Konten dari Pengguna

Cerita Ibu: Riani, Perempuan Akar Rumput—dari Penjaga Anak ke Penjaga Kehidupan

Laili Zailani
Ibu Rumah Tangga, Pendiri HAPSARI (Himpunan Serikat Perempuan Indonesia), dan Fellow Ashoka Indonesia, (tahun 2000)
16 April 2025 16:26 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
5
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Laili Zailani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Riani, menyerahkan bibit Jahe untuk Rumah Nutrisi Keluarga—Rumah NUSA. (Foto: Dok HAPSARI)
zoom-in-whitePerbesar
Riani, menyerahkan bibit Jahe untuk Rumah Nutrisi Keluarga—Rumah NUSA. (Foto: Dok HAPSARI)
ADVERTISEMENT
Di sebuah sudut ruangan pelatihan perempuan akar rumput, seorang perempuan duduk diam sambil menjaga anak-anak yang bermain. Ia bukan peserta.
ADVERTISEMENT
Namanya Riani. Tapi semua memanggilnya Mak Ani—atau kadang, Wak Ani. Hari itu, ia bukan siapa-siapa—hanya pengasuh anak yang menatap diskusi dari kejauhan. Sampai tiba-tiba tangannya terangkat, dan ia bertanya, “Boleh saya menjawab?”
Saya ingat betul momen itu. Sebagai fasilitator, saya sempat terdiam. Jawaban yang keluar dari mulut Mak Ani bukan sekadar ikut-ikutan. Ia berbicara dengan pemahaman, dengan empati, dengan keberanian yang tumbuh diam-diam dari balik perannya sebagai pengasuh.
Sejak saat itu, saya tahu: perempuan ini sedang bertumbuh. Tak lama kemudian, ia mulai ikut sebagai peserta pelatihan. Bukan lagi duduk di luar lingkaran.
Mak Ani tidak tamat sekolah. Masa kecilnya keras. Remaja dilaluinya sebagai pekerja rumah tangga di kota Medan. Ia bekerja di rumah orang lain, memasak makanan mewah yang tak pernah ia cicipi di rumahnya sendiri. Di rumah itu pula ia bertemu Riono, teman kerjanya yang kelak menjadi suaminya. Setelah menikah, mereka pulang ke kampung di Deli Serdang, Sumatera Utara.
ADVERTISEMENT
Menemukan Akar di Tanah Sendiri
Di kampung itulah, tahun 1999, Mak Ani mulai mengenal HAPSARI—organisasi perempuan akar rumput, tempat ia bertumbuh dan kemudian berkembang, hingga sekarang. Ia terlibat sebagai pengasuh anak dalam kegiatan komunitas. Tapi diam-diam ia menyimak. Lama-lama, ia bicara. Menyampaikan pendapat. Dan akhirnya, dipercaya.
Ia menjadi anggota komunitas perempuan di Desa Pondok Tengah, Serdang Bedagai. Menjadi panitia logistik, membantu fasilitator sekedar memasang kertas plano di dinding ketika diskusi komunitas, belajar membuka sesi diskusi, mengambil foto untuk dokumentasi kegiatan, hingga menjadi pendamping lapangan.
Belajar Tanpa Sekolah Tinggi, Bertumbuh Bersama Gerakan
Sampai suatu hari, organisasi mendorongnya melakukan sesuatu yang selama ini tampak seperti mimpi: menyelesaikan sekolah dasar. Mak Ani mengikuti Kejar Paket A. Dan lulus.
ADVERTISEMENT
Ketika itu, banyak orang di desanya berbisik-bisik, menganggapnya ‘kurang kerjaan’, perempuan desa yang tidak tamat SD, untuk apa berorganisasi dan mengikuti berbagai kegiatan?
Tahun 2009 ia mengikuti Pendidikan Kaderisasi di Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta. Selama tiga bulan, ia belajar tentang kepemimpinan, hak perempuan, dan strategi perubahan sosial. Ia tak pernah duduk di bangku sekolah menengah, tapi ia punya satu hal yang tak bisa diajarkan di kelas: kesetiaan pada proses.
Lalu tibalah saat yang paling tak disangka-sangka. Pada Kongres ke-IV HAPSARI tahun 2011, Mak Ani terpilih sebagai Ketua Pelaksana Harian (KPH). Ia berdiri di depan forum dengan suara bergetar. Ia menangis. “Terima kasih atas kepercayaan ini,” katanya. “Tapi saya juga ingin bertanya… apakah saya pantas?”
ADVERTISEMENT
Ia pantas. Dan bukan hanya pantas—ia terpilih kembali untuk periode kedua. Jabatan itu ia emban hingga tahun 2018. Setelahnya, ia terus aktif mendampingi komunitas.
Rumah NUSA: Menanam yang Kita Makan
Komunitas Perempuan dari Desa lain, mengunjungi ke Rumah Riani untuk diskusi tentang Rumah NUSA. (Foro: Dok.HAPSARI)
Lalu datanglah satu masa baru—ketika kami mulai menggagas gerakan kecil di tingkat rumah tangga: menanam sendiri apa yang kita makan, dan makan dari apa yang kita tanam. Spirit itu kami rumuskan perlahan, dan lahirlah konsep Rumah NUSA—Rumah Nutrisi Keluarga—sebuah upaya membangun ketahanan pangan dan ketahanan iklim mulai dari pekarangan sendiri.
Mak Ani adalah orang pertama yang jatuh cinta pada konsep ini. Ia tak menunggu program. Ia mulai dari rumahnya. Ia membagi pekarangan menjadi zona tanam: sayuran untuk nutrisi, rempah untuk obat herbal, karbo hidrat untuk pengganti beras, dan tanaman keras sebagai “tabungan keluarga”. Ia menanam dengan hati, mencatat nama tanaman dan asal bibitnya. Ia mengajak ibu-ibu berdiskusi, membagi bibit, bahkan mulai membuat sendiri pupuk organik dari limbah dapur.
ADVERTISEMENT
Rumahnya pun berubah. Dari rumah sederhana, kini menjadi Rumah Bibit. Tempat ibu-ibu datang, belajar menanam, membawa pulang bibit dan semangat. Mak Ani menanam lebih dari tanaman—ia menanam harapan.
Di usia 56 tahun, Mak Ani belum lelah. Ia menyapu halaman setiap pagi, menyiram tanaman, dan mengolah sampah rumah tangga. Ia membuat eco enzyme dari sampah organik untuk menyiram tanaman dan membersihkan rumah. Dari sampah plastik, ia membuat ecobrik. Dari tanaman yang ia tanam sendiri—seperti buah murbei dan lidah buaya—ia membuat shampo herbal.
Rumah Kehidupan yang Ditumbuhkan Seorang Ibu
Kentang Gantung, tanaman pengganti beras yang dibudidayakan Riani di rumahnya. (Foto: Dok.HAPSARI)
Semua itu bukan karena ia belajar dari buku. Tapi karena ia belajar dari kehidupan.
Bagi Mak Ani, rumah bukan hanya tempat tinggal. Tapi tempat menumbuhkan kehidupan. Ia tak lagi sekadar mengasuh anak-anak. Ia mengasuh harapan. Ia merawat bumi.
ADVERTISEMENT
Dan bagi kami yang mengenalnya, ia adalah bukti hidup bahwa seorang perempuan—betapapun sederhananya latar belakangnya—bisa menjadi sumber kekuatan, sumber pengetahuan, dan sumber perubahan.***