Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Mengkritisi Akademisi Menara Gading
6 Juni 2024 10:29 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Lambang Wiji Imantoro tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Istilah "menara gading" acap digunakan untuk menggambarkan realitas dunia akademis yang tampak terpisah dari realitas sosial dan kehidupan sehari-hari. Frasa ini menggambarkan sekelompok intelektual yang terisolasi, karena lebih tertarik pada penelitian teoritis daripada aplikasi praktisnya dalam masyarakat. Dalam konteks Indonesia, kritik terhadap akademisi menara gading sering kali mencuat, menyoroti isu-isu terkait relevansi, keterlibatan kaum akademis di ranah sosial, dan kontribusi nyata dari para akademisi terhadap perkembangan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Bukan tanpa sebab tulisan ini saya buat. Beberapa waktu lalu saya berkesempatan menghadiri agenda diskusi ilmiah di salah satu PTN di Indonesia, yang diselenggarakan oleh instansi pelat merah kenamaan. Tema diskusi yang diangkat ialah menyoal terkait dengan reformasi sistem administrasi perpajakan untuk menyongsong Indonesia Emas 2045. Banyak pembicara hebat dari kalangan akademisi yang diundang dalam forum tersebut. Berbagai bentuk narasi dipertukarkan, ada yang usul ini dan itu, namun keseluruhan narasi tidak satupun yang mengatasnamakan kepentingan golongan masyarakat akar rumput (menengah ke bawah).
Bahkan pertanyaan hingga tanggapan yang muncul pun hanya mewakili kelompok profesi mereka masing-masing. Harapan saya begitu tinggi ketika giliran mahasiswa yang memberikan tanggapan ataupun pertanyaan, namun memang benar adanya tidaklah baik berharap pada manusia, bahkan mahasiswa pun bertanya lagi-lagi hanya mewakili almamater dan disiplin ilmunya, tidak ada satupun yang berdiri mewakili masyarakat.
ADVERTISEMENT
Padahal muara diskusi ini melahirkan serangkaian narasi kebijakan yang nantinya juga akan diterapkan kepada masyarakat akar rumput. Maka wajarlah ketika pada akhirnya rakyat golongan akar rumput hanya menjadi objek dari suatu kebijakan, alias hanya berujung jadi korban. Dari forum itu mata saya semakin terbuka dengan realita bahwa kaum ini rentan menjadi korban kebijakan, yang salah satunya dikarenakan minimnya partisipasi golongan akademis dalam membela kepentingan mereka.
Kritik Pada Akademisi
Sebenarnya adanya gap antara akademisi dan rakyat akar rumput bukan jadi fenomena yang baru. Adanya narasi umum yang menyatakan bahwa dunia akademis tidak relevan dan tidak responsif terhadap kebutuhan masyarakat menjadi fenomena yang lestari sampai hari ini. Akademisi menara gading sering kali dianggap hidup dalam "gelanggang" akademik yang terpisah dari masalah-masalah nyata yang dihadapi masyarakat.
ADVERTISEMENT
Kritik lain yang sering muncul adalah kurangnya relevansi penelitian akademik dengan isu-isu kontemporer yang mendesak dan berpihak pada kepentingan golongan akar rumput. Banyak penelitian yang dipublikasikan di jurnal-jurnal ilmiah bersifat sangat spesifik dan teknis, sehingga sulit dipahami bahkan untuk sekedar diakses oleh publik umum. Akibatnya, hasil-hasil penelitian tersebut tidak memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pemecahan masalah konkrit yang dihadapi publik.
Akademisi juga harus mengarahkan penelitian mereka pada isu-isu yang relevan dengan kebutuhan masyarakat miskin, seperti isu kesehatan, pendidikan, pekerjaan, dan kesejahteraan sosial. Penelitian yang berfokus pada solusi praktis yang dapat membantu memperbaiki kondisi kehidupan rakyat miskin. Karena seyogyanya masyarakat miskin justru menggantungkan harapannya pada kaum akademis, mengapa demikian?
Rakyat Miskin Juga Ingin Dibela
ADVERTISEMENT
Saya dan empat rekan saya pernah melakukan pemberdayaan di salah satu perkampungan yang seluruhnya dihuni oleh masyarakat penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS), orang menyebutnya dengan sebutan Kampung Gedong. Kampung langganan banjir karena lokasinya persis di bantaran Kali Ciliwung. Kalau di Bogor hujan deras, mereka sudah siap-siap mengungsi ke Mushola yang jadi bangunan tertinggi di sana. Dari masalah kejahatan kerah biru, sampai persoalan anak lahir tanpa bapak semuanya jadi realitas yang melekat.
Saya pernah bermukim di sana selama hampir tiga bulan, lebih banyak mendengar dan merasakan itulah yang saya lakukan selama saya bermukim di sana. Di sana saya bukan tanpa tujuan, kebetulan kami berlima diamanahi oleh Kemendikbud melakukan program pembinaan masyarakat di sana. Selama membersamai mereka saya tersadarkan akan realita bahwa masyarakat di sana sangatlah rentan bersinggungan dengan aparat hukum tanpa adanya pembelaan. Setiap minggu kami acap kali mendengar ada saja yang terjaring razia karena mengamen, jadi manusia silver, jadi badut, atau menjadi hal-hal yang dilarang oleh Satpol PP.
ADVERTISEMENT
Saya sempat naif dan berpikir seandainya saja pemerintah mau turun langsung memberikan perlindungan, sesuai dengan amanah para pendiri bangsa, mungkin mereka tidak akan terjaring razia atau melakukan kejahatan kerah biru lainnya. Namun pemerintah bukan satu-satunya pihak yang layak dimintai pertanggungjawaban, ada kaum akademis dari berbagai tingkatan pendidikan yang juga layak dituntut pertanggungjawabannya. Dari berbagai penjuru mata angin berdiri megah instansi-instansi pendidikan tinggi yang membentang dari Timur hingga ke Barat. Saya yakin instansi pendidikan tinggi tidak kekurangan mahasiswa yang tak pernah absen di medan demonstrasi, juga tidak kekurangan pengajar berkualitas, namun di mana mereka saat banyak orang-orang yang tidak seberuntung mereka meringis meminta bantuan dan pembelaan?
Saya berpikir sepertinya ada distorsi yang melahirkan bias pemikiran dari masa aktivis mahasiswa hari ini. Saya seringkali berdialog dengan para aktivis di salah satu kampus swasta ternama di Jakarta terkait dengan bagaimana pergerakan mahasiswa pada hari ini. Semua narasi perlawanan bermunculan, dari ingin melawan pemerintahan yang bersifat otoriter, menentang oligarki dan lain-lain. Namun adakah satu saja yang menyuarakan keinginannya untuk membela kepentingan masyarakat miskin? Atau adakah keinginan untuk hanya sekedar memberdayakan anak-anak kolong jembatan yang persis ada di seberang tempat mereka berkuliah? Jawabannya tidak ada.
ADVERTISEMENT
Saya kira romantisme reformasi melahirkan ekses yang tidak terselesaikan yaitu glorifikasi akan kemenangan mahasiswa menggulingkan rezim diktator, namun melupakan impian terbesar dari reformasi yang adalah lahirnya masyarakat yang sejahtera. Saya kira mahasiswa hari ini hanya membaca kisah heroik reformasi namun tidak mengilhaminya nilai-nilai dibaliknya yang hingga hari ini masih berujung jadi narasi.
Untuk mengetahui seberapa banyak masyarakat miskin di Indonesia saya sudah banyak menulis berbagai literatur di banyak media di Indonesia, namun tidak perlu kita mengolah data sekunder dari BPS untuk sekedar tau seberapa banyak penduduk miskin di Indonesia. Cukuplah kita pergi ke Kampung gedong yang ada di bawah jembatan TB Simatupang persis samping Kali Ciliwung. Di sana kita akan mendengar jerit masyarakat yang terbiasa menahan lapar dan akrab bercengkrama dengan derita.
ADVERTISEMENT
Di sana bertebaran PMKS yang mayoritas berprofesi sebagai pemulung, manusia silver, badut, pengamen dan lain-lain. Peran kelompok akademis jelas dibutuhkan dalam agenda mengadvokasi kepentingan mereka. Sekedar memberdayakan anak-anak bangsa yang tidak dapat mengenyam pendidikan dengan mengajari mereka calistung saya kira sudah menjadi hal yang luar biasa yang dapat dilakukan oleh kaum akademis hari ini.
Ketimbang sibuk menari-nari dalam narasi ilmiah yang tidak ramah di telinga masyarakat, adakalanya kaum akademisi harus lebih banyak mendengarkan dan aktif bercengkrama dengan penderitaan masyarakat di sana. Kebiasaan kaum akademisi hanya berlomba mencari teori dan berkutat dalam penelitian, namun melupakan kunci utamanya yaitu observasi mendalam terhadap problem yang ada di masyarakat. Akhirnya buah pemikiran dalam bentuk karya ilmiah yang dihasilkan, hanya menjadi koleksi-koleksi pajangan di Scopus, tanpa melahirkan korelasi yang jelas terhadap pengentasan persoalan sosial.
ADVERTISEMENT
Orang miskin juga ingin mendapat pembelaan, dan sudah menjadi tanggung jawab kaum intelektual dan akademisi untuk membersamai dan menjadi pembela kepentingan masyarakat. Tidak banyak masyarakat yang menyandang predikat sebagai kaum akademisi, sudah sepatutnya ranah perjuangan akademis bergeser dari yang sekedar sibuk pada persoalan akademis, menjadi menyibukan diri dengan pengentasan persoalan sosial.
Saya ingat saat hari terakhir sebelum waktu bermukim saya usai, ada seorang anak berumur sekitar sepuluh tahun menghampiri saya. Dengan wajah polosnya ia berkata bahwa ia ingin menjadi seperti saya. Lalu saya bertanya maksudnya menjadi seperti saya itu apa? Dengan senyum kecil di bibirnya dia menjawab, saya ingin bisa kuliah dan pintar seperti kakak, siapa tau kalau saya pintar saya tidak usah mulung lagi.
ADVERTISEMENT