Konten dari Pengguna

Aku Hidup Dimana Guru Miskin Menerangkan, Sementara Pejabat Kaya Menggelapkan

L Ya Esty Pratiwi
AKADEMISI Dosen Fakultas Hukum UMSurabaya Mediator Indonesia Praktisi Hukum
16 Maret 2025 14:19 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari L Ya Esty Pratiwi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
sumber gambar ilustrasi : sutterstock
zoom-in-whitePerbesar
sumber gambar ilustrasi : sutterstock
ADVERTISEMENT
Selamat datang di negeri di mana kejujuran hanyalah dongeng sebelum tidur dan integritas hanya slogan di baliho pemilu. Di sini, seorang guru yang mengabdikan diri untuk mencerdaskan bangsa harus berpikir dua kali sebelum membeli beras, sementara pejabat dengan jas mahal dan senyum palsu bisa dengan santai menggelapkan miliaran tanpa merasa berdosa. Negeri ini memang luar biasa, tapi bukan dalam arti yang membanggakan.
ADVERTISEMENT
Di negeri ini, kemewahan adalah hak istimewa bagi mereka yang pandai bermain kata-kata dan pintar bersilat lidah. Mereka yang menyebut diri “wakil rakyat” ternyata lebih suka mewakili kepentingan perut sendiri ketimbang rakyat yang memilih mereka. Lihatlah bagaimana mereka bersidang dengan gagah di ruang ber-AC, sesekali mengantuk, sesekali bermain ponsel, atau bahkan asik bermain “candy crush”, sementara di luar sana rakyat menjerit karena harga kebutuhan pokok yang kian menggila. Mereka hanya peduli pada angka-angka yang mengisi rekening mereka, bukan pada angka kemiskinan yang terus melonjak.
Ironi terbesar adalah ketika kita melihat seorang guru honorer yang gajinya tak seberapa masih harus memikirkan bagaimana membayar ongkos ke sekolah. Mereka tetap berdiri tegap, mengajar dengan penuh semangat, meski tahu bahwa masa depan mereka sendiri tak secerah yang mereka janjikan kepada murid-muridnya. Sementara itu, seorang pejabat yang korup malah mendapat kehormatan, digelari “tokoh masyarakat,” meskipun tangannya penuh dengan noda uang haram. Bahkan, tak jarang mereka mendapat panggung besar dalam acara-acara televisi, seolah-olah mereka adalah panutan yang patut ditiru.
ADVERTISEMENT
Ah, jangan lupakan para penguasa hukum kita! Mereka yang seharusnya menjadi benteng keadilan justru lebih sering bertindak sebagai juru selamat bagi para koruptor. Ada yang tertangkap basah menyuap? Jangan khawatir, tinggal berakting sakit, pakai kursi roda, dan pura-pura stroke. Dalam waktu singkat, pintu kebebasan akan terbuka lebar. Tapi kalau rakyat kecil mencuri karena lapar? Tidak ada keringanan, hukum ditegakkan sekeras mungkin. Bukankah hukum memang dibuat untuk ditafsirkan sesuai kebutuhan? Kita hidup di negeri di mana hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas.
Mungkin itulah sebabnya para koruptor tidak pernah benar-benar takut. Mereka tahu, penjara bagi mereka hanyalah tempat singgah sementara, sebelum kembali menikmati hasil rampokan mereka. Lihat saja betapa mewahnya fasilitas di dalam penjara untuk mereka yang punya uang. Sementara itu, tahanan miskin harus bertahan dalam sel sempit yang pengap dan kotor. Tidak ada yang perlu ditakuti jika hukuman bisa dibeli, bukan?
ADVERTISEMENT
Jangan heran jika anak-anak muda negeri ini semakin pesimis. Mereka tumbuh dengan melihat betapa kejujuran hanyalah bahan olok-olokan. Mereka diajari untuk bekerja keras, tapi setiap hari disuguhi berita bahwa yang sukses justru mereka yang pintar mencuri dengan rapi. Jangan salahkan generasi penerus jika mereka lebih tertarik menjadi influencer dadakan daripada menjadi ilmuwan atau pendidik, karena nyatanya, negara ini lebih menghargai kepalsuan daripada kecerdasan. Sementara anak muda dari negara lain berjuang untuk menciptakan teknologi baru, anak muda di negeri ini sibuk mencari jalan pintas menuju ketenaran.
Dan di tengah semua kebobrokan ini, para pejabat tetap duduk nyaman di kursi empuknya, sibuk merancang proyek-proyek fiktif dengan anggaran selangit. Mereka mungkin sesekali mengucapkan kata “rakyat” dalam pidatonya, tetapi percayalah, mereka hanya mengingat rakyat saat butuh suara di pemilu. Setelahnya? Rakyat hanyalah angka statistik dalam laporan tahunan. Yang mereka pedulikan hanyalah bagaimana membangun dinasti politik, memastikan kursi mereka tetap aman, dan menjamin anak cucu mereka bisa menikmati kekayaan haram yang mereka kumpulkan.
ADVERTISEMENT
Ketika rakyat protes? Mereka segera menyebar janji manis, menampilkan wajah penuh kepedulian di media. Tapi, begitu kamera dimatikan, kepedulian itu lenyap bersama suara rakyat yang terlupakan. Demonstrasi mahasiswa? Hanya dianggap angin lalu, atau malah dihadapi dengan gas air mata. Kritik dari akademisi? Langsung dicap sebagai ancaman bagi stabilitas negara. Di negeri ini, kejujuran dianggap sebagai masalah, sementara korupsi dipandang sebagai strategi bertahan hidup.
Bahkan agama pun tak luput dari permainan mereka. Korupsi dibungkus dengan dalih amal, dana sosial, atau sumbangan. Pejabat yang jelas-jelas mencuri uang rakyat masih bisa dengan santai berdiri di mimbar masjid, berbicara soal keadilan dan kebaikan. Seolah-olah doa dan ibadah bisa mencuci dosa korupsi mereka. Seolah-olah rakyat bisa dibodohi dengan ayat-ayat yang mereka putar sesuai kepentingan.
ADVERTISEMENT
Jadi, aku hidup di mana? Di negeri di mana guru miskin menerangkan, sementara pejabat kaya menggelapkan. Di negeri di mana kejujuran adalah bahan tertawaan, sementara korupsi menjadi jalan pintas menuju kemewahan. Jika ini adalah negeri demokrasi, maka mungkin aku belum cukup pintar untuk memahami artinya. Karena yang aku lihat hanyalah oligarki yang menyamar dengan senyum palsu dan janji kosong.
Dan di negeri ini, kita hanya bisa berharap. Berharap bahwa suatu hari nanti, kejujuran tidak lagi menjadi bahan ejekan. Berharap bahwa suatu hari nanti, pejabat yang jujur benar-benar ada, bukan hanya dalam mimpi. Berharap bahwa suatu hari nanti, hukum akan benar-benar berlaku adil bagi semua. Ah, tapi nyatanya harapan itu semakin lama semakin tipis, semakin jauh, dan semakin sulit dijangkau.
ADVERTISEMENT
Atau mungkin, harapan itu sudah mati sejak lama. Hanya kita yang terlalu bodoh untuk menyadarinya.