Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
DPR vs MK: Menilai Kredibilitas dalam Kontroversi Aturan Pilkada
26 Agustus 2024 17:11 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari L Ya Esty Pratiwi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) di Indonesia merupakan salah satu elemen vital dalam sistem demokrasi yang memberikan hak kepada rakyat untuk memilih pemimpin di tingkat daerah. Namun, proses Pilkada sering kali dikelilingi oleh kontroversi, terutama terkait dengan aturan yang mengatur pelaksanaan pemilihan tersebut. Dalam hal ini, dua lembaga negara, yakni Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Mahkamah Konstitusi (MK), memainkan peran yang sangat signifikan. DPR bertugas dalam pembuatan dan pengawasan undang-undang yang mengatur Pilkada, sedangkan MK berfungsi sebagai pengawal konstitusi yang menyelesaikan sengketa terkait aturan Pilkada. Kontroversi sering kali muncul ketika terdapat ketidaksesuaian antara aturan yang ditetapkan oleh DPR dan penegakan hukum yang dilakukan oleh MK.
ADVERTISEMENT
Sebagai lembaga legislatif, DPR memiliki tanggung jawab utama dalam proses pembuatan undang-undang yang mengatur berbagai aspek pemerintahan, termasuk Pilkada. Proses legislasi DPR dimulai dari inisiatif untuk merancang undang-undang, yang kemudian dibahas dan disetujui oleh anggota DPR. Dalam konteks Pilkada, DPR bertugas untuk menyusun aturan yang mencakup berbagai aspek teknis, administratif, dan hukum dari pemilihan kepala daerah. Aturan ini mencakup prosedur pemilihan, syarat calon, dan mekanisme penyelesaian sengketa.
Namun, kontroversi sering muncul ketika aturan yang ditetapkan DPR dianggap tidak memenuhi prinsip-prinsip demokrasi atau mengandung unsur-unsur yang bisa menguntungkan pihak tertentu. Misalnya, ada kritik yang menyebutkan bahwa beberapa undang-undang Pilkada yang disahkan oleh DPR tidak cukup transparan atau adil dalam pelaksanaannya. Beberapa aturan mungkin dianggap tidak konsisten dengan prinsip-prinsip konstitusi atau hak asasi manusia, sehingga menimbulkan ketidakpuasan di kalangan publik dan peserta Pilkada.
ADVERTISEMENT
Studi kasus seperti perubahan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, yang memuat aturan baru tentang pemilihan kepala daerah secara serentak, menunjukkan bagaimana proses legislasi DPR bisa menjadi sumber kontroversi. Perubahan tersebut menimbulkan perdebatan tentang dampaknya terhadap kualitas demokrasi lokal dan prosedur pemilihan yang lebih adil. Beberapa kalangan menganggap bahwa perubahan tersebut justru mempersulit aksesibilitas bagi calon independen atau calon dari partai politik kecil, yang bisa mengarah pada dominasi politik oleh partai besar.
Mahkamah Konstitusi (MK) berperan sebagai lembaga yudikatif yang memiliki kewenangan untuk menguji dan menyelesaikan sengketa hukum, termasuk yang berkaitan dengan Pilkada. MK berfungsi untuk memastikan bahwa aturan Pilkada yang diterapkan sesuai dengan konstitusi dan prinsip-prinsip hukum yang berlaku. Ketika ada sengketa terkait pelaksanaan Pilkada, MK memiliki kewenangan untuk memutuskan apakah aturan yang diterapkan sesuai dengan hukum atau tidak. Putusan MK bersifat final dan mengikat, yang berarti keputusan MK harus diterima dan dilaksanakan tanpa adanya upaya hukum lebih lanjut.
ADVERTISEMENT
Kewenangan MK dalam menyelesaikan sengketa Pilkada sangat penting untuk menjaga integritas proses demokrasi. Namun, keputusan MK sering kali juga menuai kontroversi, terutama ketika putusan tersebut dianggap tidak konsisten atau dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal. Contohnya, sengketa Pilkada di berbagai daerah sering kali berakhir di MK, dan putusan yang dikeluarkan bisa mempengaruhi hasil pemilihan serta legitimasi calon terpilih. Dalam beberapa kasus, putusan MK yang memerintahkan pemungutan suara ulang atau membatalkan hasil Pilkada dapat menimbulkan ketidakpastian dan ketegangan politik di tingkat daerah.
Studi kasus seperti putusan MK terkait sengketa Pilkada di DKI Jakarta pada tahun 2017 menunjukkan bagaimana keputusan MK dapat mempengaruhi dinamika politik lokal. Putusan MK yang membatalkan hasil Pilkada dan memerintahkan pemungutan suara ulang menjadi sorotan publik, dan mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap keadilan dan transparansi proses Pilkada. Dalam konteks ini, kepercayaan publik terhadap MK menjadi sangat penting, karena keputusan MK bisa mempengaruhi legitimasi proses demokrasi dan stabilitas politik di daerah.
ADVERTISEMENT
Kontroversi dan Konflik antara DPR dan MK
Pertentangan antara DPR dan MK sering kali muncul ketika ada perbedaan pandangan mengenai penerapan atau interpretasi aturan Pilkada. Ketika DPR mengesahkan aturan yang kemudian dianggap bertentangan dengan konstitusi atau prinsip-prinsip hukum oleh MK, hal ini dapat menyebabkan ketegangan antara kedua lembaga tersebut. Kontroversi semacam ini sering kali menimbulkan kebingungan dan ketidakpastian di kalangan publik serta para peserta Pilkada.
Misalnya, kasus di mana DPR mengesahkan undang-undang yang memuat aturan tertentu yang kemudian dinyatakan inkonstitusional oleh MK dapat menimbulkan konflik antara kewenangan legislatif dan yudikatif. Ketika MK memutuskan bahwa suatu aturan yang ditetapkan DPR tidak sesuai dengan konstitusi, hal ini bisa memicu perdebatan mengenai validitas dan kewenangan kedua lembaga. Selain itu, perbedaan pandangan ini juga dapat mempengaruhi proses Pilkada, terutama jika keputusan MK memerlukan penyesuaian atau perubahan aturan yang telah disahkan DPR.
ADVERTISEMENT
Analisis terhadap dampak dari perbedaan pandangan antara DPR dan MK menunjukkan bahwa ketidakpastian hukum yang timbul dari konflik semacam ini dapat mengganggu jalannya Pilkada dan mempengaruhi kepercayaan publik. Ketika aturan yang diterapkan dianggap tidak konsisten atau tidak adil, hal ini dapat menimbulkan ketidakpuasan di kalangan peserta Pilkada dan pemilih. Oleh karena itu, penting untuk memahami bagaimana konflik antara DPR dan MK dapat mempengaruhi integritas proses Pilkada dan apa yang dapat dilakukan untuk mengatasi perbedaan pandangan ini.