Islam dalam Cengkraman Hantu Fasisme

Lalang Pradistia Utama
ASN Pranata Hubungan Masyarakat Pemkab Cilacap, Jawa Tengah
Konten dari Pengguna
6 Desember 2023 17:10 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Lalang Pradistia Utama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Oleh: Lalang Pradistia Utama, S.Pd., M. I.Kom., CPS
Arab spring 2011 awalnya menjadi harapan khususnya bagi negara ber-DNA diktator menjadi negara demokrasi yang lebih matang. Dimulai dari Tunisia, ketika Ben Ali digulingkan oleh rakyatnya, Mesir yang menumbangkan Hosni Mubarak, Libya yang menyingkirkan Ghadafi dan letupan-letupan kecil di kawasan itu. Kemudian yang hingga kini belum selesai adalah di Syria yang tidak membuat Bashar al-Assad abdikasi dari jabatannya.
ADVERTISEMENT
Namun, kemudian negara tersebut bak mitos Sisifus yang bereuforia mengangkat batu besar ke atas bukit akan tetapi menggelindingkan kembali batu besar itu ke dasar lembah (Camus: 1942). Absurditas yang digambarkan itu bukanlah sesuatu yang dinafikan bahkan mereka mengalami bongkar pasang sistem yang hingga sekarang belum presisi. Dampaknya tidak hanya mereka mengalami friksi di dalam negeri, tapi landscape dunia secara meluas juga berubah.
Warga negara terdampak konflik yang telah mengalami putus asa ini banyak yang akhirnya menjadi manusia perahu meninggalkan negaranya untuk mengadu peruntungan di negara lain, dalam hal ini adalah Eropa. Jika mereka beruntung, mereka akan tiba di pulau Lesbos (Yunani) atau Italia bagian selatan sebagai pintu masuk menuju negara Eropa lain. Sejak 2011 hingga 2015 saja, tercatat ada sekitar 366 orang yang akhirnya bermigrasi menuju Eropa dengan terlebih dahulu menyeberangi laut mediterania (CNN: 2015).
ADVERTISEMENT
Eropa, khususnya bagi negara yang menandatangani kesepakatan bagi pengungsi, gelombang pengungsi mau tidak mau membuat mereka menanggung beban bagi kelangsungan hidup para pengungsi itu. Logistik dan kemudian menyiapkan sumber daya manusia untuk siap berkontribusi membangun Eropa tentu menjadi PR besar bagi Eropa yang di tahun-tahun itu mulai menghadapi dinamika serius lainnya.
Eropa menghadapi culture shock di benuanya sendiri. Pengungsi yang sebagian besar adalah berasal dari negara muslim mengalami kegagapan. Rangkaian aksi teror yang terjadi sebelum gelombang pengungsi datang seperti residu traumatik atas gerakan kekerasan. Walaupun, masih menjadi perdebatan aksi kekerasan yang terjadi di Eropa adalah imbas dari salah penerjemahan bahasa kebebasan berpendapat dan berekspresi misalnya pada kasus kartun Nabi Muhammad SAW di majalah Charlie Hebdo.
ADVERTISEMENT
Tanpa sedikitpun membenarkan aksi teror dan tanpa mengurangi sedikitpun rasa empati kepada keluarga korban, apa yang terjadi di Eropa adalah kegagapan dan standar ganda toleransi. Eropa kemudian dilanda kecemasan dengan men-generalisasi Islam sebagai sesuatu yang berbahaya. Tidak semua, tapi ketakutan itu mulai terpotret sekarang ini.
Gerakan pemurnian Eropa mulai terlihat dalam beberapa dekade ini, akan tetapi yang paling terasa adalah pasca serangan 9/11. Pemenang nobel 2010, Mario Vargas Llosa bahkan mengatakan ultra nasionalisme eropa mulai tumbuh dengan cara berbagai serangan rasial kepada khususnya para imigran dan muslim. Apa yang disampaikan Mario Vargas Llosa sebagai ejawantah dari gerakan sayap kanan eropa dalam hal ini adalah politisi Belanda, Geert Wilders yang secara ofensif menyerang muslim dan memprovokasi gerakan yang lebih nyata untuk keberadaan muslim di eropa.
ADVERTISEMENT
Geert Wilders, dalam setiap gerakan politiknya menyerukan bahwa krisis yang terjadi di eropa lebih disebabkan oleh muslim dan imigran sehingga sendi kehidupan eropa mengalami penurunan. Dalam kampanyenya di tahun-tahun sebelumnya, Wilders menyerukan pelarangan penggunaan Jilbab, aktivitas Masjid dan Al-Qur’an serta menjanjikan jika dirinya bersama partainya berkuasa, maka seluruh imigran atau muslim yang tidak menjalankan aktivitas sesuai dengan prinsip negara Belanda maka mereka akan dipersilakan untuk pergi dari Belanda.
Tindakan Fasis, setidaknya demikian penyebutan warga Belanda dalam aksi protes menyambut kemenangan PVV (Partai Besutan Wilders) pada 23 November 2023, setidaknya menyadarkan semua pihak atas penafsiran demokrasi, kebebasan dan hak asasi manusia yang berbeda di berbagai tempat. Jika Wilders akhirnya berkuasa dan benar-benar menjalankan janjinya untuk “menertibkan” muslim dan imigran, maka bisa dibilang kaum muslim berada dalam fasisme eropa. Wilders, yang pernah lolos dari dakwaan “apartheid” di tahun 2011 lalu itu menambah daftar problematika kaum muslim di seluruh dunia khususnya bagi negara induk yang sedang mengalami ketidakstabilan.
ADVERTISEMENT
Kemenangan Wilders yang dipandang sebagai arah baru Belanda dan umumnya Eropa, akan membuat muslim dan kaum imigran, walaupun mereka telah tercatat sebagai warga negara eropa tetap merasa tidak aman. Itu bisa terpotret dari statement Walikota Armhen, Ahmed Marcouch yang mengatakan bahwa ketika anaknya yang berusia delapan tahun mengetahui Wilders menang, dia khawatir akan terusir dari Belanda (Guardian). Tentu yang paling ditakutkan adalah tindakan fisik seperti yang dilakukan oleh pemuda Norwegia bernama Anders Behring Breivik tahun 2011 lalu.
Muslim Harus Introspeksi?
Belum kering luka karena saudara muslim di Palestina mengalami penindasan, krisis Rohingya yang merembet hingga dampaknya dirasakan di Indonesia ditambah lagi sisi emosional kita diaduk-aduk oleh hasil Pemilu Belanda. Memang, khususnya orang Indonesia akan merasa begitu dekat dengan sesama muslim terlebih jika mereka sedang mengalami penindasan walaupun berada di tempat yang jauh sekalipun.
ADVERTISEMENT
Permasalahan yang dihadapi negri-negeri muslim begitu kompleks. Ekonomi, sosial, politik dan lainnya adalah dinamika yang dihadapi negeri muslim baik warga mayoritas maupun minoritas. Kompleksitas yang dihadapi rasanya baru akan disikapi ketika friksi sudah mencapai puncak dan dirasa menyebabkan masalah baru khususnya di negara muslim lain, ambillah contoh Rohingya. Terjadi kegagapan dalam tubuh persatuan negara Islam (OKI) dalam mengatasi isu dan permasalahan yang ada. Masalah yang coba diselesaikan pun kurang komprehensif, misalnya bagaimana warga Rohingya akhirnya kembali harus menjadi manusia perahu terombang-ambing di tengah laut tanpa tujuan yang jelas karena mereka dipandang kurang pandai beradaptasi dengan negara yang siap menampung.
OKI harusnya menjadi katalisator negara-negara Islam untuk lebih bisa mengurai permasalahan secara komprehensif. Posisi tawar OKI sebagai entitas harusnya bisa naik di luar anggota OKI sehingga keberadaan kaum muslim di negara yang bukan mayoritas Islam tidak akan menjadi bulan-bulanan. Selain itu, mitigasi friksi di internal negara muslim juga harus diperhatikan agar tidak terjadi migrasi besar-besaran dan mampu menyelesaikan masalahnya sendiri.
ADVERTISEMENT
CNN (2015) mencatat, migrasi warga timur tengah ke eropa paling banyak karena konflik yang berlangsung secara berkepanjangan. Konflik sektarian seperti Sunni-Syi’ah yang tidak pernah ada ujungnya membuat kita berpikir, apa betul itu semata karena permasalahan dogmatis? Atau justru isu sektarian digunakan untuk kepentingan pragmatis politik saja? Faktanya, friksi terbaru antara Israel-Palestina harusnya membelalakan mata bahwa palestina yang dianggap Sunni ternyata dibantu juga oleh Houthi Yaman dan Lebanon yang konon adalah Syi’ah.
Sudah saatnya umat muslim melakukan introspeksi agar peradaban muslim kembali bangkit. Tentunya dengan memperhatikan perkembangan zaman dan sisi humanis.
Penulis adalah Alumnus Magister Ilmu Komunikasi Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. Saat ini adalah ASN Pranata Hubungan Masyarakat di Pemkab Cilacap, Jawa Tengah
ADVERTISEMENT