Konten dari Pengguna

Arogansi Kekuasaan: Kekerasan Verbal Merendahkan Rakyat

Laili Zailani
Ibu Rumah Tangga, Pendiri HAPSARI (Himpunan Serikat Perempuan Indonesia), dan Fellow Ashoka (Indonesia, 2000)
27 Maret 2025 13:56 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
7
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Laili Zailani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi gambar dibantu AI (dok.pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi gambar dibantu AI (dok.pribadi)
ADVERTISEMENT
Dalam demokrasi yang sehat, pejabat publik seharusnya berbicara untuk mendengarkan rakyat. Tapi sekarang, semakin tinggi jabatan, semakin pendek kesabaran mereka. Apa ini evolusi komunikasi kekuasaan—dari dialog menjadi monolog kasar penuh kekerasan verbal?
ADVERTISEMENT
Teladan Buruk: Siapa Bilang Pemimpin Harus Sopan?
Pemimpin seharusnya memberi contoh bagaimana berbicara bijaksana. Namun, kini yang dianggap keren adalah pemimpin yang tahu kapan berbicara kasar—seolah itu simbol kekuatan. Presiden, misalnya, merespons kritik mahasiswa soal #IndonesiaGelap hanya dengan kata 'Ndasmu!'
Tak ketinggalan, Kepala Staf Angkatan Darat, Maruli Simanjuntak, menyebut pengkritik revisi UU TNI sebagai "orang-orang berotak kampungan." Ini bukan kebetulan—ini adalah bagaimana bahasa kasar menjadi alat komunikasi dalam pola kekuasaan yang lebih besar.
Mungkin inilah yang disebut kepemimpinan inspiratif—pemimpin berbicara, bawahan mengikutinya, dan rakyat semakin mengelus dada. Hasan Nasbi, Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, pun ikut merespons teror kepala babi yang dikirim ke Tempo dengan enteng, "Ya sudah, dimasak saja!"
Mungkin kita memang harus lebih banyak belajar memasak, karena hidangan utama politik hari ini tampaknya adalah sarkasme. Di negara ini, respons semacam ini lebih banyak disambut tepuk tangan daripada dikoreksi. Rakyat diminta lebih sabar, menerima kenyataan bahwa pejabat negara setingkat Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan tak cukup punya isi kepala. Ini ironis, seperti yang diungkapkan nitizen di media sosial.
ADVERTISEMENT
Bahasa Kekuasaan yang Menindas dan Melecehkan
Politik bahasa bukan sekadar gaya bicara—ini soal relasi kuasa. Ketika pejabat berbicara kasar, mereka tidak hanya arogan, tetapi juga mengukuhkan ketimpangan antara yang berkuasa dan yang dikuasai.
Seperti yang dikatakan Pierre Bourdieu dalam Language and Symbolic Power (1991), bahasa adalah modal simbolik yang memperkuat struktur sosial. Bahasa kasar bukan hanya ekspresi amarah, tapi juga sarana untuk meneguhkan dominasi yang ada. Bahasa kasar sering digunakan oleh mereka yang merasa memiliki posisi dominan dalam struktur sosial—dan struktur negara, untuk menegaskan kekuasaan mereka.
Lihatlah negara lain. Di Kanada, setelah Perdana Menteri Justin Trudeau mengeluarkan kata-kata kasar tentang musuh politiknya dalam debat, ia segera meminta maaf. Di Inggris, Boris Johnson pun meminta maaf setelah menggunakan kata-kata pedas. Di sana, pejabat tak merasa kekuasaannya dibenarkan untuk berbicara kasar tanpa konsekuensi.
ADVERTISEMENT
Di sini, pejabat malah diberi panggung lebih besar untuk berbicara kasar. Dan para pejabat di bawahnya? Kreatif mengulang kata-kata kasar serupa. Seperti Deddy Corbuzier, Stafsus Menhan Bidang Komunikasi Sosial, yang memaki anak-anak SD hanya karena mengeluh tentang makanan bergizi yang mereka terima. “Pala lu PEA,” katanya, dan mengancam akan menampar kalau itu anaknya.
Kekerasan Verbal terhadap Perempuan: Ironi yang Menghancurkan
Dalam analisis feminis, bahasa adalah alat kontrol sosial. Lihatlah Rafi Ahmad, yang menjadikan (status) janda (dan perempuan) sebagai bahan olokan di televisi. Lalu penonton tertawa puas. Apakah pelecehan verbal terhadap perempuan masih terus dianggap guyonan?
Rafi, yang juga Utusan Khusus Presiden Bidang Pembinaan Generasi Muda dan Pekerja Seni, menjadikan janda sebagai bahan lelucon di televisi. Ini bukan hanya kurang empati, tapi cacat moral. Dampaknya besar bagi perempuan akar rumput yang sudah terbiasa dengan diskriminasi verbal. Mereka yang seharusnya dilindungi negara malah dipaksa menerima kenyataan bahwa kata-kata kasar pejabat negara kini jadi budaya yang dianggap normal.
ADVERTISEMENT
Kekerasan verbal terhadap perempuan semakin dianggap lumrah, baik di ruang publik maupun pribadi. Ketika media sosial dan televisi tidak lagi memberikan teguran, maka perempuan semakin terperangkap dalam budaya yang merendahkan. Mereka yang di posisi rentan, seperti ibu rumah tangga, buruh, atau pekerja rumah tangga, harus menghadapi pelecehan yang dianggap lucu (guyon). Padahal itu kekerasan verbal yang mengakar dalam kultur patriarki dan diserap dengan baik dalam struktur sosial kita.
Saatnya Berbicara Lebih Bijak
Arogansi kekuasaan dalam politik bahasa tak boleh dibiarkan begitu saja. Kita harus menolak normalisasi kekerasan verbal—terutama dari pejabat yang seharusnya menjadi teladan. Posisi mereka bukan untuk mencari popularitas, tetapi untuk membangun komunikasi yang lebih adil antara negara dan rakyat.
ADVERTISEMENT
Bagi perempuan, inilah saatnya untuk berbicara lebih keras, lebih tegas. Bahasa adalah alat kekuasaan, tapi juga alat perlawanan. Kita tak bisa lagi diam—kita harus mengingatkan, mengkritik, dan menuntut perubahan, Mak!. ***