Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.103.0
Konten dari Pengguna
Bisakah Perusahaan Multinasional Menyelamatkan Bumi Lewat Rantai Pasoknya?
2 Mei 2025 16:16 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Cheryll S tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Saat kita membeli cokelat favorit, sepatu baru, atau smartphone canggih, mungkin kita jarang memikirkan perjalanan panjang yang dilalui barang-barang itu. Dari biji kakao di Ghana, kain yang dijahit di Bangladesh, hingga rak toko di kota besar, semua terangkai dalam sistem rantai pasok global yang bekerja begitu luas dan nyaris tak terlihat.
ADVERTISEMENT
Di balik kemudahan berbelanja dan beragam pilihan produk, ada realitas yang lebih kompleks. Dunia sedang menghadapi krisis iklim, pelanggaran hak buruh, dan ketimpangan sosial yang makin nyata. Di tengah kondisi ini, muncul pertanyaan penting: apakah perusahaan multinasional bisa menjadi bagian dari solusi? Dengan pengaruh dan jangkauan yang sangat besar, mereka bukan hanya punya kuasa untuk mengubah sistem, tetapi juga tanggung jawab moral yang semakin tidak bisa diabaikan.
Lebih dari Sekadar Sertifikasi: Tanggung Jawab Penuh Rantai Pasok
Selama ini banyak perusahaan hanya fokus menjaga lingkungan di dalam lingkup internal mereka saja, seperti mengurangi limbah di kantor pusat, memakai energi ramah lingkungan di pabrik utama, atau mendaur ulang sampah elektronik. Padahal, kerusakan terbesar justru sering terjadi di luar tembok perusahaan, yaitu di sepanjang rantai pasok mereka yang rumit dan tersebar di banyak negara.
ADVERTISEMENT
Tantangan ini dikenal sebagai "tanggung jawab penuh rantai pasok" atau full chain responsibility. Artinya, perusahaan tidak bisa lagi berpura-pura tidak tahu dengan apa yang dilakukan para mitra atau pemasok mereka. Mereka harus ikut bertanggung jawab atas dampak sosial dan lingkungan di seluruh rantai produksi, bukan hanya di bagian mereka sendiri (Marano et al., 2024).
Masalahnya, cara lama seperti audit tahunan atau sertifikasi sering kali hanya efektif sementara. Banyak pemasok yang mematuhi aturan hanya saat diperiksa, lalu kembali ke kebiasaan lama begitu pengawasan selesai. Karena itu, dibutuhkan pendekatan yang lebih melibatkan dan membangun kerja sama jangka panjang. Daripada sekadar mengawasi, perusahaan sebaiknya mulai membantu pemasok agar bisa lebih baik. Misalnya lewat pelatihan, dukungan teknis, atau kontrak yang lebih adil.
ADVERTISEMENT
Menariknya, studi dari Asmussen dan rekan-rekannya (2024) menunjukkan bahwa jika perusahaan terlalu sering mengawasi tanpa strategi yang jelas, justru bisa merugikan mereka sendiri. Dalam beberapa kasus, pemasok yang merasa sangat dibutuhkan bisa memanfaatkan situasi dan menekan balik perusahaan. Misalnya, ketika ada pelanggaran etika yang bocor ke publik, pemasok yang punya posisi penting dalam produksi malah bisa menaikkan harga atau menegosiasikan ulang kontrak. Artinya, pengawasan yang kaku dan sepihak bisa menimbulkan masalah baru kalau tidak diiringi dengan komunikasi yang terbuka dan kerja sama yang saling menguntungkan.
Teknologi dan Transparansi: Senjata Baru di Era Digital
Di era digital, transparansi adalah kekuatan. MNC kini mulai memanfaatkan "smart disclosure" atau pelaporan cerdas berbasis teknologi untuk melacak praktik pemasok secara real-time. Dengan bantuan big data dan kecerdasan buatan, pelanggaran hak buruh, emisi karbon berlebih, atau penggunaan air yang tidak efisien bisa segera terdeteksi (Wang et al., 2024).
ADVERTISEMENT
Teknologi ini memungkinkan publik, LSM, bahkan konsumen untuk ikut mengawasi rantai pasok. Namun, teknologi saja tidak cukup. Jika tidak dibarengi dengan insentif, regulasi internal yang kuat, dan dukungan dari pemilik merek, pemasok tetap akan mencari celah untuk melanggar standar. Oleh karena itu, pendekatan digital harus dipadukan dengan strategi perubahan budaya dan struktur organisasi yang lebih adil.
Dalam studi Wang, Lee, dan Li (2024), konsep smart disclosure dijelaskan lebih dalam sebagai bentuk pelaporan berbasis digital yang dapat diakses oleh pemangku kepentingan di seluruh dunia. Mereka menunjukkan bahwa visibilitas yang lebih tinggi dari supplier, terutama dalam hal kepatuhan terhadap HAM, membuat mereka lebih berhati-hati dalam beroperasi. Efek ini semakin kuat jika supplier tersebut memiliki posisi sentral dalam jaringan produksi dan berasal dari negara dengan lembaga regulasi yang kuat.
ADVERTISEMENT
Kolaborasi Global, Kekuatan Lokal
Salah satu kritik utama terhadap strategi keberlanjutan MNC adalah sifatnya yang top down. Banyak kebijakan dibuat di kantor pusat di negara maju, tanpa mempertimbangkan konteks budaya, sosial, dan ekonomi pemasok di negara berkembang. Akibatnya, kebijakan yang dianggap ideal di Eropa bisa terasa memaksa atau bahkan merusak di Asia atau Afrika (Soundararajan et al., 2021).
Liu dan Heugens (2024) menyoroti pentingnya kerja sama antara MNC dan LSM lokal. Dalam situasi di mana suara LSM dibungkam oleh rezim otoriter, kolaborasi lintas negara menjadi jalur alternatif untuk mendorong perubahan. Ketika MNC bekerja sama dengan organisasi lokal, mereka bukan hanya membawa tekanan reputasi, tetapi juga membuka ruang partisipasi bagi masyarakat lokal untuk menentukan standar keberlanjutan yang relevan dengan realitas mereka.
ADVERTISEMENT
Studi mereka juga menunjukkan bahwa MNC dapat menjadi jembatan strategis yang memungkinkan LSM lokal memperoleh leverage terhadap pemasok. Dalam konteks negara seperti Tiongkok, pendekatan ini memungkinkan difusi praktik keberlanjutan lingkungan yang lebih luas dan efektif dibandingkan jika LSM bertindak sendiri.
Studi Kasus: Petani Kecil dan Perbedaan Persepsi
Salah satu contoh nyata bagaimana keberlanjutan bisa gagal ketika tidak diselaraskan dengan konteks lokal adalah studi oleh Preuss, Barkemeyer, Arora, dan Banarjee (2024). Mereka meneliti kolaborasi sebuah perusahaan Eropa dengan petani kecil di India dan Ethiopia. Di permukaan, proyek ini terlihat menjanjikan: perusahaan membawa visi keberlanjutan berbasis nilai-nilai universal, sementara para petani diharapkan mengikuti standar yang telah ditetapkan dari kantor pusat.
Namun yang terjadi adalah benturan makna. Kantor pusat melihat keberlanjutan sebagai bagian dari misi moral dan reputasi perusahaan, sedangkan para petani memandangnya sebagai sesuatu yang harus menghasilkan manfaat langsung dan terukur bagi kehidupan mereka. Ketika harapan tidak terpenuhi, motivasi pun melemah. Petani cenderung kembali ke praktik lama yang menurut mereka lebih relevan dan realistis secara ekonomi.
ADVERTISEMENT
Studi ini memperlihatkan bahwa keberlanjutan tidak bisa dipaksakan dari atas. Pemahaman, komunikasi dua arah, dan partisipasi aktif dari semua pihak adalah kunci. Jika perusahaan ingin keberlanjutan bertahan, mereka harus mendengarkan dan memahami tantangan lokal, bukan sekadar mengekspor standar global.
Menuju Masa Depan Rantai Pasok yang Berkeadilan
Perusahaan multinasional punya kekuatan besar untuk mendorong perubahan. Namun, kekuatan itu hanya akan berarti jika dibarengi dengan keberanian untuk keluar dari cara lama yang hanya mengejar untung semata. Dibutuhkan komitmen nyata untuk memilih pemasok secara bijak, membangun hubungan yang adil, dan memastikan setiap tangan yang terlibat dalam produksi mendapat perlakuan layak.
Perubahan tidak bisa berjalan sendiri. Harus ada kerja sama antara bisnis, pemerintah, masyarakat sipil, dan komunitas lokal. Saat semua bergerak bersama, keberlanjutan bukan lagi slogan, tapi jadi arah baru bisnis yang lebih manusiawi dan bertanggung jawab.
ADVERTISEMENT
Rantai pasok bukan lagi soal logistik dan harga. Ia adalah ruang bersama untuk menciptakan dampak positif bagi bumi dan manusia.
Daftar Pustaka
ADVERTISEMENT