalam dua ketentuan tersebut sudah dijelaskan tentang ideologi negara serta “preferensi” negara dalam menjalankan tugasnya.
ADVERTISEMENT
Namun faktanya, dua ketentuan tersebut tidak secara maksimal digunakan sebagai pedoman oleh sebagian orang dan sialnya sebagian orang tesebut adalah pemangku kepentingan yang mana setiap “decision” yang dibuat akan sangat berpengaruh bagi bangsa Indonesia. Para pemimpin yang menjalankan peran strategis dalam pemerintahan terkadang lupa untuk menggunakan cara pandang yang didasarkan atas staatfundamentalnorm tersebut, sehingga berdampak pada kekeliruan pemimpin untuk menentukan tindakan yang berujung pada tindakan korupsi.
Dalam upaya mengatasi permasalahan laten korupsi yang terjadi pada suatu sistem dalam suatu negara, kiranya perlu untuk memahami dan menanamkan kembali definisi korupsi secara holistik–tidak hanya mengenai arti korupsi secara bahasa-tetapi juga memahami alasan yang sangat mendasar tentang mengapa korupsi bisa terjadi. Dengan pemahaman tersebut, diharapkan setiap orang terlebih Aparatur Sipil Negara dapat mengambil pelajaran dan mengambil upaya preventif sebagai cara dalam menghindari tindak pidana korupsi.
ADVERTISEMENT