Konten dari Pengguna
Haji: Perjalanan Eksistensial Menuju Diri Sejati
7 Juni 2025 14:24 WIB
·
waktu baca 6 menitKiriman Pengguna
Haji: Perjalanan Eksistensial Menuju Diri Sejati
Haji bukan tentang pergi ke Mekah, tapi tentang pulang ke diri sendiri. Sebab yang paling jauh dari manusia modern adalah jiwanya sendiri.Lambang Wiji Imantoro

Tulisan dari Lambang Wiji Imantoro tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

ADVERTISEMENT
Setiap tahun, jutaan manusia dari seluruh penjuru dunia memadati kota Mekah untuk menunaikan ibadah haji. Mereka datang dengan pakaian putih tak berjahit, menanggalkan status sosial, bahasa, dan identitas kebangsaan. Dalam ibadah haji, seluruh ummat manusia menyatu dalam gerak yang seragam, melingkari Ka'bah, berlari di antara bukit, berdoa dalam keheningan padang Arafah, lalu melakukan lempar jumroh di Mina. Namun, apakah haji semata-mata hanyalah ritual keagamaan yang harus ditunaikan sekali seumur hidup?
ADVERTISEMENT
Dalam dunia yang semakin terjebak pada glorifikasi status, haji sering kali dipersepsikan sebagai kegiatan seremonial belaka. Sebuah rutinitas ibadah yang diulang dari generasi ke generasi, tanpa pemaknaan yang mendalam dan terkesan hanya mengejar status. Padahal, jika ditelusuri lebih jauh, setiap langkah dalam haji menyimpan makna spiritual, eksistensial, bahkan revolusioner. Ia bukan hanya perjalanan menuju rumah Tuhan secara geografis, melainkan perjalanan menuju diri sendiri dan perjalanan menuju kebenaran hakiki tentang hidup, mati, dan kebebasan.
Dalam pandangan pemikir Iran, Ali Syariati, haji bukanlah sekadar ibadah tahunan yang menuntut kehadiran fisik, tetapi sebuah revolusi spiritual yang menuntut kelahiran kembali. Haji bukan hanya ziarah melintasi gurun pasir, melainkan juga gurun eksistensial yang kerap kering akan makna. Menurut Syariati, haji adalah panggilan bagi manusia untuk kembali menjadi manusia sebagai makhluk pencari, makhluk yang sadar akan kefanaannya, dan makhluk yang mampu memilih untuk merdeka dari segala bentuk penindasan.
ADVERTISEMENT
Ritual sebagai Proses Kelahiran Kembali
Langkah pertama dalam haji adalah ihram, dan dalam dua helai kain putih itu, seluruh identitas sosial dilucuti. Tidak ada lagi presiden atau tukang becak, profesor atau petani, hanya tubuh-tubuh rapuh yang dibalut kain ihram, berjalan bersama menuju Tuhan. Prosesi ini bukanlah bentuk kematian biologis, melainkan sebagai kematian simbolik dari ego. Dalam analisis Syariati, ihram adalah titik nol eksistensial, di mana manusia berdiri telanjang di hadapan dirinya sendiri dan Sang Pencipta. Manusia melepaskan segala yang membuat dirinya merasa penting dalam dunia yang fana. Manusia dituntut untuk menanggalkan harta, jabatan, bahkan namanya, dan inilah bentuk pembebasan yang sejati.
Selanjutnya, manusia bergerak menuju Ka'bah, rumah Tuhan yang tak memiliki jendela, tak memiliki ornamen mewah, dan hanya dibalut oleh kain kiswah. Sebuah bangunan kosong dan tak bersuara, namun menjadi pusat gravitasi spiritual alam semesta. Di Ka’bah menusia melakuakn prosesi tawaf, atau mengelilingi Ka'bah. Tawaf bukanlah sekadar gerakan ritual, tapi pernyataan filosofis bahwa pusat kehidupan bukanlah diri sendiri. Dalam kehidupan modern yang egosentris, manusia meyakini dirinya sebagai pusat semesta. Tapi dalam tawaf, manusia belajar kembali menjadi bagian dari poros yang lebih besar, dan menyadari bahwa dirinya bukanlah pusat alam semesta, melainkan hanya partikel kecil yang bergerak dalam keteraturan kosmis. Tawaf adalah pengakuan akan keterbatasan dan ketakberdayaan, sekaligus penegasan bahwa hidup menjadi bermakna justru saat manusia berserah kepada sang maha segalanya.
ADVERTISEMENT
Lalu datanglah sa’i, berlari antara bukit Shafa dan Marwah, mengikuti jejak Hajar. Di sinilah, menurut Syariati, haji menjelma sebagai narasi perjuangan. Hajar, seorang perempuan kulit hitam dan seorang budak yang ditinggalkan bersama bayinya di padang tandus, menjadi simbol tertinggi dari eksistensi manusia untuk bertahan. Hajar tidak tahu akan berhasil atau gagal, tapi ia terus berlari. Ia tidak pasrah pada nasib, tapi menantangnya. Dalam dirinya, lahir iman yang aktif, bukan pasif. Inilah inti eksistensialisme. Manusia bukan sekadar makhluk yang hidup, tapi yang memilih untuk berjuang, bahkan ketika logika dan kenyataan tak memberi harapan. Hajar adalah gambaran dari keberanian eksistensial, mengakui absurditas, tapi tetap bertindak.
Wukuf di Arafah adalah puncak refleksi. Tidak ada ritual megah, hanya keheningan. Di sinilah manusia, dalam jutaan jumlahnya, berdiri sendirian. Tanpa pelindung, tanpa penghibur. Ia harus berhadapan dengan dirinya sendiri, dan menjawab pertanyaan yang tak bisa dijawab oleh siapa pun selain dirinya, kearena seyogyanya Arafah adalah cermin tempat manusia menatap jiwanya sendiri. Dan seperti yang dikatakan Sartre, 'neraka adalah diri kita sendiri saat kita gagal melihatnya dengan jujur'. Syariati mengajak manusia untuk berani melihat dirinya secara telanjang, dan hanya dengan keberanian itulah transformasi menjadi mungkin.
ADVERTISEMENT
Lalu, di Mina, manusia melempar batu ke arah tiga tiang yang menjadi simbol setan. Tapi Syariati menolak tafsir literal. Setan dalam haji bukanlah sosok gaib yang bersembunyi di celah dunia. Setan adalah sistem yang menindas, kekuasaan yang korup, kekayaan yang memabukkan, dan ketakutan yang membungkam hati nurani. Saat batu dilempar, yang sesungguhnya dilempar adalah keterikatan manusia pada nafsu, kerakusan, ketakutan, kemunafikan, dan kepalsuan. Maka melempar jumrah adalah tindakan pembebasan. Ia adalah deklarasi bahwa manusia tidak akan tunduk, tidak akan menyerah, dan tidak akan diperbudak oleh sistem dunia yang menjauhkan dirinya dari kemanusiaan.
Dan pada akhirnya, pengorbanan dilakukan. Seekor hewan disembelih, sebagai simbol agung bahwa cinta terbesar dalam wujud anak, mimpi, dan hasrat duniawi harus siap dilepaskan ketika kebenaran memanggil. Dalam kisah Ibrahim dan Ismail, Syariati membaca lebih dari sekadar ketaatan ayah terhadap Tuhan. Ia melihat pertarungan batin antara keterikatan dan keimanan. Ismail bukan hanya anak, tapi simbol dari apa pun yang paling kita cintai. Dan pisau yang diangkat itu adalah keberanian eksistensial dan sebagai wujud pernyataan sikap bahwa manusia mencintai Tuhan melebihi segalanya. Namun Tuhan tak menghendaki darah. Tuhan hanya menghendaki keikhlasan, dan dari keikhlasan itulah, manusia dibebaskan.
ADVERTISEMENT
Haji dan Revolusi Jiwa
Bagi Ali Syariati, haji adalah revolusi. Bukan hanya revolusi batin, tapi juga sosial. Ia membayangkan haji sebagai titik temu umat manusia, bukan untuk sekadar berdoa, tapi untuk menyadari kesatuan eksistensi. Di sana, tidak ada ras unggul, tidak ada kasta. Haji merobohkan seluruh tembok buatan manusia. Ia membebaskan, menyatukan, dan mengingatkan bahwa manusia, sebelum menjadi warga negara atau pemeluk agama, adalah makhluk Tuhan yang sangat rapuh. Maka haji harus menjadi bahan bakar perlawanan manusia terhadap segala bentuk sistem yang menciptakan perbudakan baru. kapitalisme yang memiskinkan, politik identitas yang memecah, atau agama yang dikerdilkan menjadi dogma tanpa cinta.
Ketika seorang manusia kembali dari haji, ia tidak seharusnya menjadi orang yang lebih alim semata. Ia harus menjadi orang yang lebih berani, lebih jujur dan lebih sadar. Ia telah berjalan ke titik nol dan kembali dengan kesadaran penuh bahwa dunia ini bukan untuk ditaklukkan, melainkan untuk ditata ulang dengan lebih adil dan penuh cinta. Ia telah menginjak jejak para nabi, dan membawa pulang tanggung jawab profetik untuk menyuarakan kebenaran, bahkan ketika dunia memilih untuk membungkamnya.
ADVERTISEMENT
Ali Syariati menjadikan haji bukan sekadar rukun Islam kelima, tapi proyek eksistensial yang membentuk manusia baru: manusia yang tercerahkan, terbebaskan, dan tak takut pada kematian. Haji bukan tentang pergi ke Mekah, tapi tentang pulang ke diri sendiri. Sebab yang paling jauh dari manusia modern adalah jiwanya sendiri.