Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.100.2
12 Ramadhan 1446 HRabu, 12 Maret 2025
Jakarta
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna
Implementasi UU TPKS: Kunci Keadilan yang Belum Diberikan
7 Maret 2025 13:24 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Laili Zailani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Di negeri ini, korban kekerasan seksual sering kali lebih sulit mencari keadilan daripada pelaku mencari jalan keluar. Harapan sempat menyala ketika Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) disahkan, membawa janji untuk menghentikan impunitas pelaku dan menjamin hak korban atas keadilan.
ADVERTISEMENT
Apakah janji ini sudah ditepati? Nyatanya, di lapangan, progres implementasinya mandeg: jauh panggang dari api. Negara ini seperti orang yang sudah memegang kunci, tetapi enggan membuka pintu keadilan bagi korban.
Keberanian Korban, Ketidaksiapan Negara
Pasca ditetapkannya UU No.12/2022 tentang TPKS, data LPSK (Desember 2024) mencatat lonjakan permohonan perlindungan: dari 672 kasus pada 2022 menjadi 1.063 kasus pada 2024. Semakin banyak korban berani melapor. Sayangnya, sistem yang seharusnya melindungi mereka justru tertatih-tatih. Korban sudah melangkah ke depan, tetapi negara? Masih sibuk menggenggam kunci tanpa pernah benar-benar menggunakannya.
UPTD PPA, yang seharusnya menjadi ujung tombak implementasi UU TPKS dalam penanganan, perlindungan, dan pemulihan korban kekerasan seksual secara terpadu, termasuk memfasilitasi layanan kesehatan, psikologis, dan sosial, serta pemberdayaan korban, masih sekadar papan nama di banyak daerah. Sejumlah daerah bahkan belum membentuk UPTD PPA, sementara di tempat lain, fasilitasnya minim dan sumber dayanya nyaris tak ada. Alasan klasiknya? Anggaran terbatas, sekarang alasannya lebih politis: badai efisiensi! Tapi pertanyaannya, jika anggaran bisa turun untuk proyek mercusuar, mengapa untuk perlindungan korban selalu dianggap beban?
ADVERTISEMENT
Aparat penegak hukum pun masih setengah hati. Laporan Komnas Perempuan (2024) mencatat bahwa penyidik kepolisian lebih memilih aturan lama dengan dalih menunggu peraturan pelaksanaan. Jika polisi memakai UU TPKS, jaksa dan hakim tetap berpegang pada KUHP. Negara bicara soal reformasi hukum, tapi aparatnya sendiri tidak sepakat hukum mana yang seharusnya dipakai. Korban kekerasan seksual yang harus membayar harga dari kebingungan ini.
Regulasi yang Masih Lemah di Lapangan
Pemerintah sudah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2024 dan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 463/5318/SJ yang mewajibkan setiap daerah membentuk UPTD PPA. Seharusnya, ini cukup. Tapi di negeri ini, "seharusnya" sering kali kalah oleh "nanti dulu." Banyak daerah berdalih kurang anggaran, kurang tenaga ahli, kurang koordinasi, atau masih menunggu petunjuk teknis. Korban tak punya pilihan selain menunggu.
ADVERTISEMENT
Padahal, negara bisa begitu gesit membentuk kementerian baru, melantik wakil menteri, menambah utusan khusus, atau menggelontorkan anggaran untuk proyek mercusuar dalam hitungan detik—tapi memberikan kunci keadilan bagi korban? UU TPKS, sudah tiga tahun dan tetap digantung terlalu tinggi. Ini bukan soal kemampuan. Ini soal kemauan.
Giliran membangun UPTD PPA—yang menyangkut hidup dan mati korban—selalu jadi wacana panjang, dievaluasi berulang kali, dan diakhiri dengan kebijakan 'efisiensi.' Perlindungan korban bukan prioritas, hanya sekadar numpang judul ‘kesetaraan gender’ dalam daftar ke empat ‘Asta Cita’. Ada, entah kapan dikerjakan.
Dalam berbagai diskusi, Jaringan Masyarakat Sipil untuk Kebijakan Adil Gender menyimpulkan bahwa di daerah terpencil seperti Papua, Maluku atau Nusa Tenggara Timur misalnya, layanan perlindungan masih minim. Sementara korban di perkotaan mungkin bisa mencari bantuan, di wilayah-wilayah ini, mereka sering kali terjebak dalam sistem yang sama sekali tidak berpihak. Negara hadir di mana?
ADVERTISEMENT
UU TPKS menjamin hak korban atas restitusi, bukan sekadar angka di atas kertas. Penyidik bisa menyita harta pelaku sebagai jaminan dengan izin pengadilan. Jika hartanya tak cukup, pelaku bisa dipenjara sebagai gantinya—tetapi tak lebih lama dari hukuman pokoknya. Jika pelaku adalah korporasi, bisnisnya bisa ditutup hingga satu tahun. Dan jika semua itu masih belum menutup restitusi, negara turun tangan, mengganti kekurangannya.
Nyatanya restitusi masih menjadi janji kosong. Negara bisa cepat bertindak dalam investasi infrastruktur, tetapi gagap saat harus 'berinvestasi' untuk keadilan korban.
Jalan ke Depan: Regulasi Harus Ditegakkan
UU TPKS hanya akan efektif jika ada keberanian politik untuk menegakkannya, dengan beberapa langkah konkret yang harus segera dilakukan:
• Mempercepat implementasi UPTD PPA: pemerintah daerah harus segera membentuk dan mengoperasionalkan UPTD PPA dengan standar layanan sebagaimana mandat UU TPKS.
ADVERTISEMENT
• Menutup celah impunitas: setiap kasus kekerasan seksual harus diproses melalui jalur hukum formal menggunakan UU TPKS, tanpa kompromi dengan penyelesaian adat atau kekeluargaan.
• Memastikan restitusi benar-benar diterima korban dan menghapus stigma terhadap korban, dengan edukasi dan kampanye publik yang lebih masif untuk mengubah cara masyarakat memandang kekerasan seksual dan korban yang mengalaminya.
UU TPKS adalah kemajuan, tapi progresnya mandeg. Regulasi sudah ada, korban sudah berani melapor, tetapi negara masih ragu-ragu. Yang seharusnya hak, masih diperlakukan sebagai beban. Yang seharusnya prioritas, masih jadi daftar panjang pekerjaan yang tak pernah benar-benar dikerjakan. Padahal, korban tidak bisa menunggu. Kekerasan seksual terjadi setiap hari, tetapi negara masih berdiskusi.