Konten dari Pengguna

Fenomena Nongkrong di Era Digital: Antar Gaya dan Kebutuhan sosial

Laelatun Nurul Lutfi
Mahasiswa Jurnalistik UIN Bandung
30 Oktober 2024 13:05 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Laelatun Nurul Lutfi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
salah satu kafe tempat nongkrong. sumber: dokumen pribadi
zoom-in-whitePerbesar
salah satu kafe tempat nongkrong. sumber: dokumen pribadi
ADVERTISEMENT
Berkumpul atau nongkrong menjadi aktivitas populer bagi generasi Z saat ini. Jika dulu nongkrong diisi dengan bersosialisasi, kini lebih banyak yang melakukannya untuk bergaya dan pencitraan. Hal ini terlihat dari kebiasaan berfoto di tempat trendi, menunjukkan gaya berpakaian terkini, lalu mengunggahnya ke media sosial. Banyak yang nongkrong bukan untuk bersosialisasi, melainkan mencari pengakuan di dunia maya. Hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah mereka benar-benar ingin menikmati kebersamaan, atau sekadar mencari validasi dari orang lain?
ADVERTISEMENT
Media Sosial sebagai Katalis
Media sosial sangat memengaruhi perubahan budaya nongkrong anak muda. Platform seperti Instagram, TikTok, Twitter dan media sosial lainnya mendorong mereka untuk memperbarui diri lewat cerita, feed, atau postingan dalam bentuk foto, video, dan tulisan. Kafe menjadi tempat favorit karena spot foto menariknya, bukan karena kualitas produk atau layanan, tetapi karena “Instagramable.” Momen ini sering dipakai untuk konten yang diharapkan mendulang “likes” dan pujian, memberi kepuasan tersendiri dan meningkatkan status sosial mereka di dunia maya. Fenomena ini mencerminkan kebutuhan manusia akan pengakuan dan penghargaan.
Gaya Hidup Konsumtif
Nongkrong demi gaya hidup menyoroti kecenderungan konsumtif di kalangan anak muda. Mereka rela mengeluarkan banyak uang untuk nongkrong di kafe populer demi citra di media sosial, meski banyak yang belum berpenghasilan tetap. Tekanan sosial ini mencerminkan kebutuhan untuk mengikuti tren agar diterima di lingkungan pertemanan dan diakui oleh orang lain. Ada tuntutan tak tertulis bagi mereka untuk tampil keren, modis, dan up-to-date, mulai dari gaya berpakaian hingga tempat-tempat yang mereka kunjungi.
ADVERTISEMENT
Hilangnya Makna Asli Nongkrong
Nongkrong yang dulu identik dengan kebersamaan dan obrolan hangat kini kehilangan esensinya. Anak muda lebih fokus pada ponsel daripada berinteraksi langsung, mengganti canda tawa dengan sesi foto dan pengeditan untuk media sosial. Momen ini pun berubah menjadi ajang kompetisi terselubung: siapa yang paling modis, mendapat foto terbaik, atau respons terbanyak. Fenomena ini menciptakan paradoks dalam hubungan sosial, di mana mereka berkumpul bersama namun lebih terhubung dengan dunia maya daripada orang-orang di sekitar, mengorbankan keintiman demi citra online.
Pengaruh Jangka Panjang
Budaya nongkrong demi gaya dapat berdampak negatif jangka panjang bagi generasi muda. Pertama, ada peningkatan kecemasan dan tekanan untuk selalu tampil sempurna, baik dalam penampilan maupun gaya hidup. Selain itu, ketergantungan pada "likes" atau komentar di media sosial bisa mengikis rasa percaya diri, membuat mereka terlalu bergantung pada validasi eksternal. Kondisi ini berisiko memperburuk masalah kesehatan mental, seperti kecemasan sosial atau depresi, yang sering tidak mereka sadari.
ADVERTISEMENT
Mengembalikan Esensi Nongkrong
Meski fenomena nongkrong untuk bergaya semakin meluas, masih ada harapan untuk mengembalikan esensi asli nongkrong. Anak muda perlu menyadari bahwa nongkrong seharusnya menjadi momen untuk memperkuat hubungan sosial, bukan sekadar ajang pencitraan. Kebersamaan dan dukungan antarindividu jauh lebih bermakna daripada memamerkan gaya hidup di media sosial.
Mereka juga perlu mengurangi ketergantungan pada validasi online dan belajar menerima diri tanpa pengakuan dari dunia maya. Nongkrong bisa menjadi waktu untuk beristirahat dari kehidupan yang penuh tekanan, tanpa perlu membuktikan apa pun.
Fenomena ini mencerminkan tantangan anak muda di era digital, di mana pengakuan media sosial sering kali mengaburkan makna interaksi sosial sejati. Meski media sosial memengaruhi budaya anak muda, penting bagi mereka untuk menyeimbangkan dunia maya dengan dunia nyata, menjadikan nongkrong sebagai momen kebersamaan dan kenangan bersama orang-orang terdekat.
ADVERTISEMENT