Konten dari Pengguna

Cerita Ibu: Aliyah Bingkat, Mardiana dan Kesetiaan yang Tak Masuk Kurikulum

Laili Zailani
Ibu Rumah Tangga, Pendiri HAPSARI (Himpunan Serikat Perempuan Indonesia), dan Fellow Ashoka Indonesia, (tahun 2000)
22 April 2025 10:36 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Laili Zailani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Mardiana (52 Thn) Guru Honorer yang mengabdi lebih 20 tahun di Aliyah Bingkat (Foto:Dok.Mardiana)
zoom-in-whitePerbesar
Mardiana (52 Thn) Guru Honorer yang mengabdi lebih 20 tahun di Aliyah Bingkat (Foto:Dok.Mardiana)
ADVERTISEMENT
Kalau suatu hari Anda singgah ke Desa Bingkat, Serdang Bedagai, Sumatera Utara, mungkin tak ada baliho besar atau spanduk motivasi pendidikan di pinggir jalan. Tapi ada satu sekolah yang menyimpan keteguhan luar biasa: Madrasah Aliyah Swasta Bingkat, atau yang akrab disebut Aliyah Bingkat.
ADVERTISEMENT
Di sana, Anda hampir pasti akan bertemu dengan Mardiana. Ia bukan kepala sekolah, bukan pula tokoh besar dalam struktur pendidikan nasional. Tapi kesetiaannya menjaga sekolah ini—melampaui gaji, jabatan, dan kurikulum—adalah pelajaran yang tak tertulis dalam buku mana pun.
Desa Bingkat dulunya dikenal sebagai "kampung maling", stempel yang menempel sejak tahun 1970-an karena sejarah keterlibatannya sebagai basis Barisan Tani Indonesia (BTI) yang dianggap dekat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Di tengah stigma yang mencekik dan akses pendidikan yang sempit, Mardiana—anak kampung itu—bermimpi menjadi guru. Ia lulus dari Sekolah Pendidikan Guru (SPG), sempat kuliah hukum, meski tidak selesai.
Sekolah Alternatif, Prinsip yang Dijaga
Mardiana, menghadapi anak-anak Aliyah Bingkat dengan berbagai permasalahannya. Menghadapi dengan perhatian dan cinta. (Foto: Dok.Aliyah Bingkat).
Tahun 1998, ketika Madrasah Aliyah Bingkat didirikan oleh Sudarno bersama beberapa aktivis dengan pendekatan pendidikan membebaskan, Mardiana merasa menemukan ‘rumah’ baru. Ia menjadi guru sukarela, bukan hanya untuk mengajar, tapi untuk menjaga napas idealisme sekolah: memanusiakan manusia.
ADVERTISEMENT
Aliyah Bingkat berdiri bukan di atas modal besar atau investor pendidikan. Tapi di atas semangat gotong-royong yang mirip lem: tak kelihatan, tapi merekatkan segalanya.
Di sekolah ini, guru bukan menara gading, melainkan kawan belajar. Nilai demokrasi, kesetaraan gender, dan keberanian bersuara menjadi bagian dari keseharian. Pelajaran tidak ditelan mentah-mentah, tapi didebatkan dan dikaitkan dengan hidup murid—anak-anak petani, nelayan, dan buruh.
Karena pendekatannya tak lazim, Aliyah Bingkat sempat dituduh mengajarkan 'pemberontakan', karena anak-anak “berani melawan guru”. Padahal itulah tujuannya: membangun pikiran kritis, bukan ketakutan.
Selama belasan tahun sekolah ini bahkan tak memungut biaya dari muridnya, jauh sebelum ada program BOS. Biaya operasional ditopang oleh dukungan organisasi rakyat tempat Mardiana berjejaring.
Aliyah Bingkat: Dari Ragu Jadi Rujukan
ADVERTISEMENT
Pasca reformasi, dinamika berubah. Dukungan eksternal menyusut. Sekolah dipimpin oleh salah satu tokoh pendirinya (Drs. Abdul Kholiq Nst), dan mulai mengikuti aturan pemerintah—termasuk sumbangan pendidikan dan kurikulum nasional.
Menariknya, saat pemerintah memperkenalkan Kurikulum Berbasis Kompetensi (2004) dan Kurikulum Merdeka (2020), Aliyah Bingkat justru sudah lebih dulu menjalankan pendekatan serupa: menghargai potensi murid, membangun pemikiran kritis, dan pendidikan kontekstual.
Dan Mardiana? Ia menyambut semua perubahan itu dengan senyum lebar—pengakuan diam-diam atas apa yang sejak lama ia jaga.
Kartini di Aliyah Bingkat
Mardiana (sebelah kanan bendera), dalam diskusi bersama para Guru Aliyah Bingkat. (Foto: Dok.Aliyah Bingkat)
Zaman boleh berganti. Murid dan guru datang dan pergi. Tapi satu hal tetap tertinggal di Aliyah Bingkat, Mardiana—yang menjaga prinsip memanusiakan manusia. Usianya kini semakin matang, tapi Mardiana tetap memberikan dua hal: waktu dan kesetiaan. Sesuatu yang sederhana, tapi mahal. Terutama di zaman yang sibuk mencatat absen, tapi lupa mencatat makna.
ADVERTISEMENT
Lebih dupuluh tahun Mardiana membersamai Aliyah. Gaji di bawah UMR, masuk tiap hari, kerja tanpa cuti. Kalau ini startup, mungkin sudah ditinggal founder-nya. Tapi ini sekolah. Dan Mardiana bukan founder, ia fondasi.
Mardiana (tengah), bersama Ketua Yayasan, Drs.Abdul Kholiq Nst (kanan) dan Olivia Stefri, dari yayasan Wisma Remaja dalam dialog merancang kerja sama. (Foto: Dok.Aliyah Bingkat)
Ia tahu betul, Aliyah Bingkat bukan sekadar tempat belajar. Ia rumah bagi anak-anak yang tak bisa membayar uang sekolah berbulan-bulan, yang datang mengantuk karena membantu orang tua berdagang, yang datang terlambat karena harus mengantarkan rumput ternak sebelum berangkat sekolah, atau yang tak diterima di sekolah negeri karena “bandel”.
Bagi Mardiana, semua anak itu tetap layak sekolah. “Kalau tidak ada sekolah seperti Aliyah Bingkat ini, lalu mau ke mana anak-anak itu?” katanya lirih suatu hari.
Kemudian ia menatap ke kejauhan. “Katanya mau menuju Indonesia Emas… Bukankah mereka—anak-anak ini juga—yang akan menentukan, Indonesia jadi emas, atau justru cemas?”
ADVERTISEMENT
Penutup
Dalam Mardiana, saya melihat wajah perempuan akar rumput yang sering dilupakan: tak masuk kurikulum, tak masuk berita, tapi tanpa mereka, sekolah seperti Aliyah Bingkat tak mungkin bertahan.
Oh iya Mak, dalam Mardiana ada Kartini yang sangat nyata.
Selamat Hari Kartini! ***