Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Cerita Ibu Tunggal: Kuliah dan Advokasi Perempuan Korban Kekerasan
9 April 2025 9:17 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Laili Zailani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Siapa bilang janji masa remaja itu cuma omong kosong? Saya menepati janji yang saya ucapkan pada Mamak di depan makamnya—meski butuh waktu puluhan tahun, satu anak, dan kehilangan besar.
ADVERTISEMENT
Saya pernah berjanji di depan makam Mamak, ketika usia saya masih belasan tahun. Janji yang saya ucapkan dalam hati, tanpa saksi, tanpa upacara. Saya akan kuliah. Saya akan jadi sarjana. Bukan sekadar demi gelar, tapi karena saya ingin membuktikan: perempuan seperti Mamak, seperti saya, juga berhak bermimpi.
Tapi hidup perempuan—terutama di kampung dan dari keluarga miskin—seringkali tak menyediakan ruang bagi mimpi. Saya tidak langsung kuliah setelah tamat Aliyah. Saya malah terjun ke organisasi rakyat: ikut teater, advokasi, menjelajah ke kampung-kampung bersama perempuan akar rumput, hingga mengorganisir aksi-aksi jalanan. Saya menjadi bagian dari gerakan perempuan dan masyarakat sipil nasional. Hidup saya belajar dari jalanan, bukan dari bangku kuliah.
Saya menikah di usia 40 tahun. Tiga tahun kemudian, saya mempunyai seorang anak perempuan yang jelita. Tapi, kebahagiaan itu tak lama. Ketika anak saya berusia empat tahun, ayahnya meninggal dunia. Sejak itu, saya menjalani hari-hari sebagai ibu tunggal: menjadi kepala rumah tangga sekaligus penghapus air mata anak yang kehilangan figur ayah di usia sangat muda.
ADVERTISEMENT
Belajar Sambil Mengawasi Nasi di Magic Com
Puluhan tahun setelah janji itu saya buat, saya akhirnya mendaftar kuliah. Pandemi Covid-19 menjadi pintu gerbang tersendiri buat saya. Dua semester pertama saya lalui dengan kuliah online. Dan karena kebutuhan advokasi di organisasi tempat saya bekerja makin menuntut pemahaman hukum, saya mendaftar di Prodi Hukum.
Saat teman-teman sibuk mengikuti tren TikTok, saya sibuk menjadwalkan rapat advokasi sambil mengawasi nasi di magic com. Ketika saya datang ke kampus, bukan lagi sebagai aktivis atau pemateri seminar, tapi sebagai mahasiswa hukum semester awal.
Malam-malam saya tak pernah sunyi. Di sela menyiapkan bekal sekolah anak, menemaninya mengerjakan tugas, saya membaca jurnal. Di sela menanak nasi, saya menulis makalah. Saya belajar sambil menyeduh kopi, sambil mengantar anak ke sekolah, sambil menenangkan hatinya saat rindu ayahnya datang diam-diam.
ADVERTISEMENT
Saya tak pernah benar-benar punya ruang belajar yang tenang. Tapi justru dari ruang-ruang yang riuh itu, saya menyelesaikan skripsi.
Bukan Sekadar Skripsi
Bukan sekadar tugas akhir. Saya melakukan penelitian lapangan tentang Implementasi UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual bagi Kelompok Rentan, untuk skripsi saya. Topik ini lahir dari pengalaman nyata—dari advokasi yang saya jalani setiap hari, bersama para penyintas, bersama perempuan miskin, bersama kelompok minoritas gender yang terus dilukai sistem.
Saya menulis sambil mengingat wajah-wajah korban dan penyintas yang pernah saya temui di ruang konseling, di kantor polisi, di ruang sidang pengadilan agama dan balai desa. Setiap kalimat saya tulis dengan napas panjang perjuangan. Bagi saya, skripsi ini adalah akumulasi dari puluhan tahun kerja kolektif perempuan akar rumput selama lebih dari tiga puluh tahun. Lebih dari separuh umur saya.
ADVERTISEMENT
Hadiah untuk Janji yang Terlambat
Saya belum wisuda. Tapi saya baru saja menyelesaikan sidang meja hijau—dan mendapatkan nilai A. Ketika salah satu dosen penguji membacakan hasil sidang, menyebutkan nilai A untuk saya, dan berkata bahwa mulai hari itu, saya berhak menyandang gelar Sarjana Hukum. Saya menangis, tanpa rencana.
Tak ada buket bunga, tak ada balon ucapan “Selamat!”. Saya memang tak menyiapkan seremonial apapun. Tapi pelukan hangat anak perempuan saya yang mengucapkan “Selamat, ya Bund…” sambil mencium pipi saya, ditambah ucapan selamat dari cucu perempuan saya, rasanya lebih dari cukup. Lebih bermakna.
Gelar ini saya persembahkan untuk Mamak. Untuk anak perempuan saya yang kini tahu bahwa perempuan bisa bangkit dari kehilangan. Untuk semua perempuan yang hari ini masih 'terjebak' antara mimpi dan realitas.
ADVERTISEMENT
Ini bukan cuma tentang gelar. Ini tentang janji. Tentang menyelesaikan sesuatu yang pernah kita mulai—meski dunia bilang sudah terlambat. Karena tak ada kata terlambat untuk menepati janji pada diri sendiri.***