Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Benarkah SARS-CoV-2 Bermutasi?
12 April 2020 12:22 WIB
Tulisan dari Lampu Edison tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Saat ini banyak diberitakan bahwa virus SARS CoV-2 telah bermutasi menjadi 3 strain, dari dua jenis pertama yang diberi nama strain L and S. (National Science Review, China)
ADVERTISEMENT
Lalu apa itu sebenarnya mutasi? Apa alasan virus bermutasi? Dan bagaimana kah prosesnya?
Dalam film sains fiksi, bermutasi merepresentasikan perubahan yang sangat signifikan. Contohnya karakter di komik Marvels yang menjadi punya berbagai kekuatan super setelah mutasi. Namun, dalam dunia virus mutasi tidak se-signifikan itu.
Contoh sederhana dari mutasi di sekitar kita adalah bakteri pengurai di tanah, yang secara berkala bermutasi agar bisa mengurai komponen seperti plastik. Di tahun 1995, ada juga film bergenre thriller berjudul Outbreak yang menggambarkan bagaimana virus semengerikan Ebola bisa bermutasi dan menjadi ‘sangat menular’ melalui transmisi udara. Karena gambaran dari film dan media ini, kita cenderung menganggap mutasi sebagai hal sangat signifikan yang mengerikan. (Nature)
ADVERTISEMENT
Mutasi dapat didefinisikan sebagai perubahan genome yang kecil. Genome adalah beberapa set dari DNA (Deoksiribonukleat). Dalam kasus SARS-CoV-2, virus ini tidak memiliki DNA, namun RNA (Asam Ribonukleat) untuk membantunya menduplikasi diri.
Mutasi virus sama seperti evolusi makhluk lain di bumi, seperti manusia, hewan, dan tumbuhan. Ini terjadi karena seleksi alam. Misalnya, jerapah yang lehernya memanjang karena harus mengambil makanan dari tempat yang tinggi. Meskipun virus tidak bisa dikategorikan sebagai makhluk hidup, karena virus butuh inang untuk bisa menduplikasi dirinya sendiri.
Nah, di awal penyebaran SARS CoV-2, peneliti dari China mengidentifikasi dua jenis strain virus ini dari 103 pasien karena memiliki dua genome yang berbeda. Tipe L, diketahui menunjukkan sifat yang lebih agresif, namun di awal Januari jumlah infeksi nya telah menurun karena intervensi manusia, seperti lock down. Strain yang banyak menginfeksi orang saat ini.
ADVERTISEMENT
Namun, Nathan Grubaugh dari Yale University tidak setuju dengan hasil penelitian ini, karena menurutnya perbedaan genome yang diobservasi sangatlah kecil untuk bisa dikategorikan sebagai mutasi. Perubahan yang sangat kecil ini menurut Nathan, tidak akan terlalu berpengaruh terhadap cara virus ini berfungsi. Selain itu, mengambil hanya 103 sampel menurut Nathan adalah jumlah yang terlalu kecil.
Karena tidak mau masyarakat terlalu cemas, Nathan Grubaugh membuat artikel di Nature biology yang berjudul “We shouldn’t worry when a virus mutates during disease outbreak.”
Dalam artikel ini, Nathan menegaskan bahwa yang didefinisikan peneliti dari China ini sebagai mutasi merupakan hal yang alami terjadi dalam proses replikasi virus. Virus tidak memiliki kemampuan memperbaiki ‘error’ dalam proses duplikasi seperti sel-sel yang ada di tubuh manusia. Itulah kenapa hasil duplikasi-nya akan memiliki beberapa perbedaan kecil jika dibandingkan induknya.
ADVERTISEMENT
Nathan Grubaugh menambahkan, untuk dapat mengubah sifat secara signifikan misalnya menjadikannya semakin infectious, butuh blok Genome yang lebih banyak untuk bermutasi. Selain itu, sangat jarang ditemukan virus dapat mengubah metode infeksi dengan amat signifikan dalam waktu yang relatif singkat.
Lalu bagaimana perubahan genome pada virus ini akan mempengaruhi pengembangan vaksin? Apakah vaksin yang sama bisa sama-sama bekerja efektif untuk semua jenis SARS-CoV-2?
Jawaban Nathan Grubaugh adalah vaksin itu, jika terbukti bekerja efektif untuk satu jenis strain SARS-CoV-2, maka akan juga bekerja efektif pada strain yang lain karena perbedaan nya tidak terlalu mendasar.
Hal yang mungkin terjadi adalah virus membentuk resistensi terhadap vaksin karena mekanisme adaptasi virus terhadap vaksin. Namun, mengingat banyak virus lain yang hanya memiliki RNA, tidak mengalami resistensi terhadap vaksin, maka skenario ini juga kecil kemungkinan akan terjadi dalam kasus SARS-CoV-2.
ADVERTISEMENT
Malah, tambah Nathan Grubaugh, perbedaan genome seperti itu membantu peneliti menentukan rute infeksi. Contohnya peneliti dari Brazil melakukan identifikasi genome sequencing terhadap sampel SARS-CoV 2 dari dua pasien. Mereka menemukan bahwa dari pasien 1, ada perbedaan genome antara pasien di Brazil dengan di Wuhan, genome nya justru mirip dengan yang di Jerman. Sedangkan untuk pasien kedua, genome nya terkait dengan pasien yang di Inggris. Ini artinya dua pasien ini terkait dengan kasus di Eropa, namun tidak terkait antara satu sama lain.
Sumber: https://www.nature.com/articles/s41564-020-0690-4
https://www.historyofvaccines.org/content/articles/viruses-and-evolution
https://www.livescience.com/coronavirus-mutations.html
----------------------------------------
kumparanDerma membuka campaign crowdfunding untuk bantu pencegahan penyebaran corona virus. Yuk, bantu donasi sekarang!