news-card-video
9 Ramadhan 1446 HMinggu, 09 Maret 2025
Jakarta
chevron-down
imsak04:10
subuh04:25
terbit05:30
dzuhur11:30
ashar14:45
maghrib17:30
isya18:45
Konten dari Pengguna

Ketika Parlemen Jadikan Rahim Solusi Sepak Bola

Laili Zailani
Ibu Rumah Tangga, Pendiri HAPSARI (Himpunan Serikat Perempuan Indonesia), dan Fellow Ashoka (Indonesia, 2000)
8 Maret 2025 12:57 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Laili Zailani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi gambar dibantu oleh AI: Lapangan sepak bola berbentuk rahim, menggambarkan absurditas ide. (Dok.pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi gambar dibantu oleh AI: Lapangan sepak bola berbentuk rahim, menggambarkan absurditas ide. (Dok.pribadi)
ADVERTISEMENT
Kita hidup di abad ke-21, tapi ide abad pertengahan masih berseliweran di parlemen. Bayangkan seorang anggota DPR berkata:“Kita kawinkan pemain bola asing dengan perempuan Indonesia agar lahir atlet unggul”.
ADVERTISEMENT
Parah! Tidak hanya melecehkan perempuan, tetapi juga mencerminkan betapa patriarki masih bercokol kuat di dalam parlemen. Jika seorang anggota DPR bisa dengan enteng mengusulkan konsep “perkawinan silang” demi mencetak atlet unggul, bagaimana kita bisa berharap kebijakan yang dihasilkan benar-benar berpihak pada keadilan gender dan pembangunan olahraga berbasis prestasi? Berat ini, Maaak!
Ketika seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yang seharusnya memahami tugasnya sebagai wakil rakyat, dengan santai mengusulkan agar pemain bola naturalisasi dinikahkan dengan perempuan Indonesia demi “melahirkan keturunan unggul,” saya merasa ngeri. Pernyataan ini tak sekadar “out of the box” seperti yang ia klaim, tapi sebuah cerminan dari cara pandang patriarki yang masih mengakar: perempuan hanya dilihat sebagai pemilik rahim, alat reproduksi bagi kepentingan laki-laki dan negara.
ADVERTISEMENT

Membangun Sistem Pembinaan, Bukan Perkawinan Silang

Mari kita bedah absurditas pemikiran ini. Jika benar atlet hebat lahir dari keturunan, maka semua anak dari atlet besar pasti menjadi juara. Faktanya? Tidak. Lionel Messi lahir dengan kelainan hormon pertumbuhan dan berkembang menjadi salah satu pemain terbaik dunia berkat pembinaan di akademi La Masia. Menurut artikel di Talksport, Messi memulai kariernya di Newell's Old Boys dan mengatasi defisiensi hormon pertumbuhan sebelum menjadi ikon di Barcelona, mencetak 672 gol dalam 778 pertandingan selama 19 musim.
Prestasi Messi bukan hasil dari faktor genetik semata, melainkan dari sistem pembinaan yang efektif dan dukungan yang tepat. Bukan hasil perkawinan silang, seperti yang diusulkan oleh anggota DPR tersebut.
ADVERTISEMENT
Kita tambah satu contoh lagi. Jepang bukan negara dengan “darah sepak bola,” tetapi menjadi kekuatan besar karena sistem pembinaan yang serius. Sebelum debut Piala Dunia pada 1998, sepak bola Jepang kurang diperhitungkan. Namun, dengan pembinaan yang terstruktur, Jepang berhasil tampil di tujuh edisi Piala Dunia terakhir, termasuk kemenangan atas Jerman dan Spanyol di Piala Dunia 2022.
Islandia, negara dengan populasi tak lebih dari satu kota besar di Indonesia, mampu mengalahkan Inggris di Euro 2016 karena memiliki program pelatihan sepak bola yang disiplin sejak usia dini.
Cukup ya contohnya. Jadi, jika ada yang berpikir bahwa mengawinkan pemain bola asing dengan perempuan Indonesia akan otomatis menciptakan generasi emas sepak bola, ia harusnya berhenti jadi anggota DPR, kembali menulis lagu, atau mulai menulis fiksi ilmiah.
ADVERTISEMENT
Sebab, kenyataan berbicara sebaliknya: prestasi atlet tidak ditentukan oleh keturunan, melainkan oleh sistem yang mendukung pengembangan bakat mereka.

Absurd: Sepak Bola dan Kendali atas Rahim Perempuan

Di negeri ini, hal-hal yang se-absurd ide anggota DPR tersebut bisa saja diwujudkan. Mungkin setelah ini akan ada usulan terbentuknya “Kementerian Perkawinan Atlet Nasional” demi mencetak generasi emas sepak bola dengan klaim ‘out of the box’.
Apakah ini terdengar konyol? Tentu saja. Tetapi, begitulah absurditas yang terjadi ketika perempuan terus direduksi menjadi alat produksi.
Yang lebih ironis, pernyataan ini lahir dari seorang anggota DPR, yang seharusnya memahami bahwa Indonesia telah meratifikasi berbagai konvensi internasional tentang kesetaraan gender dan hak asasi manusia. Namun, justru di ruang parlemen yang terhormat, suara seksisme masih menggema tanpa rasa malu. Jika seorang anggota DPR berani mengusulkan ini dalam sidang resmi, apa yang bisa kita harapkan dari kebijakan-kebijakan yang dihasilkan di masa depan?
ADVERTISEMENT
Pernyataan ini bukan sekadar lelucon buruk. Ini adalah alarm bagi kita semua, bahwa jika parlemen memaknai ‘naturalisasi’ sebagai proyek reproduksi, maka sepak bola—dan negeri ini—dibangun dengan sistem yang tidak adil, dengan ide-ide yang meremehkan setengah dari populasi bangsa ini: perempuan! Jika kita tidak ikut menyalakan cahaya, makin gelap, Maaak!
Kita harus memastikan pemikiran seperti ini tidak masuk ke kebijakan! Jangan diam. Suarakan penolakan, dorong legislasi yang berpihak pada perempuan, dan pastikan orang-orang dengan pemikiran ini tidak lagi duduk di kursi kekuasaan.