Silang Pendapat Ulama dalam Kewarisan Istimewa Musytarakah

Fahmi Labib
Mahasiswa/Pelajar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Konten dari Pengguna
26 November 2022 14:56 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Fahmi Labib tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
https://pixabay.com/photos/dad-daughter-holding-hands-parent-1853657/
zoom-in-whitePerbesar
https://pixabay.com/photos/dad-daughter-holding-hands-parent-1853657/
ADVERTISEMENT
Salah satu permasalahan pokok yang dijelaskan oleh al Quran secara detail adalah hukum-hukum yang berkaitan dengan hak kewarisan. Syariat Islam menetapkan aturan waris ini dengan bentuk yang sangat teratur dan adil. Oleh karena itu, al Quran merupakan acuan utama hukum dan penentuan pembagian warisan, di samping hadis Nabi saw. yang kadang kala berfungsi sebagai bayan taqrir, bayan taudhih (tafsir) ataupun yang selainnya.
ADVERTISEMENT
Namun dalam praktik ilmu faraid atau biasa juga disebut dengan ilmu mawaris ada beberapa kondisi yang kontradiktif, sesuatu yang keluar dan menyimpang dari ketentuan-ketentuan asalnya dalam kasus yang dinamai dengan beberapa peristilahan yang dilatarbelakangi oleh beberapa riwayat/sejarah kejadiannya.
Salah satunya ialah musytarakah sebagai sebutan popular untuk penamaan kasus tersebut, adalah diambil dari solusinya terhadap bagian saudara yang hanya memiliki hubungan kekerabatan seibu saja dengan pewaris. Kasus kewarisan dari produk hukum yang dimunculkan melalui ijtihad fuqaha ini, (di dalamnya) tentu akan ditemui perbedaan pendapat tentangnya.
Secara bahasa musytarakah artinya berserikat, maksudnya adalah serikat antara 2 orang atau lebih dalam sesuatu hal atau urusan. Musytarakah sendiri berasal dari akar kata اشترك – يشترك – مشترِك dan bentuk maf’ul-nya مشترَك yang berarti disekutukan di mana bagian saudara laki-laki diikutkan ke 1/3 bagian milik saudara seibu. Adapun penamaan hajariyah, dan himariyah mengacu pada sahabat Umar bin Khattab r.a. dimana saat itu ia dimintai fatwa, dalam masalah ini dan beliau menegaskan bahwa saudara laki-laki tidak mendapatkan warisan karena sebagai ‘ashabah. Setelah mendengar fatwa tersebut saudara laki-laki menjawab: “andaikata bapak kami adalah seekor keledai (himar)”. Dalam riwayat lain disebutkan: “andaikata bapak kami adalah batu (hajar) yang dicampakkan di lautan (yam)”. Dialog inilah yang kemudian diabadikan dalam penamaan kasus istimewa dalam kewarisan.
ADVERTISEMENT
Secara umum, masalah musytarakah terjadi jika seseorang perempuan wafat dengan meninggalkan ahli waris dengan susunan sebagai berikut ;
a) Suami
b) Ibu atau nenek
c) Dua orang atau lebih saudara seibu (laki-laki saja, atau perempuan saja, atau gabungan laki-laki dan perempuan)
d) Saudara laki-laki kandung (seorang diri, atau bersama saudara laki- laki kandung yang lain, atau bersama saudara perembuan kandung).
Menurut kaidah ilmu fara’idh warisan pertama kali dibagikan kepada ahli waris golongan ashabul furudh (yang bagiannya sudah tertentu/tetap/jelas/pasti), kemudian sisanya (kalau masih ada) dibaigakan kepada kepada ahli waris golongan ashabah (penerima sisa). Maka ahli waris (a), (b), dan (c) merupakan ahli waris golongan ashabul furudh yang bagian mereka masing- masing sudah jelas, yaitu 1/2, 1/6, dan 1/3, kalau warisan dibagikan kepada tiga jenis ahli waris ini maka tidak akan ada lagi sisa. Sementara itu ahli waris (d) dalam hal ini sebagai ashabah (penerima sisa), tetapi tidak mendapatkan apa apa karena sisanya sudah dihabiskan oleh ahli waris (a), (b), dan (c). Dari sini timbul suatu “keanehan” karena saudara kandung, yang nyatanya memiliki hubungan kekerabatan yang lebih dekat/kuat dibanding saudara seibu saja, ternyata tidak mendapatkan bagian sedikitpun. Masalah ini disebut musytarakah yang artinya digabungkan atau disekutukan.
ADVERTISEMENT
Musytarakah Menurut Pandangan Ulama Umar bin Khattab
Permasalahan musytarakah ini pertama sekali diajukan seseorang kepada Khalifah Umar bin Khattab r.a. Kasus seperti ini dua kali dihadapkan kepada beliau. Pada waktu pertama dahulu Umar menetapkan menurut apa adanya sebagaimana kaidah fara’idh. Keputusan ini diterima pihak yang bersangkutan meskipun mungkin dengan rasa tidak puas. Pada waktu masalah ini kembali muncul, ternyata di antara saudara kandung terdapat orang yang mahir berdebat. Ia berkata kepada Umar,
يا أمير المؤمنين هب أن ابانا كان حمارا ألسنا من أم واحدة؟
“Wahai Amirul mu’minin, andaikata bapak kami adalah himar, bukankah kami ini berasal dari ibu yang satu?”
Argumen ini diterima oleh Umar yang kemudian menetapkan saudara laki-laki kandung itu bergabung dengan saudara seibu untuk mendapatkan bagian saudara seibu yang 1/3 itu. Karena bergabungnya saudara kandung dan saudara seibu dalam pewarisan inilah maka kasus ini dengan musyarrakah atau musytarakah. Noel J. Coulson dalam bukunya A History of Islamic Law menyebutnya dengan the donkey case (himariyah), dan ada juga yang mengatakan masalah hajariyah untuk mengumpamkan ayah saudara sekandung adalah batu.
ADVERTISEMENT
Langkah Umar memberi bagian dengan cara mengkolektifkan bagian saudara-saudara sekandung bersama saudara-saudara seibu, kemudian diikuti oleh Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Ishaq bin Rahawaih.
Musytarakah Menurut Pandangan Ulama Ali bin Abi Thalib
Dalam kasus kewarisan musytarakah Ali bin Abi Thalib bersama sahabat lainnya yakni ‘Abdullah bin Mas’ud, ‘Ubay bin Ka’ab, dan Ibnu ‘Abbas r.a., dan pendapat Imam Abu Hanifah dan para ashhabnya serta Imam Ahmad bin Hanbal bahwa saudara sekandung, tidak mendapat warisan sebab bagian pasti dapat menghabiskan harta warisan. Dengan begitu pembagian dilakukan dengan terapan suami setengah, ibu seperenam, saudara-saudara laki-laki seibu sepertiga.
Golongan kedua berpendapat dalam kasus ini bahwa saudara-saudara sekandung adalah pewaris-pewaris ‘ashabah, sehingga mereka tidak memperoleh apapun, jika bagian-bagian dari para pewaris yang memiliki bagian tertentu telah menghabiskan harta warisan.
ADVERTISEMENT
Sebab Perbedaan Pendapat
Alasan pertama penyebab silang pendapat ini disebabkan berbedanya mereka dalam memandang kedudukan saudara laki-laki kandung. Satu sisi melihat kepada statusnya sebagai ‘ashabah (penerima sisa), di sisi lain melihatnya pada aspek hubungannya dengan pewaris yang melalui dua jalur kekerabatan yaitu seibu dan sebapak. Dalam kasus ini, sauda sekandung harus dihadapkan dengan ahli waris (saudara seibu) yang hanya memiliki hubungan kekerabatan satu jalur saja (yaitu seibu). Logikanya ialah, dalam hal hubungan kekerabatan saudara sekandung lebih kuat jika dibandingkan antara sesama saudara lainnya.
Hal demikian sejalan dengan Prof. Dr. Amir Syarifuddin yang mengatakan, bahwa akar permasalahan ini ialah benturan antara prinsip menjalankan fara’idh sesuai dengan tuntutan al-Qur’an dan prinsip saudara kandung harus lebih utama daripada saudara seibu dalam kewarisan maupun dalam pembagian hak. Jelasnya anggapan yang terakhir ini masih dipengaruhi oleh adat jahiliah yang tidak menganggap saudara seibu yang pertalian kekerabatannya hanya dari seorang perempuan itu sebagai saudara yang berhak.
ADVERTISEMENT
Penjelasan di atas juga kurang lebih sama dengan penegasan Muhammad Baltaji dalam kitabnya Manhaj Umar ibn al-Khattab fi Tasyri’ yakni dua putusan tersebut memiliki logika dan cara pandang penyelesaiannya masing-masing. Bagi yang memahami ayat secara tekstual, maka dia akan berpendapat bahwa saudara perempuan seibu berhak mendapat bagian 1/3 sesuai dengan nash al-Qur’an dan bagian mereka tidak boleh berkurang sedikitpun. Tetapi jika dicermati lagi, saudara sekandung sebenarnya juga merupakan juga merupakan saudara seibu, bahkan hubungannya dengan pewaris lebih kuat karena memiliki ayah yang sama, dan seharusnya ketika seseorang memiliki hubungan kekerabatan yang lebih kuat dengan pewaris, makai a akan lebih berhak atas harta warisnya.
Dengan melihat argumen-argumen ulama golongan pertama dan kedua, maka mengutip pendapat Ibnu Rusyd, silang pendapat pada kebanyakan masalah fara’idh disebabkan adanya pertentangan-pertentangan antara qiyas-qiyas dan adanya ungkapan-ungkapan dengan multi tafsir (isytirakul alfadz) pada masalah-masalah yang ada nash-nya.
ADVERTISEMENT