Konten dari Pengguna

Gender Stereptyping dalam Jenis Pekerjaan

Lampu Edison
Edison 9955 kali gagal menemukan lampu pijar yang menyala. Jika ia berhenti di percobaan ke 9956, mungkin sekarang kita tidak akan punya lampu.
15 Desember 2020 17:42 WIB
clock
Diperbarui 11 Februari 2021 8:57 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Lampu Edison tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Panggilan Pak Pos, Ibu Guru atau Abang Tukang Bakso rasanya sudah sangat melekat di benak kita. Secara alami kita mengasosiasikan beragam jenis pekerjaan dengan jenis kelamin tertentu. Seperti misalnya pekerjaan sebagai suster, penjahit atau desainer akan diasosiasikan dengan pekerjaan kaum perempuan. Sedangkan sopir, montir, arsitek, atau pemimpin politik yang kesannya lebih ‘macho’ lebih banyak diasosiasikan dengan pekerjaan kaum laki-laki.
Pengantar paket, atau Pak Pos diasosiasikan sebagai pekerjaan laki-laki. Gambar oleh cdz dari Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Pengantar paket, atau Pak Pos diasosiasikan sebagai pekerjaan laki-laki. Gambar oleh cdz dari Pixabay
Dengan adanya asosiasi yang sudang sangat melekat dan membudaya di masyarakat ini banyak sekali pengaruh yang timbul salah satunya adalah ketidaksetaraan gender dan prasangka masyarakat pada bidang pekerjaan tertentu. Ketidaksetaraan ini meliputi ketimpangan upah, ketimpangan akses terhadap sumber daya. Dan stereotyping atau prasangka masyarakat bahwa suatu pekerjaan tertentu adalah pekerjaan salah satu jenis kelamin tertentu banyak membawa dampak negatif.
ADVERTISEMENT
Ketika perempuan memimpin dan bertindak asertif, ia akan dilabeli dengan kepribadian dengan konotasi negatif, misalnya ‘bossy’ seperti yang disampaikan oleh Beyonce “I’m not bossy, I’m the boss” Dalam kampanye yang bertajuk #banbossy pada tahun 2014. Atau seperti yang diungkapkan oleh Taylor Swift lewat lagunya “The Man” yang menggambarkan bahwa jika ia—Taylor—adalah seorang laki-laki ia akan dianggap sebagai pemimpin sejati yang kompeten untuk apa yang telah dicapainya sebagai perempuan.
Budaya patriarki
Banyak sekali sebenarnya faktor yang mempengaruhi asosiasi ini. Salah satunya yang banyak dikemukakan oleh sosiolog adalah budaya patriarki yang membangun pemahaman dan persepsi masyarakat bahwa pekerjaan-pekerjaan tertentu yang lebih “feminin” adalah wilayah perempuan yang berhubungan dengan kemampuan merawat atau telaten dan pekerjaan-pekerjaan lain adalah wilayah laki-laki seperti yang banyak membutuhkan tenaga kasar atau untuk mengambil keputusan. Budaya patriarki ini sendiri juga membangun persepsi bahwa figur seorang ‘ibu yang baik’ tidak sejalan dengan figur ‘pekerja ideal’, sehingga perempuan lebih sering dirugikan dalam proses rekrutmen suatu jenis pekerjaan formal.
ADVERTISEMENT
Seperti temuan percobaan yang dilakukan oleh M José González, Clara Cortina, dan Jorge Rodríguez dengan mengirimkan dua pasang resume rekaan pada 1300 lebih lowongan pekerjaan dari beragam sektor. Mereka menemukan bahwa pelamar laki-laki lebih banyak diminati yang menandakan adanya bias gender sedangkan resume antara kedua pelamar dibuat sebanding. Terutama jika pelamar perempuan rekaan tersebut telah berkeluarga dan memiliki anak, kesempatan untuk memperoleh pekerjaan tersebut jadi jauh menurun.
Ilustrasi. Pelamar laki-laki berdasarkan studi lebih diutamakan dalam proses rekrutment suatu pekerjaan. Gambar oleh Gustavo Fring dari Pexels
Perempuan lebih banyak dirugikan
International Labour Organization (ILO) mencatat perempuan masih kurang terwakili dalam berbagai jenis pekerjaan terutama pada negara-negara berkembang, dimana perempuan cenderung menerima upah lebih rendah dibandingkan laki-laki dan lebih sering terkena dampak bila terjadi pemutusan kerja.
Sebagai contoh dalam bidang sains, teknologi, engineering dan matematika (STEM), UNESCO mencatat tidak lebih 30 persen jumlah perempuan bekerja dalam bidang ini. Dan jumlah mahasiswa perempuan dalam bidang STEM tidak lebih dari 35 persen. Perempuan cenderung mengalami diskriminasi dan akses yang terbatas pada kesempatan untuk meningkatkan kemampuan, sumber daya, pendidikan, pengembangan diri maupun pasar lowongan kerja. Seperti yang diungkapkan sebelumnya, berangkat dari budaya dan norma patriarki, perempuan sebagai pekerja, juga memegang peran sebagai ibu rumah tangga sehingga diskriminasi dalam kesempatan untuk meningkatkan karir bagi perempuan terjadi.
Bidang STEM, perempuan kurang terwakili. Gambar oleh Michal Jarmoluk dari Pixabay
Gender stereotyping jenis pekerjaan membawa dampak negatif
ADVERTISEMENT
Pekerjaan-pekerjaan yang dilabeli sebagai pekerjaan perempuan, cenderung akan kehilangan otoritasnya dan ini akan berimbas negatif tidak hanya kepada perempuan tetapi kepada laki-laki. Melalui sebuah eksperimen, Sarah Thebaud seorang Associate Professor Sosiologi dari University of California Santa Barbara dan Laura Doering dari McGill University yang diterbitkan dalam laman The Conversation menemukan bahwa pelabelan pekerjaan sebagai manajer keuangan pada suatu bank sebagai pekerjaan perempuan membawa dampak buruk bagi kedua jenis kelamin.
Mereka melakukan observasi pada perilaku nasabah pinjaman ketika mereka menghadapi manajer keungan perempuan dan laki-laki. Ketika mereka dipasangkan dengan manajer keungan perempuan, terdapat kecenderungan mereka tidak menganggap manajer tersebut memiliki kewenangan yang menyebabkan mereka sering terlambat membayar tagihan pinjaman. Namun ketika ditukar tidak ada perubahan berarti. Nasabah yang sebelumnya dipasangkan dengan manajer perempuan tetap menunggak. Berbeda dengan nasabah yang sejak awal dipasangkan dengan manajer laki-laki. Respon nasabah ini dalam membayar tagihan tepat waktu menunjukkan bahwa nasabah tidak benar-benar mematuhi wewenang apabila berhadapan dengan pekerja perempuan.
ADVERTISEMENT
FAN untuk Lampu Edison
Sumber: 1, 2, dan 3