Konten dari Pengguna

Matinya Supremasi Media Arus Utama

Lambang Wiji Imantoro
Menulis untuk hidup, hidup untuk menulis.
28 Februari 2023 17:36 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Lambang Wiji Imantoro tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi media online. Foto: aditia noviansyah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi media online. Foto: aditia noviansyah/kumparan
ADVERTISEMENT
Selama ratusan tahun media mainstream seolah tidak memiliki kompetitor dalam hal mengendalikan persepsi dan opini publik melalui informasi yang mereka produksi. Namun pasca kehadiran medsos ke tengah-tengah masyarakat, status quo tersebut perlahan direnggut. Meski baru seumur jagung, faktanya media sosial telah mendorong media mainstream ke titik nadir dalam hal menggaet atensi publik.
ADVERTISEMENT
Rilis hasil survei dari Katadata Insight Center (KIC), sekitar 73 persen masyarakat Indonesia lebih memilih mengakses informasi melalui media sosial ketimbang melalui televisi, portal berita online, radio atau media cetak. Hal tersebut menjadi bukti menurunnya penetrasi media mainstream di kalangan publik.
Penyebab krusial mengapa supremasi media mainstream mulai memudar ialah akibat pudarnya loyalitas media mainstream dalam menyajikan informasi yang berpihak pada kepentingan masyarakat sipil, justru media mainstream hari ini cenderung bersikap kompromistis. Mengapa demikian?
Sejak 1840-an, pers melalui media mainstream memiliki peran yang agung sebagai pilar keempat demokrasi. Posisi yang semula bak nubuat perlahan berubah menjadi jerat yang mengikat pers/media mainstream, sehingga mendorong pers/media mainstream dalam situasi simalakama.
Di satu sisi mereka memilki kewajiban mengawal dan mengadvokasikan kebijakan yang berpihak pada kepentingan sipil dengan tetap menjunjung tinggi indepedensinya, namun di lain sisi khususnya di Indonesia media mainstream juga terjegal oleh banyaknya peraturan dan Undang-undang (UU) pers yang menjerat kebebasan mereka.
ADVERTISEMENT
Media mainstream akhirnya terjebak dalam posisi yang lemah sehingga ketimbang menjunjung nubuatnya sebagai pilar demokrasi, media mainstream cenderung memilih berkompromi dengan regulasi yang ada. Situasi inilah yang akhirnya mendorong sebagian media mainstream menjadi bersifat komersil dan partisan
Ketimbang tetap bersikap independen, mayoritas media mainstream memilih untuk terafiliasi dengan ideologi atau posisi politis tertentu. Dengan kata lain karena adanya jaminan eksistensi dan keuntungan secara finansial, ketimbang memberi informasi yang objektif dan independen, mereka cenderung bersikap partisan.
Sikap partisan dan komersial inilah yang akhirnya bermuara pada maraknya klaim di masyarakat yang menganggap media mainstream sebagai alat pemecah belah masyarakat.
Hasil survei yang dilakukan oleh Edelman di 2022 mengenai tingkat kepercayaan masyarakat terhadap media tradisional yang dilakukan di 28 negara memperkuat argumentasi jika media mainstream semakin sulit mendapat kepercayaan publik.
ADVERTISEMENT
Dalam rilis survei tersebut sebanyak 59 persen responden menilai jika media mainstream bersikap bias dan tidak lagi independent. Mereka berasumsi banyak wartawan secara sengaja menyesatkan audiensnya dengan menyampaikan sesuatu yang cenderung dilebih-lebihkan yang berorientasi pada kepentingan komersial.
Celah inilah yang dimaksimalkan oleh medsos. Bak bom waktu, medsos mulai menciptakan ledakan perhatian di kalangan masyarakat. Publik mulai berbondong-bondong menjadikan medsos sebagai media perlawanan terhadap supremasi media mainstream.

Mengembalikan Supremasi Media Arus Utama

Keruntuhan orde baru (Orba) menandai awal kebangkitan pers tak terkecuali media mainstream di Indonesia. Melalui UU Pers No 44 Tahun 1999, pers kembali mendapatkan nubuatnya sebagai media yang berfungsi menjaga kedaulatan sipil yang telah direnggut selama masa Orba.
ADVERTISEMENT
Nubuat itu yang seharusnya dijaga oleh media mainstream sebagai representasi dari pers itu sendiri. Masyarakat merindukan independensi pers/media yang kini telah direnggut oleh kepentingan komersial.
Walaupun media mainstream kini telah memasuki ekosistem medsos, namun ironisnya medsos hanya dijadikan sebagai pasar komersialisasi produk-produk mereka. Ketimbang memproduksi produk-produk jurnalistik yang mencerdaskan masyarakat, mayoritas media mainstream cenderung ikut-ikutan tren yang ada di media sosial. Fakta ironis tersebut semakin menjauhkan media mainstream dari nilai-nilai independensi yang seharusnya dijunjung tinggi oleh media mainstream.
Maka tak cukup berbenah dari segi transformasi model distribusi produk jurnalistik dari yang awalnya konvensional ke digital, lebih daripada itu media mainstream juga harus berbenah dari segi produk jurnalistiknya.
Sebagai pilar keempat demokrasi, tentu masyarakat mengharapkan peran aktif pers/media mainstream yang melalui produk-produk jurnalistiknya tak hanya mampu mengawal setiap kebijakan agar berpihak pada kepentingan sipil, namun juga aktif mengadvokasikan keresahan yang dirasakan lapisan masyarakat akar rumput sebagai korban kebijakan yang paling nestapa.
ADVERTISEMENT
Dalam urusan mengadvokasi kepentingan dan keluh kesah masyarakat, harus diakui jika media mainstream sudah ketinggalan jauh jika dibandingkan dengan medsos.
Fenomena no viral no justice jadi bukti jika medsos secara tidak langsung mampu menjadi media yang efektif untuk menyuarakan keresahan masyarakat sipil, peran yang seharusnya melekat pada pers/media mainstream yang terlalu sibuk mengejar pemberitaan yang dapat dimonetisasi.

Kutukan Kebebasan

Bak oase di tengah padang gurun, media sosial seolah menyajikan kesegaran serta menghidupkan kembali gagasan akan ide kebebasan berekspresi dan berpendapat yang seolah terbelenggu di ruang-ruang publik.
Dari yang semula publik hanya dijadikan sebagai objek dari produk-produk media mainstream, berkat medsos publiklah yang saat ini menjadi produsen utamanya. Ribuan bahkan jutaan orang telah diuntungkan berkat kehadiran medsos. Tak sedikit mereka yang aktif di medsos perlahan menjelma menjadi “ahli/pakar dadakan” untuk segala bidang.
ADVERTISEMENT
Begitu besar kebebasan yang diberikan medsos, sehingga kebebasan tersebut juga berbuah kutukan. Satu sisi kita merasa bebas mengemukakan pendapat dan mengekspresikan diri, namun di lain sisi kebebasan tersebut dimaknai secara kebablasan oleh segelintir orang.
Hoaks merajalela. Orang-orang lebih percaya ucapan seorang non pakar hanya karena dia memiliki jutaan followers, kegaduhan yang dibawa ke ruang-ruang publik imbas dari misinformasi dan disinformasi, hingga ke ranah psikologis yang tak sedikit di antara kita menemukan kasus terganggunya psikis seseorang akibat terlalu sering berinteraksi dengan dunia maya atau medsos.
Peran media mainstream jelas dibutuhkan guna meredam kekacauan-kekacauan yang ditimbulkan oleh pesatnya arus informasi di medsos. Sejarah panjang pers yang telah ada sejak ribuan tahun seharusnya mampu memantik semangat pers/media untuk mengembalikan supremasi dan kedigdayaannya sebagai alat propaganda yang positif bagi masyarakat.
ADVERTISEMENT
Walau terdengar naif, namun sudah sepatutnya pers/media mainstream mulai untuk peduli dan berorientasi pada kepentingan untuk mengedukasi dan mencerdaskan masyarakat ketimbang untuk tujuan komersialisme.
Sepakat atau tidak media sosial merupakan salah satu penemuan terbesar di abad ini. Dan mengutip kata kata seorang filsuf Yunani Sophocles, bahwa tak ada hal besar yang memasuki kehidupan manusia tanpa kutukan. Sebagai hal yang membawa perubahan besar pada kehidupan manusia baik medsos maupun media mainstream juga membawa kutukan bagi peradaban.
Namun demikian terlepas dari kehadiran medsos merupakan kutukan atau bukan manusialah yang menjadi sentral dari segala kebaikan ataupun keburukan. Karena hakikatnya medsos ataupun media mainstream hanyalah alat yang ditujukan guna memberi kemudahan dan kemajuan pada kehidupan manusia.
ADVERTISEMENT