Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Konten dari Pengguna
Fenomena Pasca Gempa Bumi
8 Oktober 2018 0:25 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:05 WIB
Tulisan dari Lampu Edison tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Bagaimana bangunan dan infrastruktur ikut tertelan oleh tanah setelah terjadinya gempa Bumi?
ADVERTISEMENT
Dalam setahun terakhir ini, sejumlah wilayah di Indonesia diketahui sudah mengalami guncangan hebat akibat gempa. Bahkan yang baru-baru ini terjadi juga diikuti oleh gelombang air laut yang menggulung hingga ke daratan atau yang sering disebut Tsunami. Meski mungkin kita hanya mengetahui beberapa gempa besar seperti di Banjarnegara, Banten, Solok, Lombok, dan Sulawesi di sepanjang tahun 2018 ini, namun bila dihitung secara kuantitas, tercatat sudah terjadi guncangan gempa yang jumlahnya mencapai ratusan kali. Terjadinya bencana alam nasional, yang juga menyedot perhatian internasional ini tentunya membuat kita meningkatkan kewaspadaan tentang kondisi Bumi kita, khususnya Indonesia sendiri. Faktor apa yang sebenarnya membuat Indonesia relatif sering diguncang gempa, meski pun mungkin intensitasnya tidak sesering negara Asia lain, seperti Jepang yang tergolong rentan terjadi gempa Bumi.
ADVERTISEMENT
Dampak yang ditimbulkan dari peristiwa gempa bumi dan tsunami yang baru-baru ini terjadi di Palu dan Donggala secara nyata terlihat dari kerusakan bahkan runtuhnya ratusan bangunan rumah, gedung-gedung bertingkat, serta fasilitas umum lainnya. Fenomena ini dalam ilmu Geologi dikenal sebagai Likuifaksi, yaitu suatu istilah yang mengacu pada kecenderungan menggemburnya tanah, pasir, dan lumpur akibat guncangan yang terjadi secara intens. Seringnya peristiwa ini terjadi ketika permukaan air di bawah permukaan, yang membuat tanah dengan kondisi jenuh atau agak jenuh akan kehilangan kekuatan dan kekakuannya. Pada banyak kasus, benda atau struktur yang berada di atas tanah tersebut menjadi tenggelam (ambles) bahkan tertelan seluruhnya ke dalam Bumi. Beberapa kondisi yang menggambarkan terjadinya Likuifaksi di Palu misalnya nampak pada kawasan persawahan yang diketahui menghilang dan digantikan oleh tanah. Di sisi lain, mobil-mobil juga terlihat jatuh di aliran parit, serta retakan yang terbuka di jalan-jalan dan jalur kereta api. Rekaman menunjukkan pohon-pohon yang bertumbangan karena akarnya yang tidak mampu menyokong berat pohon akibat Bumi yang berguncang sangat kencang.
ADVERTISEMENT
Survei Geologi Amerika Serikat menyatakan likuifaksi terjadi saat adanya peningkatan tekanan air pada tanah yang jenuh, sehingga membuat partikel-partikel tanah kehilangan ikatannya satu sama lain. Tekanan ini meningkat akibat gelombang kejutan yang bergerak melalui tanah setelah terjadinya gempa Bumi dan secara khusus berpengaruh pada tanah berpasir yang umumnya ditemukan di lembah sungai. Meski demikian dampaknya menjadi sama dengan yang dapat menyebabkan tanah longsor di bukit dan pegunungan selama berlangsungnya gempa. Kota-kota yang memperoleh efek paling parah biasanya berada di area yang letaknya lebih rendah, dimana tanah yang sangat subur terbangun di sana selama ribuan tahun oleh sedimen sungai. Namun beberapa tahun terakhir dijadikan pemukiman padat penduduk dan didirikan bangunan-bangunan. Akibatnya, berdasarkan data dari lembaga penyelamatan nasional Indonesia (Badan Nasional Penanggulangan Bencana/BNPB) sebanyak 1700 rumah di daerah pinggiran Balaroa, Palu, ikut tertelan dan menyebabkan tanah menjadi mencair. Di negara lain likuifaksi muncul pula setelah terjadinya gempa dan memberikan dampak yang serupa, seringnya di wilayah yang tanahnya telah direklamasi dari lautan atau lahan basah. Sebelum terjadi gempa Bumi di Indonesia, khususnya Palu, gempa semacam ini telah terlebih dahulu terjadi di Selandia baru pada tahun 2010 dan 2011, serta gempa besar yang melanda Alaska di tahun 1964. Profesor ilmu gempa di Universitas Melbourne, Mark Quigley menyebutkan bahwa fenomena ini kerap terjadi di area dimana gempa bumi umum terjadi, seperti negara-negara yang terletak di kawasan Cincin Api (Ring of Fire).
Sumber gambar: unsplash.com/RomelVelasco
ADVERTISEMENT