Konten dari Pengguna

Politik Identitas sebagai Faktor Penentu dalam Pilkada 2024

L Ya Esty Pratiwi
AKADEMISI Dosen Fakultas Hukum UMSurabaya Mediator Indonesia Praktisi Hukum
30 Agustus 2024 14:54 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari L Ya Esty Pratiwi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ilustrasi gambar : Sutterstock.com
zoom-in-whitePerbesar
ilustrasi gambar : Sutterstock.com
ADVERTISEMENT
Politik identitas agama telah menjadi fenomena yang semakin menonjol dalam dinamika politik Indonesia, khususnya menjelang Pilkada 2024. Isu-isu keagamaan sering dimanfaatkan sebagai alat kampanye untuk memobilisasi dukungan pemilih. Hal ini memiliki pengaruh besar pada pola perilaku pemilih dan strategi para kandidat dalam kontestasi politik lokal.
ADVERTISEMENT
Politik identitas agama telah menjadi fenomena yang semakin menonjol dalam dinamika politik Indonesia, khususnya menjelang Pilkada. Pola penggunaan sentimen agama dalam kampanye politik terlihat bervariasi di berbagai daerah, mencerminkan keragaman demografis dan sosial-budaya Indonesia.
Pemilihan Gubernur DKI Jakarta pada tahun 2017 menjadi contoh yang sangat menonjol dalam penggunaan politik identitas agama. Munculnya kasus penistaan agama dan gerakan aksi damai 212 telah membangkitkan semangat umat Islam untuk memilih pemimpin yang seagama. Hal ini dianggap sebagai faktor utama yang mendorong terpilihnya pasangan Anies-Sandi sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta.
Penelitian menunjukkan bahwa politik identitas masyarakat Muslim DKI Jakarta dilandasi oleh agama dan merupakan suatu keniscayaan dalam budaya politik. Corak politik identitas ini terwujud dalam bentuk ukhuwah Islamiyah, yang lebih mengarah pada faktor budaya dan keagamaan. Masyarakat Muslim DKI Jakarta menunjukkan keaktifan dalam mensukseskan kampanye dan menggerakkan dukungan sebagai bentuk politik identitas.
ADVERTISEMENT
Dinamika di daerah mayoritas-minoritas
Di daerah-daerah dengan komposisi penduduk yang berbeda, seperti wilayah dengan mayoritas-minoritas penduduk beragama tertentu, dinamika politik identitas agama juga terlihat. Pola yang muncul cenderung mencerminkan kekhasan masing-masing daerah, dengan sentimen agama seringkali menjadi faktor penting dalam strategi kampanye dan perilaku pemilih.
Perbandingan pola politik identitas agama di berbagai wilayah di Indonesia menunjukkan variasi yang menarik. Di beberapa daerah, isu agama menjadi sangat dominan, sementara di daerah lain, faktor-faktor lain seperti etnisitas atau isu-isu lokal mungkin lebih berpengaruh.
Penting untuk dicatat bahwa politik identitas tidak hanya terbatas pada agama. Isu kesukuan, seperti tuntutan untuk memilih pemimpin dari suku tertentu, juga merupakan bentuk politik identitas yang berbasis etnisitas dan primordialisme. Fenomena ini berdampak pada faksionalisasi kelompok masyarakat, yang tidak hanya terjadi di media sosial tetapi juga menjalar hingga ke ruang publik.
ADVERTISEMENT
Dalam perspektif sosiologi, politik identitas diprediksi akan terus hadir dalam narasi politik Indonesia menjelang pemilihan presiden 2024. Hal ini disebabkan oleh kondisi mental dan karakter masyarakat Indonesia yang belum sepenuhnya terlepas dari sentimen primordialisme dan sektarianisme, meskipun telah hidup di era demokratisasi terbuka dan digitalisasi modern.
Politik identitas agama memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kohesi sosial masyarakat Indonesia. Fenomena ini tidak hanya menjadi isu lokal, tetapi telah berkembang menjadi permasalahan nasional bahkan internasional. Dampak yang ditimbulkan dapat mengancam kerukunan dan persatuan bangsa yang telah lama dijaga.
Penggunaan politik identitas yang berlebihan dapat memperkuat perasaan diskriminasi dan pemisahan antarkelompok. Hal ini berpotensi memperburuk ketegangan dan memperdalam perpecahan di masyarakat. Politik identitas cenderung mengelompokkan masyarakat menjadi dua bagian dan menjatuhkan lawan dengan hal-hal yang berkaitan dengan identitas. Strategi ini sangat bersifat emosional dan dapat memicu konflik di kalangan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Politik identitas dinilai tidak selaras dengan kondisi masyarakat Indonesia yang bersifat multikultural. Penerapan politik identitas dalam kontestasi politik di Indonesia berpotensi menjadi pemicu konflik antar masyarakat, terutama di kalangan umat beragama. Hal ini dapat mengancam nilai-nilai kebhinekaan yang telah lama menjadi landasan persatuan bangsa Indonesia.
Potensi konflik horizontal
Penggunaan isu agama dalam politik identitas sering mengutamakan kepentingan politik yang dibumbui dengan berbagai ayat dan simbol-simbol agama. Pendekatan ini dapat mencederai dan mengkotak-kotakkan masyarakat, yang pada akhirnya merusak tatanan hidup bermasyarakat. Politik identitas juga dapat memperkuat pandangan fanatik dan radikal tentang identitas kelompok, yang berpotensi mengarah pada tindak kekerasan dan kebijakan diskriminatif.
Dampak negatif politik identitas telah terlihat sejak awal perkembangan Islam, seperti yang tergambar pada peristiwa Saqifah Bani Sa'idah. Peristiwa tersebut menjadi cikal bakal perselisihan antar umat Islam itu sendiri. Dalam konteks Indonesia, politik identitas agama dapat menggiring umat beragama kepada formalisme agama yang bersifat eksklusif dan mengabaikan pentingnya menghargai keyakinan orang lain.
ADVERTISEMENT
Untuk mengatasi dampak negatif ini, umat beragama di Indonesia diharapkan tidak terjebak dalam politik identitas, terutama menjelang pemilu 2024. Sebaliknya, mereka diharapkan dapat memperjuangkan nilai-nilai toleransi dan pluralisme untuk mewujudkan kerukunan antar umat beragama. Politik identitas perlu dilebur menjadi politik kebangsaan yang tidak lagi mengedepankan egoisme sektoral, kelompok, atau partikularistik.
Peran Media dalam Menyikapi Politik Identitas
Media memiliki peran krusial dalam menyikapi fenomena politik identitas agama menjelang Pilkada 2024. Tantangan yang dihadapi media saat ini semakin kompleks, terutama dengan meningkatnya penggunaan media sosial dan penyebaran informasi yang sangat cepat.
Media sosial telah menjadi alat yang ampuh untuk menegaskan identitas di dunia maya. Karakteristik media sosial seperti kecepatan penyebaran informasi dan jangkauan audiens yang luas dapat dimanfaatkan untuk memanipulasi opini dan menggiring perilaku masyarakat. Algoritma yang digunakan oleh platform media sosial dan mesin pencari juga berperan dalam menciptakan "gelembung filter" yang dapat mengisolasi pengguna dari informasi yang berbeda dengan pandangan mereka.
ADVERTISEMENT
Peran media dalam mengedukasi publik menjadi semakin penting mengingat tingginya penggunaan media sosial di Indonesia. Data menunjukkan bahwa 68,9% penduduk Indonesia menggunakan media sosial pada awal tahun 2022, meningkat sebanyak 21 juta dari tahun sebelumnya. Dengan tingginya angka pengguna media sosial ini, media mainstream memiliki tanggung jawab untuk memberikan informasi yang akurat dan berimbang.
Melawan hoaks dan disinformasi berbau SARA
Penyebaran hoaks dan disinformasi menjadi ancaman serius bagi integritas Pemilu 2024. Survei menunjukkan bahwa 44% hoaks tidak dapat dideteksi oleh masyarakat Indonesia. Media sosial menjadi saluran utama penyebaran hoaks, dengan 92,40% hoaks disebarkan melalui platform ini.
Untuk mengatasi tantangan ini, media perlu berperan aktif dalam:
1. Meningkatkan literasi digital masyarakat
ADVERTISEMENT
2. Menyajikan informasi yang akurat dan terverifikasi
3. Melakukan fact-checking terhadap informasi yang beredar
4. Memberikan pendidikan politik yang objektif kepada masyarakat
Pemilu yang damai dan bebas dari hoaks serta ujaran kebencian merupakan kunci untuk mewujudkan pemilu yang berintegritas . Media harus berperan dalam melawan polarisasi politik yang dapat memecah belah bangsa. Dengan meningkatkan pemahaman masyarakat tentang literasi digital, diharapkan masyarakat dapat lebih kritis dan bijak dalam menyikapi informasi yang diterima, terutama menjelang Pemilu 2024.
Politik identitas agama memang memiliki pengaruh yang besar pada dinamika Pilkada 2024 di Indonesia. Fenomena ini mencerminkan keragaman sosial-budaya negara ini, namun juga menimbulkan tantangan serius terhadap kohesi sosial dan nilai-nilai kebhinekaan. Penggunaan sentimen agama dalam kampanye politik bisa mempertajam perpecahan dan meningkatkan risiko konflik horizontal di masyarakat.
ADVERTISEMENT
Media memainkan peran penting untuk menyikapi fenomena ini dengan menyajikan informasi yang akurat dan berimbang. Tantangan utama terletak pada penyebaran hoaks dan disinformasi di media sosial, yang bisa mengancam integritas pemilu. Untuk mengatasi hal ini, diperlukan upaya bersama untuk meningkatkan literasi digital masyarakat dan mendorong jurnalisme yang bertanggung jawab. saat ini masyarakat harus bisa lebih kritis dalam menghadapi politik identitas agama menjelang Pilkada 2024.